Tokoh Penggerak Pan-Islamisme untuk Melawan Kolonialisme
Sultan Abdul Hamid II dalam serial film Payitaht. Foto/ilustrasi/Ist |
Miftah H. Yusufpati
Pan-Islamisme tidak muncul dalam pergulatan politik, kecuali di masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, atau lebih tepatnya ketika Sultan Abdul Hamid naik ke singgasana pemerintahan Utsmani pada tahun 1876 M.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menjelaskan tatkala Sultan Abdul Hamid telah pulih “napasnya” dan dia telah berhasil menyingkirkan orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran Eropa dari lingkungan kekuasaannya dan menjadi pemimpin negara dengan kepemimpinan yang penuh semangat dan energik, maka Sultan mulai memperhatikan pemikiran Pan-Islamisme.
Pada buku catatan hariannya dia menyebutkan, tentang pentingnya melakukan gerakan menanamkan kembali makna ukhuwah Islamiyah di antara kaum muslimin dunia, baik Cina, India, Afrika Tengah dan di tempat-tempat lain. Bahkan termasuk di dalamnya Iran.
Dia mengatakan, tidak adanya saling pengertian dengan Iran merupakan satu hal yang patut disayangkan. “Jika kita semua ingin melepaskan diri dari hegemoni Inggris dan Rusia, maka kita lihat akan betapa pentingnya melakukan saling kerja sama,” ujarnya.
Tentang hubungan pemerintahan Utsmani dengan Inggris yang meletakkan kerikil-kerikil di depan persatuan pemerintahan Utsmani, dia mengatakan, Islam dan Kristen adalah dua pandangan yang sangat berbeda. Tidak mungkin antara keduanya digabung dalam sebuah peradaban. Oleh sebab itulah bisa disaksikan bahwa Inggris telah melakukan penghancuran otak dan pemikiran orang-orang Mesir. Sebab sebagian di antara mereka lebih mengedepankan kesukuan dan kebangsaan atas agama. Mereka mengira antara peradaban Mesir dan peradaban Eropa bisa digabung menjadi satu.
“lnggris bermaksud dengan menyebarkan pemikiran nasionalisme di negeri-negeri Islam untuk menggoyang kerajaanku,” katanya.
Sesungguhnya pemikiran tentang nasionalisme, menurut Sultan, telah demikian maju di Mesir. Sedangkan kalangan terpelajar Mesir kini tanpa mereka sadari telah menjadi boneka yang dipermainkan orang-orang lnggris. Dengan demikian, sesungguhnya mereka telah menggoyang kemampuan pemerintahan Islam dan telah meremehkannya sebagai khilafah.
Dia menegaskan mengenai politik lnggris terhadap khilafah Utsmaniyah, “Koran Standard yang terbit di lnggris mengatakan; Jazirah Arabia wajib berada di bawah perlindungan pemerintah lnggris dan wajib pula bagi lnggris untuk menguasai seluruh kota suci kaum muslimin. Sesungguhnya lnggris bekerja untuk mencapai dua hal; (1) melemahkan pengaruh Islam dan (2) menguatkan pengaruh lnggris; Oleh karena itu, lnggris ingin agar Khadyu di Mesir menjadi khalifah kaum muslimin.
Namun tidak akan ada seorang muslim yang jujur atas dirinya sendiri yang akan menerima Khadyu untuk menjadi pemimpin kaum muslimin, sebab dia memulai pendidikannya di Jenewa, kemudian dia tamatkan di Wina dan berperilaku sebagaimana orang-orang kafir.
Khadyu adalah gelar yang diberikan Sultan Abdul Aziz kepada Ismail Pasha, Gubernur Utsmani di Mesir tahun 1867 yang kemudian dibekukan menjadi penguasa Mesir.
Tatkala lnggris mengusulkan agar Syarif Husein penguasa Makkah menjadi khalifah kaum muslimin dan Sultan Abdul Hamid mengakui bahwa dia tidak memiliki upaya dan kekuatan untuk melawan negeri-negeri Eropa.
Namun negeri-negeri besar itu gemetaran dengan senjata Khilafah Islam. Menurut Ash-Shalabi, karena itu mereka sepakat untuk mengakhiri pemerintahan Utsmani.
Sesungguhnya pemerintahan Utsmani itu terdiri dari berbagai bangsa. Ada Turki, ada Arab, ada Albania, ada Bulgaria ada Yunani dan unsur-unsur lain. Walau demikian, menurut Sultan, kesatuan Islam telah membuat kita semua menjadi satu keluarga.
Sultan Abdul Hamid II menegaskan keyakinannya tentang kemungkinan lahirnya kesatuan dunia Islam ketika mengatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum muslimin di belahan bumi yang lain. "Kita wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab tidak ada harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini. Memang waktunya belum datang, namun dia akan datang. Akan datang suatu hari di mana kaum muslimin akan bersatu dan mereka bangkit bersama-sama dalam satu kebangkltan yang serentak. Akan ada seorang yang memimpin umat ini dan mereka akan menghancurkan kekuatan orang-orang kafir," ujarnya.
