Sang Penakluk Konstantinopel yang Mewujudkan Janji Rasulullah


Miftah H. Yusufpati

MUHAMMAD Al-Fatih ialah Sultan Muhammad II atau populer juga dengan nama Sultan Mehmed II. Beliau lahir di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah, pada 27 Rajab 835 H atau 30 Maret 1432 M. 

Muhammad adalah putra dari Sultan Murad II, raja keenam Daulah Utsmaniyah. Beliau hidup di masa setelah Sultan Salahuddin al Ayyubi (pahlawan perang Salib). Beliau memerintah selama 31 tahun dengan memperoleh kebaikan serta kemenangan bagi orang Islam. Gelarnya al-Fatih dan Abu al-Khairat.

Beliau seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawaduk setelah Sultan Salahuddin al Ayyubi, pahlawan Islam dalam perang Salib; dan Sultan Saifuddin Mahmud al Qutuz, pahlawan Islam dalam peperangan di Ain al Jalut melawan tentara Mongol.

Al-Fatih memerintah Daulah Ustmaniyah menggantikan Sultan Murrad II yang wafat pada 18 Februari 1451 M/16 Muharram 855 H. Saat memimpin, usianya baru 22 tahun. 

Mehmed II dikenal mempunyai kepribadian cemerlang. Kekuatan dan keadilan telah tercermin dalam pribadinya sebagaimana ia sangat unggul dalam segala bidang ilmu, lebih-lebih tentang bahasa dan sejarah.

Beliau menjadi jawaban dari bisyarah Rasulullah yang tertera pada hadisnya. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad bin Hanval Al Musnad).

Hadis ini yang mendorong Sultan Mehmed II berusaha keras menaklukkan Konstantinopel. 

Semenjak kecil, Sultan Mehmed II telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Konstantinopel. Beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang 48 tahun sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam.

Ketika naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, beliau mulai berpikir dan menyusun strategi untuk membebaskan kota tersebut.

Kekuatan Sultan Muhammad al Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika dan menguasai enam bahasa saat berumur 21 tahun.

Berbagai metode dan strategi dilakukan meskipun tak jarang menemui kegagalan. Pada 20 Jumadil Awal 857 H bertepatan dengan 29 Mei 1453 M, Al Fatih beserta bala tentaranya berhasil menaklukkan Konstantinopel.

Dia sukses memasuki wilayah Konstantinopel dengan membawa serta kapal-kapal mereka melalui perbukitan Galata, untuk memasuki titik terlemah Konstantinopel, yaitu Selat Golden Horn. Ketika itu, Sultan Mehmed II beserta ribuan tentaranya menarik kapal-kapal mereka melalui darat.

Meski ada tentaranya mengatakan kemustahilan untuk melakukan startegi tersebut. Namun, Mehmed II tidak gentar. Dia dengan tegas mengatakan kepada seluruh tentaranya untuk bergegas dan melaksanakan strategi tersebut.

Tujuh puluh kapal diseberangkan melalui bukit hanya dalam satu malam, saking hebatnya Sastrawan Yoilmaz Oztuna berkata, “Tidaklah kami pernah melihat atau mendengar hal ajaib seperti ini, Mehmed telah menukar darat menjadi lautan dan melayarkan kapalnya di puncak gunung. Bahkan usahanya ini mengungguli apa yang pernah diilakukan oleh Alexander The Great.”

Namun apa sesungguhnya yang luar biasa di balik sukses Mehmed II?

Sehari sebelum berjalannya strategi itu, ia memerintahkan semua tentaranya untuk berpuasa pada siang hari dan salat Tahajud pada malam harinya sebelum berperang untuk meminta kemenangan kepada Allah.


Alhasil, Mehmed II berhasil membawa kemenangan dengan menaklukkan Konstantinopel dan memimpinnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ia melindungi seluruh rakyat di sana, baik Muslim maupun non-Muslim.

Setelah kemenangan itu, Mehmed II kemudian diberi gelar Sultan Muhammad Al Fatih, sang penakluk konstantinopel yang mewujudkan janji Rasulullah.

