Jalan Panjang Konstantinopel, Hagia Shophia, dan Muhammad Al-Fatih
Muhammad Al-Fatih. Foto/Ilustrasi/Ist |
JAUH sebelum dinasti Utsmani, beberapa kali kaum Muslimin berusaha menaklukkan Konstantinopel. Usaha pertama dilakukan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan di penghujung tahun 32 H/ 653 M di bawah pasukan pimpinan Mu'awiyah Ibnu Abi Sufyan, penguasa Syam waktu itu, yang menerobos Asia Kecil hingga Bosphorus.
Hal ini juga dilakukan oleh armada laut Islam pimpinan Busr ibnu Abi Artha'ah yang ingin membantu pasukan artileri Islam yang bergerak dari Tripoli Barat menuju Konstantinopel, tapi usaha itu gagal.
Usaha kedua dilakukan oleh Mu'awiyah ibnu Abi Sufyan pada tahun 44 H/ 664 M, usaha ini juga gagal.
Tahun 48 H/ 669 M, Mu’awiyah mencoba kembali. Ia mengirim pasukan besar pimpinan Sufyan Ibnu Auf yang ditemani Yazid ibn Mu’awiyah dan sejumlah sahabat terkemuka dari Muhajirin dan Anshar, seperti Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Zubair dan Abu Ayyub al Anshari.
Sementara itu, armada laut Islam yang berada di bawah pimpinan Busr ibn Artha'ah bergerak menerobos selat Dadanelle tanpa perlawanan.
Pengepungan kota dan laut terus berlanjut sampai tujuh tahun, tapi tanpa hasil, pasukan Muslim menarik diri ke markas pada tahun 58 H/ 678 M.
Pada tahun 96 H/ 715 M, Sulaiman ibn Abdul Malik duduk sebagai khalifah. Ia juga mencoba menaklukkan Konstantinopel. Ia memerintahkan saudaranya Maslamah ibn Abdul Malik untuk tidak meninggalkan Konstantinopel sampai berhasil menaklukkannya.
Pada permulaan tahun 98 H/ 716 M Maslamah bergerak menerobos daratan tinggi Anatolia, menduduki kota dan benteng milik Romawi, lalu mulai mengepung kota Konstantinopel.
Untuk kali kedua, pada 2 Muharram 99H/ 15 Agustus 717 M, Maslamah mengepung Konstantinopel lagi. Tapi pada beberapa minggu kemudian, yaitu pada 10 Safar 99 H, datang kabar perihal kematian Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik.
Selain itu, musim dingin tiba dan cuaca sangat ekstrim. Ini semua membuat Maslamah dan pasukannya menarik diri dan kembali ke Syam.
Setelah itu, tidak ada usaha lagi dari Khalifah untuk menaklukkan konstantinopel, meski pasukannya sudah pernah mendekati kota lebih dari sekali.
Harun Al-Rasyid
Perang paling populer terjadi pada masa kekhalifahan al Mahdi dari Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 165 H/ 783 M, anak al Mahdi, Harun al Rasid, bergerak memerangi Dinasti Byzantium.
Al Rasyid menerobos dataran tinggi Anatolia hingga mencapai tepian selat Bosphorus lalu membuat markas di atas bukit Chrysopolis (Scutari) yang menghadap langsung Konstantinopel.
Waktu itu, Byzantium dipimpin Konstantin VI yang masih belia sehingga roda pemerintahan dipegang ibunya, Eyrene. Pasukan al Rasyid dapat mengalahkan musuh dan memaksa Eyrene menandatangani perjanjian damai dengan membayar upeti tahunan kepada Dinasti Abbasiyah.
Upaya pertama Dinasti Utsmani dalam menaklukkan Konstantinopel dilancarkan pada 789 H/1395 M pada masa sultan Bayazid (sang kilat).
Sultan pada saat itu melakukan perjanjian dengan kaisar dan menuntutnya untuk menyerahkan kota dengan cara damai pada kaum Muslimin. Namun kaisar mengulur-ngulur waktu dan berusaha meminta bantuan kepada negara-negara Eropa, untuk menghadang serangan tentara Islam ke Konstantinopel.
Pada saat bersamaan, tentara Mongolia di bawah pimpinan Timur Leng menyerbu wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Utsmani.
Pasukan Timur Leng melakukan pengrusakan-pengrusakan. Peristiwa tersebut memaksa sultan Bayazid menarik mundur pasukannya dan pengepungannya pada Konstantinopel, untuk kemudian menghadapi pasukan Mongolia.
Dia memimpin sendiri sisa-sisa pasukannya dalam menghadapi pasukan Mongol, berkecamuklah pertempuran Angkara yang sangat terkenal, di mana Bayazid ditawan dan meninggal saat berstatus sebagai tawanan pada tahun 1402 M.
Akibatnya, goyahlah pemerintahan Utsmani untuk sementara waktu dan terhentilah pemikiran serta usaha untuk menaklukkan kota Konstantinopel dalam jangka waktu yang cukup lama.
Ketika pemerintahan Utsmani kembali stabil, semangat jihad kembali berkobar pada masa pemerintahan Murad II pada tahun 824 H/ 1451 M. Beberapa kali usaha penaklukan Konstantinopel dilakukan. Bahkan di masa pemerintahnnya beberapa kali tentara Islam mampu mengepung kota tersebut.
Pada saat itu, kaisar Byzantium berusaha menimbulkan fitnah di antara kaum Muslimin, dengan memberi bantuan pada orang-orang yang melakukan pemberontakan terhadap sultan. Cara tersebut ternyata efektif memecahkan konsentrasi pasukan Murad II dalam menaklukkan Konstantinopel. Sehingga pasukan Utsmani tidak mampu merealisasikan cita-cita Murad II.
Sultan Muhammad Al-Fatih
Penaklukan Konstantinopel menjadi kerinduan dan impian kaum Utsmani sejak berdirinya Dinasti mereka, Sultan Utsman, pendiri Dinasti, telah mewasiatkan penaklukan kota ini kepada sultan-sultan setelahnya. Tapi tidak ada satu sultan pun sesudah Utsman yang mampu mewujudkannya sampai masa Sultan Muhammad II yang merupakan anak dari sultan Murad II, sejak hari itu pula Muhammad II digelari al Fatih.
Dari sudut pandang Islam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu setelah Sultan Salahuddin Al Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di Ain al Jalut melawan tentara Mongol).
Kejayaannya dalam menaklukkan Konstantinopel menyebabkan banyak kawan dan lawan kagum dengan kepimpinannya serta taktik dan strategi peperangannya yang dikatakan mendahului pada zamannya dan juga seleksi pemilihan tentaranya.
Sultan Muhammad al Fatih diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Ketika naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Aaq Syamsuddin untuk menyiapkan bala tentara untuk penaklukan Konstantinopel.
Sultan al Fatih memulai persiapan penaklukan. Ia membangun benteng di daratan Eropa dekat selat Bosphorus yang menghadap sebuah benteng di daratan Asia yang dibangun Sultan Bayazid I, dengan demikian ia dapat mengawasi selat Bosphorus dan mencegah bantuan Kristen datang ke Konstantinopel.
Langkah selanjutnya yaitu melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya.
Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Byzantium di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer. Maka dijalinlah perjanjian dengan negara Galata yang berbatasan dengan Konstantinopel dari arah timur yang dipisahkan dengan Selat Tanduk Mas.
Sebagaimana ia juga menjalin perjanjian dengan negara Majd dan Venezia, dua negara yang berbatasan dengan negara-negara Eropa. Namun, negara-negara tersebut mengabaikan perjanjian, ketika serangan Sultan Al Fatih mulai beroperasi di Konstantinopel, pasukan negara-negara tersebut datang ke Konstantinopel, ikut membantu mempertahankan Konstantinopel.
Di bidang militer, Sultan al Fatih menyiapkan sebanyak 250 ribu tentara. Para tentara diberikan pelatihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah Saw terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.
Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad al Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M.
Di hadapan tentaranya, Sultan al Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah SWT.