Dalam pandangan Sultan Abdul Hamid, pemikiran tentang Pan-lslamisme ini akan melahirkan beberapa hal yang sangat panting dan berharga. Antara lain:
1. Bisa dijadikan sebagai sarana untuk menghadapi kalangan terdidik yang sudah sangat terpengaruh dengan budaya Barat, dan mereka yang kini sedang bekerja di posisi-posisi administrasi dan politik yang sangat sensitif, di dalam pemerintahan Islam secara umum dan dalam pemerintahan Utsmani secara khusus. Mereka akan terhenti tatkala mengetahui bahwa ada halangan besar pemikiran Islam yang sangat kuat yang sedang berdiri di depan mereka.
2. Berusaha untuk menghentikan gerakan negara-negara kolonialis Eropa dan Rusia, tatkala mereka sadar bahwa kaum muslimin kini telah membentuk sebuah blok dan satu barisan. Gerakan ini akan menyadarkan kaum muslimin terhadap kerakusan kolonialisme dan kini sedang menghadang mereka dengan kesatuan Islam.
3. Pengokohan diri bahwa kaum muslimin mungkin saja membentuk sebuah kekuatan politik internasional yang bisa diperhitungkan dalam usaha untuk menghadapi perang budaya, pemikiran, dan akidah yang dilancarkan oleh Rusia dan Eropa Kristen.
4. Kesatuan Islam yang baru ini akan memainkan peran yang sangat signifikan dalam memberikan pengaruh kepada kebijakan politik internasional.
5. Pemerintahan Utsmani kembali mengokohkan kekuatan dirinya sebagai pemerintahan yang berbentuk Khilafah. Dengan demikian, maka sangat mungkin baginya untuk mengembalikan kekuatannya dan dipersiapkan dengan sarana-sarana ilmiah baru dan modern dalam semua lapangan dan medan. Dengan demikian maka dia akan mampu mengembalikan wibawanya dan menjadi sebuah pelajaran sejarah yang sangat berharga.
Sultan Abdul Hamid mengatakan, agar kaum muslimin menyumbang secara sukarela untuk menghidupkan masjid-masjid di seluruh dunia Islam.
Sultan sangat antusias membangun sarana transportasi yang bisa menghubungkan antara wilayah-wilayah pemerintahan Utsmani.
6. Selain itu Sultan juga berusaha untuk menjadikan kepala suku Arab condong padanya. Sultan juga membangun sekolah di ibu kota untuk dijadikan sebagai sarana mengajar anak-anak para kabilah dan suku dan mengajarkan mereka tentang tata cara administrasi. Sultan juga berusaha mendekati kalangan tarekat sufi.
7. Secara optimal mengambil manfaat dari media-media Islam untuk melakukan sosialisasi dan kampanye tentang Pan-Islamisme. Bahkan Sultan menjadikan beberapa media cetak itu sebagai sarana untuk mengampanyekan Pan-lslamisme ini serta berusaha untuk menumbuhkan kebangkitan ilmiah dan teknik di dalam pemerintahan Utsmani, serta memodernkan pemerintahan dalam hal yang dianggap sangat perlu.
Luar Biasa
Seruan Pan-Islamisme ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan ulama dan para dai Islam. Dukungan ini datang misalnya dari Jamaluddin Al-Afghani, Mushtafa Kamil dari Mesir, Abu Al-Huda Ash-Shayadi dari Suriah, Abdur Rasyid Ibrahim dari Siberia, serta gerakan Sanusiah di Tunisia Libya dan lain sebagainya.
Jamaluddin Al-Afghani sangat mendukung ide dan seruan Sultan Abdul Hamid II tentang Pan-Islamisme. Bahkan dia mengajukan proyek-proyek yang lebih besar dari apa yang menjadi obsesi Sultan sendiri yang berkeinginan tidak lebih dari hanya sekadar menyatukan bangsa-bangsa Islam serta adanya kesatuan gerakan di antara bangsa-bangsa di dunia Islam. Yakni berupa kesatuan perasaan dalam amal dan pada saat yang sama khilafah akan memiliki wibawa dan kekuatan.
Al-Afghani bahkan menawarkan penyatuan antara kalangan Sunni dan kalangan Syiah. Padahal pandangan Sultan sendiri dalam hal ini, tak lebih dari penyatuan gerakan politik antara dua kelompok untuk menghadapi gerakan kolonialisme internasional.
"Telah jatuh ke tangan saya satu blue-print yang disiapkan oleh seorang badut di kementerian luar negeri Inggris, dia bemama Jamaluddin Al-Afghani dan seorang Inggris yang bernama Balant. Dalam blue-print itu keduamya mengatakan untuk meruntuhkan khilafah dari orang-orang Turki. Keduanya mengusulkan agar Syarif Husein penguasa Makkah menjadi khalifah kaum muslimin,” kata Sultan menanggapi gagasan Jamaluddin Al-Afghani.
