Proses Sekularisasi di Kesultanan Utsmani [1]
Ayasofya (Hagia Sophia) tahun 1920 (Ottoman Archieve) |
Walaupun parlemen dibubarkan dan Freemasonry juga mendapatkan tekanan dari Sultan Abdul Hamid II, namun kaum sekular tetap gencar merealisasikan program-programnya
PROSES pembaharuan ala Barat yang dilaksanakan oleh pembesar Utsmani merupakan suatu tanda bahwa pejabat istana pada saat itu tergiur dan tertipu dengan kemajuan Barat. Pembaharuan itu di awali oleh Sadrazam atau Wazir agung, karena Wazir Agung merupakan kunci dalam pembaharuan di Turki.
Para pembesar istana sudah lupa dengan mutiara Islam dan nasehat pendiri Kesultanan Utsmani. Buktinya, mereka sangat percaya bahwa Utsmani bisa maju hanya mengambil ide-ide dan teknik Barat, sebagian mereka berpendapat bahwa kelemahan dan kekalahan Turki menyangkut permasalahan teknis dan militer. H.A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modren, ( Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994). Sehingga didirikan lembaga-lembaga sekular dan transfer ilmu pengetahuan Barat dengan cara mengirimkan 150 mahasiswa ke pusat-pusat pendidikan di Eropa. Jadi, kebijakan pembesar Utsmani sebuah bukti tergiurnya mereka dengan kemajuan Barat.
Adapun, ketertarikan pembesar Utsmani terhadap kemajuan Barat merupakan sesuatu yang wajar. Karena memang pada saat itu persenjataan perang mereka mengungguli Utsmani. (Deden A. Hardiansyah, Di balik Runtuhnya Utsmani, Pro-U Media).
Hal ini sangat jelas setelah gagalnya pengepungan kedua terhadap Viena tahun 1683. Namun, ketertarikan itu membawa bencana besar terhadap keberlangsungan Kesultanan Utsmani di masa depan. Karena kebijakan para pembesar untuk melakukan pembaharuan ala Barat, dengan mengirimkan para pemuda berbakat untuk belajar ke Eropa dan tentara Utsmani juga diharuskan untuk berlatih di Prancis. Tentu hal ini akan merubah pemikiran para intelektual muda dan tentara yang yang belajar di Eropa. (Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt, al-Maktabah al-Syāmilah).
Sebelum para intelektual alumni Barat menjalankan program sekularisasi di Turki. Pemikiran Barat dalam pembaharuan sudah terlihat pada masa Sultan Salim III. Para intelektual yang memiliki gagasan pandangan kebarat-baratan, dilantik menjadi pejabat dan diberikan posisi-posis yang penting dalam pemerintahan.
Namun pembaharuan ala Barat, tentu tidak berjalan dengan mulus, karena para pendahulu Kesultanan Utsmani memiliki hubungan erat dengan para ulama untuk menentukan arah pemerintahan. Walaupun demikian pembaharuan tetap berlangsung pada masa Salim III tersebut, yang terkenal dengan sebutan Orde Baru. Walaupun tidak memiliki dukungan dari para ulama, namun ini merupakan sebuah jalan bagai para intelektual untuk memuluskan rencana mereka, merobah pola kepemerintahan Kesultanan Utsmani.
Pada masa tersebut, para intelektual membuka luas gerbang pem-Baratan di Turki Utsmani. Dengan menjalin hubungan antara kerajaan Turki Utsmani dan Barat. Pada masa pemerintahan Sultan Salim III tersebut, komunikasi dengan Barat di buka dengan seluas-luasnya, terlebih khusus dengan Prancis. Di antara komunikasi tersebut Sultan Salim III mengambil kebijakan reformasi yang dikenal dengan Nizam-i Cedid (Orde Baru) sebagaimana istilah yang digunakan di Prancis. Dan juga memperbaharui bidang militer dengan merekrut para perwira asing sebagai penasihat dan instruktur kemiliteran Turki Utsmani.