Mehmed II memang terkenal sebagai sultan yang saleh. Semasa hidupnya, dia tidak pernah meninggalkan salat fardu, salat sunah, salat Tahajud, dan berpuasa. Sejak ia berusia delapan tahun, ia telah menghafal Al-Quran dan menguasai tujuh bahasa berbeda, yaitu Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Parsi, dan Ibrani.

Guru Al-Fatih
Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ulama terkemuka di zamannya. Di zaman ayahnya, Sultan Murad II, guru Muhuhammad Al-Fatih adalah Syeikh Muhammad bin Isma'il Al Qurani. Dia adalah ulama Kurdi yang mempunyai keutamaan dan kecerdasan sabgat tinggi.


Prof Ali Muhammad AshShalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah menyebut, Al Fatih tidak pernah membaca sesuatu sehingga ia tidak bisa mengkhatamkan al-Qur‟an.

Sultan Murrad II memberikan alat pemukul dan memberi wewenang kepada gurunya agar ia memukulnya kalau tidak patuh perintahnya. Suatu ketika al Qurani pergi menemui al Fatih dengan membawa alat pemukul dan berkata “Ayahmu mengutusku untuk memberi pengajaran dan aku akan memukul jika kamu tidak patuh terhadap perintahku”.

Waktu bertemu Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan Murad II, Muhammad tertawa, lalu dia dipukul oleh Syeikh al Qurani, dengan pukulan yang sangat keras, hingga membuat Muhammad takut dan jera. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Muhammad lantas setelah itu dia terus menghafal al Qur’an dalam waktu yang singkat.

Syaikh al Qurani dikenal tegas terhadap penguasa ketika melanggar syari’at. Al Qurani memanggil penguasa dengan namanya langsung bukan gelarnya, berjabat tangan dan tidak mencium tangannya akan tetapi sang penguasalah yang mencium tangannya. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika dari tangan-tangan mereka lahir orang-orang besar seperti Muhammad al Fatih (al Shalabi, 2004: 108).

Di samping al Qurani, guru Muhammad al Fatih adalah Syeikh Aaq Syamsuddin, Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Hamzah al Dimasyqi al Rumi, dilahirkan dikota Damaskus, Syria, pada 792H/1389 M dan meninggal pada tahun 863 H/1459 M. beliau merupakan keturunan khalifah Abu Bakar al Shiddiq (Alatas, 2000: 63).

Syaikh Syamsuddin, adalah seorang ulama ahli tasawwuf berasal dari negeri Syam. dia mengajar Muhammad ilmu-ilmu agama seperti al Qur’an, hadis, fiqih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya (al Naisaburi, 1999: 87).

Disebutkan al Shalabi (2004: 109) peran yang dilakukan oleh Syeikh Aaq Syamsudin dalam membentuk kepribadian Muhammad al Fatih dan selalu mengilhaminya dengan dua perkara semenjak ia masih kecil, yaitu:

Pertama, memperkuat barisan pasukan kekuasaan Utsmani. Kedua, semenjak Muhammad al Fatih masih kecil ia selalu mengilhamkan bahwa Muhammad
Al-Fatihlah pemimpin yang dimaksud dalam hadis Rasul.

“Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Rajanya adalah sebaik-baik raja dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara,” hadis itu selalu diulang-ulang.


Oleh karena itu, Muhammad al Fatih sangat merindukan agar dirinya menjadi orang yang mampu merealisasikan sabda Nabi tersebut. Hingga akhirnya pikiran Muhammad al-Fatih benar-benar dipenuhi dengan pemikiran bahwa memang dialah yang dimaksudkan dalam hadis ini.

Pantas saja, jika para ahli sejarah mengatakan bahwa Syaikh Syamsuddin itulah Sang Penakluk bagi konstantinopel (al Munyawi, 2012: 71).

Setelah memimpin Konstantinopel selama 19 tahun, pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Dia berencana menaklukkan Roma.

Pada saat ingin melaksanakan cita-citanya itu, sakitnya kian parah. Ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M, dalam perjalanan jihad menuju pusat Imperium Romawi Barat di Roma, Italia. 

Saat itu Sultan Muhammad Al-Fatih berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya.

Sebelum wafat, Muhammad al Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan. (mhy)

No comments: