KH Muslih Banyumas: Ulama Utusan Pendamai Kartosuwirjo
Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Unsud.
Dunia santri Banyumas era 1950-1970-an terdapat istilah 5 M. Istilah menunjuk sosok ulama termashur dengan kemampuan masing-masing. Lima M ini: KH Muslih, KH Muhlis, KH Muzni, KH Mussalim, dan KH Muslim. Dari lima kita bahas dulu sosok KH Muslih.
Dunia santri Banyumas era 1950-1970-an terdapat istilah 5 M. Istilah menunjuk sosok ulama termashur dengan kemampuan masing-masing. Lima M ini: KH Muslih, KH Muhlis, KH Muzni, KH Mussalim, dan KH Muslim. Dari lima kita bahas dulu sosok KH Muslih.
Beliau dikenal orang Banyumas yang kemudian tinggal menetap di Rawamangun, Jakarta. Kyai Muslih dilahirkan di desa Tambaknegara, Rawalo, Banyumas tahun 1910. Ayahnya bernama Hasan Basari dan ibunya bernama Sri Inten.
Pendidikannya dilalui Sekolah Rakyat (SR). Kemudian melanjutkan belajar ke Madrasah Mambaul Ulum Solo hingga kelas sembilan. Siang harinya belajar di pesantren Sunniyah Keprabon Tengah dan malam harinya belajar mengaji Al-Qur’an di Pesantren KH Cholil Kauman.Beliau juga belajar kitab fiqih di pesantren Keprabon dan Jamsaren.
Selama berada di Solo, Muslih muda banyak mengikuti kursus-kursus agama Islam dan pengetahuan umum dari berbagai kalangan. Sudah menjadi tradisi di kalangan santri, secara temporer mengaji dan mondok di Pesantren Bogangin, Sumpyuh, Pesantren Leler Kebasen, Banyumas, hingga ke Pesantren besar di Tebuireng, Jombang, Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta.
Hal itu untuk menambah ilmu agamanya. sedangkan untuk memperoleh pengetahuan umum, ia tempuh otodidak dengan banyak membaca dan diskusi dengan para tokoh yang ditemui.
Kyai Muslih kembali ke daerahnya, mengabdikan diri sebagai guru Madrasah Mambaul Ulum Puwokerto (1930), dan menjadi guru pada Kweekschool Islamiyah (1935) milik PSII Cabang Cilacap. Pada tahun 1946 ia diangkat sebagai penghulu Kabupaten Cilacap, merangkap sebagai anggota tentara dengan pangkat Kapten atas restu Komandannya Letkol Gatot Subroto.
Riwayat sebagai aktifis pergerakan juga dialami sebagai akfisi SI. Muslih muda menjadi anggota kepanduan SIAP (Syariat Islam Afdeling Pandu), saat usia 16 tahun. Pengalaman selanjutnya menjadi aktif di Pemuda Muslimin Indonesia dan tentu saja menjadi anggota Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).Pergaulan dan tempaan pergerakan Kyai Muslih muda, ia lewati dengan aktif dan belajar kepada tokoh-tokoh Syarikat Islam.
Setelah HOS Tjokroaminoto meninggal dunia, bersama AM Sangaji, Mr Muhammad Roem dan H Agus Salim, Muslih dipecat dari PSII oleh Abikusno Tjokrosujoso. Ia bersama kelompok yang dipecat, kemudian ia mendirikan Gerakan Penyadar PSII yang dipimpin H Agus Salim.
Gerakan penyadar tidak aktif, bahkan kita kenal PSII juga terpecah lagi dengan PSII hijrah-nya Kartosoewiryo. Kondisi tersebut terjadi saat dunia peregrakan mengalami tekanan keras dari Gubernur Jendral Hindia Belanda, de-Jonge, di tahun 1930-an.
Selanjutnya Muslih bergabung ke dalam pengurus cabang NU Cilacap, kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU wilayah Jawa Tengah dan akhirnya dipromosikan lagi menjadi pengurus besar NU di Jakarta. Ketika NU bergabung dalam Masyumi (1946), Muslih ikut ke dalamnya.
Namun, ketika NU keluar dari Masyumi (1952) Muslih juga ikut keluar. Namun kiprah beliau kemudian lebih dikenal dalam dunia pendidikan. KH Muslih mengembangkan dunia pendidikan melalui Yayasan Perguruan Diponegoro yang didirikannya di Purwokerto dan Jakarta, hingga akhir hayatnya 28 Desember 1998.