Adapun menjadikan non-Muslim sebagai penasehat dan instruktur dalam bidang kemiliteran merupakan kesalahan yang sangat fatal. Karena menyalahi asas dari Kesultanan Utsmani yang menjadikan ulama sebagai nasehat, dan Islam juga mengajarkan para pejuang untuk jihad fisabīlillah, mengorbankan harta dan jiwa demi Islam. (‘Izzudin Abdul’aziz bin ‘Abdissalam, Tafsīr al-Qur’ān Ikhtiṣār li Tafsīr al-Mawardy, Beirut)
Berperang dengan iman, lebih menjaga diri dari pada dosa ketimbang musuh, merupakan jalan mendapatkan pertolongan Allah SWT dari musuh saat berperang. (Abdullah bin Muhammad al-‘Ngoniman, Syarah Fath al-Majid (Maṣdar al-Kitab: Durūs ṣauṭiyyah, al-Maktabah al-Syāmilah).
Keimanan ini akan terkikis dari hati para tentara, karena bergaul dan dididik oleh kaum sekular yang tidak memiliki dīn. Jadi, keputusan menjadikan kaum Barat untuk menjadi nasehat militer merupakan cara penyelesaian masalah yang tidak akurat. Namun, karena pandangan sebagian pembesar istana terhadap kehidupan sudah dipengaruhi oleh worldview Barat, mutiara Islam yang mereka miliki tak akan terlihat.
Walaupun, kebijakan pembaharuan dengan mencontoh teknik Barat, tidak membawa Turki Utsmani semakin maju dan selalu mengalami kekalahan dalam perperangan melawan Barat. Menariknya, pem-Baratan tetap dilanjutkan juga dengan mendirikan insitusi-insitusi di Turki Utsmani seperti halnya di Barat, yang dikenal pada saat itu dengan Tanzimat. Hadirnya sistem Tanzhimat merupakan awal dikotomi antara urusan agama dengan urusan duniawi di Turki Utsmani, yang mana urusan agama diatur oleh syariat Islam, sedangkan urusan duniawi diatur oleh hukum yang bukan syariat. Hukum-hukum yang bukan syariat itu diserahkan kepada dewan perancang hukum yang mengambil refrensi dari negara-negara Barat.
Jadi pada era Tanzhimat ini pengaruh pemikiran Barat sudah semakin kuat di istana Kalau diteliti lebih dalam, perpecahan dan ketidak kompakan antara Sultan dengan ulama sudah jelas terlihat pada masa Orde Baru dan Tanzhimat.
Pada masa Orde Baru, para penguasa Turki dan kelompok pembaharu ala Barat mengambil keputusan untuk melemahkan peran ulama terhadap pemerintahan. Akibatnya, umat Islam tidak setuju dengan reformasi Salim III, sehingga keadaan tidak kondusif akibat adu domba yang di tata rapi oleh Barat.
Sedangkan pada masa periode Tanzhimat, para pelajar dari Barat dan Reshid Pasha seorang anggota Freemasonry mengambil peran penting untuk memisahkan kekuasaan dengan dīn yang dikenal dengan sekularisasi, mereka menerbitkan tulisannya yang mengandung doktrin sekularisme melalui majalah-majalah, surat kabar dan sarana yang tepat untuk mengenalkan sekularisme pada masyarakat kota. Jadi, semakin terlihat jelas perpecahan umat Islam pada masa Orde Baru dan Tanzhimat, bukan hanya itu saja, usaha memisahkan kehidupan dengan dīn khususnya dalam pemerintahan semakin nampak juga.
Sebenarnya, hal tersebutlah yang diinginkan oleh Barat, karena Islam adalah trauma abadi bagi Barat, kapan dan di mana pun Islam dilibatkan Barat selalu merasa ketakutan. (Edwar W. Said, Orientalisme, Terj Achmad Fawaid).
Oleh sebab itu, karena sumber kekuatan Turki Utsmani adalah jiwa keislamannya, maka para penguasa Turki Utsmani harus dijauhkan dari Islam. Sehingga, Barat memanfaatkan para intelektual yang kebarat-baratan untuk melemahkan internal Utsmani, pada abad 18 Inggris dan Prancis telah sukses melemahkan Utsmani, sehingga mudah untuk menjamah kekayaan-kekayaan Timur, tanpa rintangan dalam melewati kawasan-kawasan Turki Utsmani. Jadi, pengaruh Barat dalam usaha pembaharuan ala Barat untuk Turki Utsmani tidaklah dilakukan dengan harapan memajukan Turki Utsmani, akan tetapi memunculkan permasalahan internal dalam tubuh Turki Utsmani itu sendiri.