Dia juga membacakan ayat-ayat al Qur’an mengenainya serta hadis Nabi SAW tentang pembukaan kota Konstantinopel.
Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT.
Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak dulu. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Byzantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Byzantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.
Tembok konstantinopel sungguh sulit untuk ditembus karena memiliki pertahanan yang kokoh, dari 20 km garis pertahan kota, 13 km diantaranya dibatasi oleh laut. Sebelah selatan kota dilindungi oleh laut marmara dengan ombak dan badai yang sering datang tak terduga, membuat kapal manapun sulit merapat.
Seluruh batas laut ini dijaga dengan sebaris tembok setinggi 15 meter dengan bersusun yang tak terputus dikuatkan dengan 188 menara setiap 70 meter.
Sebelah utara kota juga terdapat perairan yang tenang di Teluk Tanduk Emas yang berfungsi sebagai pelabuhan alami. Sedangkan garis pertahanan sepanjang 7 km di barat kota dilindungi oleh tembok tiga lapis, dikenal dengan tembok Theodosius yang terbentang dari Teluk Tanduk Emas sampai Laut Marmara.
Bagian terdalam tembok yang bersentuhan langsung dengan kota disebut mega teichos atau tembok dalam. Bagian ini menjulang dengan tinggi 18-20 meter degan ketebalan 5 meter, di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7 meter.
Dari sebelah barat pasukan artileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan Laut Marmara pasukan laut Turki harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tidak bisa lewat.
Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tidak bisa ditembus, kalaupun runtuh membuat celah maka pasukan Konstantin langsung mempertahankan celah tersebut dan cepat menutupnya kembali.
Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal.
Akhirnya Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosphorus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi.
Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.
Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. Tujuh puluh kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.
Pasukan Utsmani dengan semangat yang tinggi terus menggempur kota Konstantinopel yang dipimpin langsung oleh sultan al Fatih. Sedang pasukan Byzantium melakukan perlawanan yang gagah berani.
Kaisar Byzantium berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan kota dan raknyatnya dengan berbagai cara. Kaisar mengajukan berbagai tawaran kepada Sultan agar menarik pasukannya dan sebagai gantinya akan menyetorkan upeti dan menyatakan ketaatan kepadanya. Namun Sultan al Fatih dengan tegas menolak tawaran tersebut dan meminta agar Kaisar menyerahkan kota Konstantinopel.
Jika dilakukan, maka sultan akan memberi jaminan bahwa tidak akan ada seorang penduduk dan satu gereja pun yang akan diganggu. Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau pilihan terakhir yaitu perang.
Constantine menjawab bahwa dia tetap akan mempertahankan kota dengan dibantu Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovani Giustiniani dari Genoa.
Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan.
Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tidak pernah ditemukan jasadnya.
Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoanya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.
Sultan Muhammad al Fatih melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Byzantium. Takbir terus membahana di angkasa Konstantinopel seakan-akan meruntuhkan langit kota itu.
Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad al Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah SWT. Mereka memperbanyak salat, doa, dan zikir. Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, serangan utama dilancarkan.
Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentara Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota.
Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara al Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.
Konstantinopel telah jatuh, penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia (Aya Sofia), dan Sultan Muhammad al Fatih memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Yahudi maupun Kristen karena mereka (penduduk) termasuk non muslim dzimmi (kafir yang harus dilindungi karena membayar pajak), mu’ahad (yang terikat perjanjian), dan musta’man (yang dilindungi seperti pedagang antar negara) bukan nonmuslim harbi (kafir yang harus diperangi).
Konstantinopel diubah namanya menjadi Islambul (Islam Keseluruhannya). Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.
Toleransi tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut. Sultan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah gratis, siapapun boleh belajar, tidak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun perumahan, membangun rumah sakit, bahkan rumah diberikan gratis bagi pendatang di kota itu dan mencari nafkah di sana.
Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid.
Selain itu, Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari radhiallahuanhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahualaihi wa sallam yang wafat saat menyerang Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahuanhu.
Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam. Nama tersebut belakangan diubah oleh Pemimpin Revolusi Turki, Mustafa Kamal Ataturk menjadi Istanbul.
No comments:
Post a Comment