Penempatan Ketuhanan Berkebudayaan, Pemikiran Soekarno?


Soekarno tetap menegaskan Indonesia adalah negara berketuhanan. *Oleh Syaiful Arif 

Salah satu isu kontroversial di dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) adalah tentang ide ketuhanan yang berkebudayaan milik Soekarno. Ide ini dijadikan salah satu “sila” dari Trisila, yang memuat pula prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Bersama dua ide sosiosentris tersebut, ketuhanan berkebudayaan ditetapkan sebagai ciri pokok Pancasila di dalam Pasal 7 (ayat 2). 

Sebagian besar masyarakat menolak ide ini karena dianggap telah “membudayakan agama”. Yang profran mendeterminasi yang sakral. Ketuhanan berkebudayaan lalu dianggap sebagai “mazhab ketuhanan” yang menyimpang, yang senapas dengan ide kalangan Nahdliyin semisal Islam Nusantara.
Di dalam anggapan ini, terselip pemahaman bahwa ketuhanan milik Soekarno, bukan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan ketuhanan yang berkebudayaan. Benarkah anggapan tersebut?

Faktanya, penempatan ketuhanan berkebudayaan sebagai bagian dari Trisila, tidak dilakukan Soekarno melainkan oleh para pengkaji dan pengikut ajarannya. Soekarno sendiri dalam pidato 1 Juni 1945 menyatakan, “Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie dan ketuhanan”.
Ini berarti, ketika menyebut Trisila, Soekarno hanya menyebut prinsip ketiga dengan terma ketuhanan, minus kebudayaan. Baginya, kebudayaan bukan “sifat eksistensial” dari Tuhan, melainkan “cara pengamalan” atas iman kepada-Nya. 

Inilah mengapa ketika menetapkan sila kelima dari Pancasilanya, ia menyebut Ketuhanan Yang Maha-Esa. Sedangkan frasa ketuhanan berkebudayaan, ia sebut di dalam paragraf berikutnya dengan memaksudkannya sebagai cara bertuhan. Pengamalan iman.  

Maka Soekarno menyatakan, “Saudara-saudara, apakah prinsip kelima? Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha-Esa. Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri… dengan cara yang leluasa”.
Di kalimat berikutnya, baru ia menegaskan, “Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan!” 

Di paragraf selanjutnya, ia mengulang, “Bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”. Pengulangan ini lalu ditutup dengan kalimat, “Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” (Soekarno, 2014: 45-48)



Iman-Amal

Dari teks pidato tersebut, kita bisa memahami maksud Soekarno dalam dua arti. Pertama, ketuhanan yang dijadikan sila kelima tersebut ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia secara khusus menggunakan kata taqwa yang mencerminkan tradisi Muslim.
Oleh karenanya, kerangka ketuhanan Soekarno adalah kerangka ketuhanan Islam. Ketika pada paragraf selanjutnya ia menyebut “prinsip kelima dari negara ialah ketuhanan yang berkebudayaan”, maka hal itu dimaksudkan sebagai penjelasan aksiologis dari ontologi Ketuhanan Yang Esa.  

Ini berarti, hubungan ketuhanan Yang Maha-Esa dengan ketuhanan yang berkebudayaan ialah hubungan iman dan amal. Iman Soekarno tentu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cara mengamalkan iman tersebut, secara berkebudayaan.  

