Bendera Yunani/ilustrasi
Keberadaan entitas Muslim di Yunani tak bisa terlepaskan dari dinamika yang muncul dari Perjanjian Lausanne pada 1923.
See Hugh Poulton dalam The Balkans: minorities and states in conflict, Minority Rights Publications menjelaskan, perjanjian ini memberikan dua sisi mata uang sekaligus, positif dan negatif.
Di satu sisi, perjanjian yang prinsipnya berisikan pertukaran populasi antara Yunani dan Republik Turki baru adalah bentuk pengakuan perdana terhadap institusi mufti dalam beberapa aspek hukum perdata di Thrace. Ketentuan ini telah dihormati Pemerintah Yunani.
Dilansir dari euro-islam.info, dalam Lausanne, Yunani mengakui mufti sebagai otoritas keagamaan di Thrace dengan berbagai keistimewaan sipil dan hukum. Dengan demikian, meskipun mereka secara resmi hanya mewakili minoritas tertentu, mufti dapat mengambil beberapa peran kepemimpinan bagi komunitas Muslim pada umumnya.
Terkait pendidikan agama Islam, Perjanjian Lausanne menyatakan bahwa sekolah harus ditetapkan untuk anak-anak dari komunitas Muslim di Thrace Barat. Tapi, secara umum sekolah ini dianggap tidak mampu mengoptimalkan kemampuan siswa Muslim, sehingga mereka tidak dapat bersaing di dunia kerja.
Baru-baru ini, Pemerintah Yunani telah berusaha meningkatkan kesempatan pendidikan bagi para anggota minoritas Muslim di Thrace Barat, memberikan insentif finansial, akses penerimaan di perguruan tinggi, dan peluang pekerjaan.
Namun, tetap saja sekolah-sekolah tersebut belum mampu mengejar ketertinggalan mutu. Sehinga, banyak keluarga Muslim mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum.
Sekolah umum yang berada di Thrace juga memberi pelajaran pendidikan Islam. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Muslim di luar Thrace.
Western Thrace juga mempertahankan dua sekolah tinggi guna mempersiapkan siswa Muslim untuk studi tingkat yang lebih tinggi dalam teologi Islam. Poulton melanjutkan, akibat perjanjian tersebut, populasi Muslim di Yunani menurun secara signifikan.
Di bawah persyaratan Perjanjian Lausanne, kaum Muslim Yunani Epirus, Yunani Makedonia, dan Yunani Utara diminta untuk berimigrasi ke Turki. Sedangkan, orang-orang Kristen yang tinggal di Turki diminta untuk berimigrasi ke Yunani.
photo
Tak ada masjid, Muslim Yunani shalat jamaah di depan kampus Universitas Athena. - (AP)
Adapun komunitas Muslim Thrace Barat dan Kristen dari Istanbul dan pulau-pulau dari Gokceada dan Bozcaada (Imvros dan Tenedos) adalah satu-satunya populasi yang tidak dipertukarkan. Akibatnya, Pemerintah Yunani ketika itu mendefinisikan Muslim itu berbahasa Turki Makedonia Timur dan Thrace sebagai Muslim Yunani dan tidak mengakui keberadaan minoritas Turki di Yunani Utara.
Perjanjian Lausanne yang ditandatangani pemerintah memberikan bahasa, hak-hak agama, dan pendidikan kepada masyarakat Thracian. Sedangkan, mereka yang di luar Thrace tidak tercakup dalam kesepakatan. Dengan demikian, umat Islam di bagian lain di negara tersebut terpaksa harus ke Thrace untuk mendapatkan pengakuan negara, seperti pernikahan dan pemakaman.
Hingga saat ini, umat Islam di Yunani masih merasakan dampak perjanjian tersebut. Ada ketimpangan yang nyata dalam sejumlah persoalan. Menyangkut masjid, misalnya, di Western Thrace dan Pulau Rhodes serta Kos, sekitar 290 masjid beroperasi.
Sementara, tidak ada masjid untuk sekitar 200 ribu Muslim di Athena. Izin pembangunan masjid sempat diberikan Pemerintah Yunani pada 2000 setelah lobi panjang selama beberapa dekade. Masjid ini rencananya didanai Arab Saudi.
Namun, konstruksi masjid yang akan dibangun di pinggiran Peania itu belum dimulai akibat pengaruh dari Gereja Ortodoks Yunani. Mereka tidak siap menerima masjid di tengah negara Kristen Ortodoks.
Penolakan juga datang dari wali kota dan penduduk setempat. Mereka mengklaim, masjid akan menjadi salah satu bangunan yang pertama kali terlihat dari bandara, sehingga merusak citra dan karakter Yunani sebagai mayoritas Ortodoks. Mereka juga mengklaim, Muslim keberatan dengan lokasi yang jauh. Sekitar satu jam dari pusat Kota Athena untuk shalat Zhuhur atau Jumat.
Perjanjian Lausanne juga berimbas pada kesulitan terhadap area pemakaman. Satu-satunya pemakaman Muslim terletak di Thrace Barat. Tapi, beberapa Muslim mengaku keberatan dengan kebijakan ini. Khususnya, mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk melakukan perjalan ke Thrace atau negara lain untuk melakukan pemakaman.
sumber : Harian Republika
No comments:
Post a Comment