Selain di Jakarta, perjuangan pendidikan di daerah asalanya, di Banyumas dilakukan dengan mendirikan Yayasan Al-Hidayah. Bersama ulama-ulama lain--terutama dengan sebutan 5M. Yayasan Al Hidayah Karangsuci Purwokerto menaungi beberapa lembaga pendidikan. Terdapat sekitar 50 sekolah Al Hidayah di berbagai tempat.
Saat itu belum ada aturan ketat tentang syarat pendirian lembaga pendidikan. Oleh karena itu, KH Muhlis sangat mudah dimintai izin penggunaan nama Al-Hidayah. Ketika ada masyarakat yang ingin mendirikan sekolah dan meminta izin menggunakan nama Al-Hidayah, beliau mempersilakannya.
Kyai Muslih dan Upaya Islah DI/TII
Dalam catatan Al-Chaidar, Pemikiran Politik Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo, disebut nama KH Muslih. Saat itu zaman Kabinet Natsir, KH Muslih termasuk orang yang diutus untuk menemui Kartosowirjo dengan menawarkan amnesti bagi semua kelompok bersenjata yang belum menggabungkan diri dengan republik dan masih memusuhi pemerintah RI.
Kedudukan KH Muslih saat itu sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Tengah. Pesan Natsir ini disampaikan kepada KH Muslih untuk bertemu dulu dengan Amir Fatah sebagai Komandan DI Jawa Tengah. Hanya saja dalam perjalanan ke Jawa Barat pasukannya selalu diikuti pasukan pemerintah hingga akhirnya Amir Fatah menyerah dan tidak sampai bertemu Kartosoewirjo.
Gagal pada usaha pertama, pada akhir Desember 1950, Natsir kembali menugaskan KH Muslih untuk menyampaikan amanat Pemerintah RI kepada “Tuan Kartosoewirjo”. KH Muslih dibawa ke markasnya Kartosoewirjo di Gunung Galunggung oleh salah seorang penghubung yang hidup di Bandung.
Keterengan foto: Kartosuw
Sebelum berangkat KH Muslih menemui Panglima Teritorium III/Siliwangi, Kol Sadikin dan kemudian mendapat disposisi yang ditandatangani Kepala Staf Letkol Soetoko yang berbunyi, “Berikan bantuan seperlunya, supaya order PM Perdana Menteri dapat dilaksanakan dalam tempo dekat”.
Setelah tiba di tempat tujuan Kyai Muslih tidak bertemu muka dengan Kartosoewirjo yang dia sudah kenal sejak tahun tigapuluhan ketika sama-sama menjadi anggota PSII. Lewat ajudannya Kartosoewirjo menyampaikan pesan, bahwa sebenarnya dia ingin bertemu dengan Kyai Muslih, namun sebagai Imam dan Panglima tertinggi NII dia tidak dapat menerima seorang kurir dari kedudukan serendah Kyai Muslih. Sebaiknya pemerintah di Jakarta mengirimkan seorang utusan yang resmi, maka dia akan menerimannya.
Tetapi sebelumnya pemerintah RI harus mengakui Negara Islam Indonesia dahulu. Dalam tulisan Al-Chaidar, penuturan KH Muslih sesungguhnya dia dititipi dua surat untuk PM Natsir, yang satunya katanya untuk Natsir pribadi.
Surat tersebut dinamakan sebagai “panggilan daun nyiur” dari Kartosoewirjo. Itulah pengalaman dan sejarah upaya ishlah yang pernah dilakukan dan dijalankan oelh Kyai Muslih.
Tugas mendamaikan antara DI-TII dan RI juga dilakukan KH Muslih sebagai salah seorang orang Banyumas, pernah mencoba mendamaikan konflik antara DI-TII dan TNI di wilayah Banyumas dengan mengadakan pertemuan di Desa Karangsari, Cilongok Banyumas, antara Letkol M. Bahrun dan anggota DII-TII pada tahun 1950.
Hal ini dimungkinkan, sebab kemungkinan Letkol M. Bahrun sebagai Panglima operasi MMC, dahulunya adalah seorang ustad di Mesjid Agung Purwokerto.
Sumber:
1. Al-Chaidar, Pemikiran Politik Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo, Darul Falah, Jakarta, 1420. Hal 116
2. KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren, LKIS, Yogyakarta, 2001
3. Sumber tulisan NU Onlinehttp://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,8101-lang,id-c,tokoh-t,Mengenang+Pribadi+KH+Muslich-.phpx diunduh 18 November 2013
No comments:
Post a Comment