Kedua, frasa ketuhanan berkebudayaan tidak berdiri sendiri. Tentu Soekarno menjelaskan kandungan nilai di dalamnya, yakni ketuhanan tanpa egoisme beragama. Ini berarti ketuhanan tanpa sektarianisme. Ketuhanan yang berbudi pekerti, yang berarti hormat menghormati.
Artinya, ketuhanan berkebudayaan memiliki makna yang sederhana, yakni ketuhanan yang toleran. Itu saja. Bukan ketuhanan yang didominasi oleh praktik budaya yang dianggap menyimpang dari kemurnian agama.  
photo
Bung Karno dan Bung Hatta pada peristiwa pembacaan teks proklamasi di hari Jumat, pukul 10.00 pagi, pada 17 Agustus 1945, di Jl Pegangsaan Timur, Jakarta. - (Arsip nasional)
Pemikiran Soekarno menempatkan Indonesia bukan negara agama bukan sekuler.
Akar Tunggang

Bukan kali ini Soekarno disalahpahami. Pada 2017, Muhammad Rizieq Shihab, pimpinan Fron Pembela Islam (FPI) menyebutnya telah “mempantatkan ketuhanan”, karena meletakkan nilai itu sebagai sila kelima. Ini yang membuat Shihab menyebut Pancasila 1 Juni sebagai ideologi sekuler, yang berbeda dengan “Pancasila Islami” versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Dalam kaitan ini, Romo Nicolaus Driyarkara memiliki jawaban. Dalam Pertemuan Pancasila dan Religi (2006: 861), Driyarkara mencoba menjelaskan kerangka berpikir Soekarno. Menurutnya, penempatan ketuhanan sebagai sila kelima (dalam konteks pemikiran Soekarno) sudah tepat, karena ketuhanan “bukan karya langsung” negara.

Menurut Driyarkara, “karya langsung negara” ialah nilai-nilai politik, berupa kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan sosial. Artinya negara, terutama negara nasional (bukan negara agama) didirikan dengan tugas memuliakan nilai-nilai politik ini. Bukan untuk menerapkan hukum Tuhan.

Pertanyannya, apakah dengan demikian negara tersebut sekular? Tentu tidak. Karena nilai-nilai politik itu dibangun di atas dasar ketuhanan. Dan tepat di sinilah maksud Soekarno. Ia membangun nilai-nilai politik Pancasila di atas “akar tunggang” ketuhanan. Tanpa ketuhanan, semua nilai politik tersebut menjadi profan, sekular.

Pada 1928, untuk menganggapi kesangsian Haji Agus Salim atas nasionalismenya yang dianggap sekular, Soekarno menyatakan, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’, dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam Roh’, sebagai yang saban-saban dikhutbahkan  Bipin Chandra Pal, pemimpin India jang besar itu” (Soekarno, 1963: 112).

Ini berarti, Soekarno memahami dan menghayati nasionalisme secara spiritual. Ia menerimanya sebagai wahyu dan mengamalkannya sebagai bakti ketuhanan. Untuk itulah ketika merumuskan Pancasila, ketuhanan ia jadikan dasar bagi ide-ide politiknya. Ide-ide politik Pancasila telah ia racik sejak 1920 dalam bentuk sosio-nasionalisme (kesatuan sila kebangsaan dan sila kemanusiaan) serta sosio-demokrasi (kesatuan sila kerakyatan dan sila kesejahteraan sosial). Ketika diasingkan di Ende, Flores pada 1934, ia menemukan ketuhanan sebagai nilai dan konsep yang harus dimasukkan untuk menyempurnakan karya besarnya. Dan benar, ketuhanan lalu menyempurnakan perjalanan intelektualnya, sehingga paripurna menjadi Pancasila.

Kalaupun ia menyebut “mazhab” ketuhanannya sebagai ketuhanan berkebudayaan, itu artinya ia ingin membaktikan diri kepada Tuhan secara kebudayaan. Dalam akar katanya, kebudayaan ialah pendayaan budi. Sebuah proses mengaktifkan budi, sehingga segala kebijaksanaan tidak hanya menjadi mutiara terpendam, melainkan karya nyata bagi keadaban hidup manusia. Jika seperti ini makna kebudayaan itu, lalu apa yang salah dengan ketuhanan yang berkebudayaan?

*Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Penulis buku Falsafah Kebudayaan Pancasila (Gramedia Pustaka Utama, 2016)

No comments: