Peran dan Fungsi Masjid Menurut M. Natsir (Bagian II)
Masih dalam kategori pertama, Buya Natsir lagi-lagi menyebutkan bahwa masjid bukanlah tempat untuk shalat saja.
SETELAH menyebutkan beberapa peran dan fungsi masjid, M. Natsir menyampaikan beberapa indikator orang yang disebut sebagai pemakmur masjid. Semuanya terilhami dari surah at-Taubah ayat 18.
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah,”
Pertama, orang yang beriman kepada Allah dan beriman sungguh-sungguh bahwa hidup di dunia ini pada akhirnya akan ditutup dengan satu hidup yang lain. Dengan bahasa yang lebih ringkas, hidup di dunia adalah babakan pertama dari hidup yang panjang sekali.
“Djikalau benar2 satu Masdjid ma’mur,” kata beliau, “maka masdjid itu melahirkan satu djama’ah jang sifatnja beriman kepada Allah SWT dan iman itu tergambar dalam tingkah lakunja sehari-hari.”
Adapun contoh dari tingkah laku jamaah yang masjidnya sudah makmur, antara lain digambarkan melalui Hadits Nabi yang intinya mengatakan bahwa Mukmin yang satu dengan yang lain seperti satu batang tubuh. Jika yang satu mengadu sakit, maka seluruh anggota akan merasa sakit.
Masih dalam kategori pertama, Buya Natsir lagi-lagi menyebutkan bahwa masjid bukanlah tempat untuk shalat saja. Kata beliau, “masdjid adalah tempat pembinaan djama’ah dan masjid itu akan berhasil dalam tugasnja sebagai pembina djama’ah, apabila dari masdjid itu keluar orang2 jang mau membersihkan diri dan sesudah itu membentuk satu djama’ah “kal-jasadil-wahid” di antara mereka jang beriman kepada Allah.”
Mereka ini tentu tidak hanya berkumpul ketika shalat Jumat saja, sementara ketika sudah usai, mereka kembali terpencar seolah satu sama lain tidak saling kenal. Tak sedikit pula yang datang ke masjid hanya ketika shalat berjamaah saja, sedangkan ruh dari ukhuwah tidak nampak dalam kehidupan nyata.
Kondisi demikian sampai sekarang tentu masih banyak terjadi. Banyak fenomena masjid megah tapi sepi jamaah. Kalaupun ada, hanya pada shalat berjamaah, tidak sampai menyentuh ukhuwah dan penerapan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Masjid yang demikian, kata murid brilian A. Hassan ini tak bisa dinamakan masjid yang makmur.
Baca: Peran dan Fungsi Masjid Menurut M. Natsir (Bagian I)
Selain daripada itu kata beliau penting menyampaikan dengan bijak kewajiban shalat dan zakat. Kalau dibaca dari penjelasan M. Natsir, mengajak orang shalat dan zakat itu dengan cara yang lembut. Dalam zakat pun tidak bisa hanya dengan kata-kata, ia perlu terjun langsung mengingatkan dan contoh nyata.
Lebih jauh dari itu Natsir mengingatkan agar dalam masalah zakat jangan kita hanya menjadi orang yang menjembatani antara orang-orang yang punya dan tidak punya dalam arti lahiriah saja misalnya zakat, sistemnya, hibah dan wakaf. Tapi juga diajarkan kepada masyarakat bahwa zakat adalah pembersihan jiwa.
Setelah orang sudah menginginkan kebersihan untuk dirinya kemudian kebersihan untuk orang lain, maka dia masuk tahap yang disebut umat. Dalam sekala yang lebih besar lagi, nanti ia disebut umat yang dalam al-Qur`an disebut “Ummah Yad’uuna ilal-Khoir” (Umat yang memanggil dan menarik orang kepada kebaikan). Umat yang demikian menduduki maqom tertinggi menurut beliau karena mengerjakan kebaikan untuk diri sendiri dan mengajak orang lain. Hal ini adalah fungsi dari memakmurkan masjid, kata beliau.
Orang yang berdakwah demikian diibaratkan Natsir bagaikan magnet di tengah pasir; maka seluruh pasir itu akan berlari mengejarnya. Jadi tutur beliau, “Da’wah ilal-chair itu memanggil, menarik orang kepada kebaikan dgn amal jang baik, dgn budi pekerti jg baik.” Laksana maghnet yang tak bergerak, tapi menggerakkan.” Ini bisa dicapai oleh orang-orang suka kepada kebersihan yang sifatnya beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Kedua, berpantang ia takut kepada apapun selain Allah Subhanahu Wata’ala. Ini menurut beliau adalah maqom yang lebih tinggi lagi. Orang yang sudah membersihkan diri, jiwa dan rohaninya dengan ibadah khusyuk, orang yang sudah melakukan kewajiban pada sekelilingnya walaupun hanya satu ayat, yang sudah melakukan kewajiban pada masyarakat seperti zakat, yang tidak rela melihat penderitaan di sekelilingnya, maka ia mempunya sifat pantang takut kepada apa dan siapapun. “Ini semua,” kata Natsir, “adalah program hidup djamaah Masdjid.”
Jika sudah terbentuk jamaah masjid yang demikian, maka mereka telah dekat dengan kategori “ummah yad’una ilal-khair waya’muruna bil-ma’ruf wayanhauna ‘amil-munkar” (QS. Ali Imaran [3]: 104). Ketika itu sudah tergapai, maka akan meningkat lagi pada kategori berikutnya yaitu “ummatan wasathan” (QS. Al-Baqarah [2]: 143) yaitu umat yang mempunyai keutamaan di tengah-tengah umat yang lain, mempunyai shibghah (corak kepribadian) sendiri yang menjadi “syuhada” pengawas, pelopor, perintis jalan bagi orang lain.
Itulah di antara fungsi dan perang masjid. Sebagai penutup kata-kata M. Natsir di akhir-akhir kuliah bisa direnungkan, “Marilah kita hidup, ibarat ikan di tengah2 laut jg airnja asin, tetapi ikan jg bersih, ikan jg dagingnja itu mempunjai shibgah mempunyai kepribadian sebagai ikan jg hidup. Ikan itu walaupun seumur hidupnja berada di tengah2 air garam, pastilah daginja tidak akan asin. Tidak kena pengaruh oleh rasa garam itu.”
Artinya jamaah masjid berperan dengan shibghanya tetap berdakwah di tengah masyarakat tanpa terpengaruhi oleh hal yang jelek, justru merekalah yang memberi pengaruh kebaikan kepada sekelilingnya.*/Mahmud Budi Setiawan
No comments:
Post a Comment