Permasalahan internal bisa juga dilacak pada masa Sultan Abdul Aziz. Saat para negarawan terkemuka dan pejabat Tanzhimat memainkan peran penting dalam menyusun rencana untuk menggulingkan Sultan Abdul Aziz. Rencana makar tersebut berawal dari pemikiran seorang panglima perang, Husain Auni Pasha dan dibantu oleh Midhat Pasha.
Jadi, jelas sekali kekacauan dalam tubuh Utsmani yang diperankan oleh para intelektual alumni Barat dengan berusaha untuk mensekularkan Turki Utsmani, namun dalam usaha untuk mensekularkan Utsmani, para pembaharu ala Barat tersebut mendapatkan tantangan dari sultan Abdul Aziz yang sangat anti Barat. Namun, para pembaharu berhasil menggulingkan Sultan Abdul Aziz bahkan membunuhnya. (Muhammad Harb, al-Utsmāniyyūn fi al-Tārīkh wa al-Haḍārah).
Kemudian mereka dengan gencar mengupayakan kenaikan Sultan Murad V, seorang keluarga istana yang tergabung dalam Freemasonry. Mereka mengupayakan Murad V naik tahta dengan tujuan tercapai segala rencananya, akhirnya Freemansonry pun berhasil menjadikan Murad V sebagai boneka.
Usia pemerintahan Sultan Murad V hanya berlangsung selama 93 hari. Sultan mengalami sakit yang membuat kesehatannya terus menurun. Pada saat sakit inilah Midhat Pasha secara teliti mempelajari hukum dan undang-undang Barat serta melakukan kontak dengan para pendukungnya hingga dia berhasil menyiapkan undang-undang dalam bentuknya yang siap pakai. Jadi, begitulah arah tujuan dari pem-Baratan di Utsmani.
Midat Pasha adalah sesorang Yahudi Dunamah dan anggota Freenasonry. Orang-orang Freemasonry menyebutnya sebagai “Bapak Konsitusi”. Mereka memperkenalkannya melalui surat kabar, majalah, siaran radio. Dengan demikian ia bisa mencapai posisi puncak, antara lain menjadi penguasa Suriah, Irak, dan menjadi perdana mentri. (Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt, Juz II, 19).
Oleh sebab itu, Sultan Abdul Hamid II memerintahkan agar konsitusi liberal dan mendirikan parlemen dilaksanakan dan segera dilakukan pemilihan umum. Karena mendapatkan tekanan dari Midhat Pasha dan Eropa. (Eugene Rogan, The Fall of the Khilafah, Terj, Fahmi Yamani, Jakarta).
Namun, majelis parlemen ini hanya berumur 10 bulan 20 hari, tak kala Sultan Abdul Hamid II mendapatkan celah, Ia segera membubarkan parlemen pada tanggal 13 februari 1878. Artinya, Sultan Abdul Hamid II mendapatkan perlawanan dari kaum sekular yang sudah mengakar pada saat awal masa pemerintahannya.
Walaupun parlemen dibubarkan dan Freemasonry juga mendapatkan tekanan dari Sultan Abdul Hamid II, namun kaum sekular tetap gencar merealisasikan program-programnya. Untuk memudahkan rencana tersebut Freemasonry melakukan pendekatan melalui Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP) dan menguncurkan dana dari Bank Italia sebanyak 400 ribu lira emas untuk membiayai gerakan konspirasi terhadap Abdul Hamid II. (Ali hasun, Tārīkh al-Daulah al-‘Utsmāniyyah wa ‘Alāqōtuhā al-Kharījiyyah, Beirut : al- Maktabah al-Islāmy, 1994).* (Bersambung)
Muhammad Karim
Asatidz Tafaqquh Study Club
No comments:
Post a Comment