“Saya mengenai Jamaluddin Al-Afghani dari dekat. Dia sebelumnya berada di Mesir dan seorang yang sangat berbahaya. Suatu saat dia mengusulkan pada saya--dan dia menganggap dirinya sebagai Al-Mahdi--agar dia menjadi pemimpin semua kaum muslimin di Asia Tengah. Saya tahu bahwa dia tidak memiliki kapasitas untuk itu. Dia adalah anteknya Inggris dan sangat mungkin sekali telah dipersiapkan lnggris untuk menguji saya. Maka saya menolak usulannya dan dia bergabung dengan Balant,” lanjutnya.
Sultan mengungkap ia memanggil Jamaluddin Al-Afghani ke Istanbul dengan perantaraan Abul Huda Al-Shayyadi Al-Halibi, seorang tokoh yang sangat dihormati di seluruh negeri Arab. Untuk kepentingan tersebut, bertindak sebagai mediator antara lain Munif Pasya, penguasa lama Afghanistan dan penyair sastrawan Abdul Haq Hamid. "Jamaluddin Al-Afghani datang ke Istanbul dan saya tidak mengizinkan dia keluar kembali dari lstanbul...” tuturnya.
Positif
Sedangkan Jamaluddin Al-Afghani memandang Sultan Abdul Hamid dengan penilaian positif, dia berkata, “Sesungguhnya Sultan Abdul Hamid, andaikata ditimbang dengan empat orang yang paling terkenal di zaman ini, pasti kecerdasan dan kecerdikan politiknya akan mengalahkan mereka, khususnya dalam menaklukkan orang-orang yang berada dekat dengannya. Maka tidak heran jika kita melihat dia akan mampu menunjukkan kebolehannya dalam membela negerinya di saat-saat genting dari orang Barat. Orang-orang yang menentangnya akan keluar darinya dengan rela, dan dia akan puas dengan perjalanan hidup dan perilakunya. Siapapun akan puas dengan argumen-argumen yang dia lontarkan, baik itu seorang raja, pangeran, menteri, maupun duta besar...”
Dalam kesempatan lain dia mengatakan, “Saya melihat dia sangat mengetahui detail-detail masalah politik dan rencana-rencana orang-orang Barat. Ia pun selalu siap untuk menghadapi semua serangan yang akan datang terhadap negerinya dengan cara yang selamat. Salah satu yang sangat mengagumkan saya adalah, apa yang dia persiapkan dalam hal sarana-sarana dan alat-alat, sehingga Eropa tidak bisa terlibat langsung dengan organisasi tarekat untuk menebarkan pemikiran Pan-lslamisme dan kesatuan Islam."
Untuk itu, di ibu kota Istanbul dibentuk satu panitia pusat yang terdiri dari para ulama dan para Syaikh tarekat. Tugasnya sebagai penasehat Sultan Abdul Hamid dalam masalah Pan-Islamisme. Anggota panita tersebut terdiri dari: Syaikh Ahmad As'ad wakil dari Farasyah Syarifah di Hijaz, Syaikh Abul Huda Al-Shayyadi, salah seorang Syaikh tarekat Rifa'iyyah, Syaikh Muhammad zhafir Al-Tharablisi Syaikh tarekat Madaniyah dan salah seorang Syaikh yang berasal dari Makkah Mukarramah.
Mereka adalah pentolan tokoh sentral dalam rangka menyebarkan pemikiran Pan-lslamisme. Selain mereka, banyak ulama lain yang terlibat di dalamnya. Di bawah pengurus pusat ini dibentuk pengurus cabang yang menyebar di berbagai wilayah yang berada di bawah koordinasi pengurus pusat. Salah satu di antara yang paling penting adalah yang berada di Makkah yang dipimpin oleh penguasa Makkah. Tugas dari pengurus cabang ini, menyebarkan pemahaman tentang Pan-Islamisme di kalangan jamaah haji pada setiap musim haji.
Selain itu juga dibentuk panitia di Baghdad. Tugasnya tidak berbeda dengan apa yang ada di Makkah, yakni menebarkan pemikiran Pan-Islamisme di kalangan pengikut tarekat Qadiriyah yang datang berduyun-duyun dari kawasan Afrika Utara untuk mengunjungi kuburan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pendiri tarekat ini.
Para peziarah pada setiap tahun ditaksir berjumlah sekitar 25.000 orang. Panitia di Baghdad bekerja untuk mempersiapkan penyambutan bagi mereka yang datang dengan membawa pemikiran Pan-lslamisme dan untuk melawan kolonialis Perancis di Afrika Utara.
Menurut Ash-Shalabi, para intelijen Perancis menyifati apa yang dilakukan oleh orang-orang yang datang dari kawasan Afrika Utara ke Baghdad dan mereka melakukan perlawanan terhadap orang-orang Perancis dan kolonialisme Perancis, akibat adanya seruan dan ajakan kalangan ulama dari pengikut tarekat Qadiriyah.
Panitia Pan-Islamisme pusat di Istanbul membuka cabang untuk Afrika yang dipusatkan di Afrika Utara. Mereka bekerja dengan cara yang sangat rahasia. Tugas dan kewajiban mereka adalah mengatur tata kerja antara organisasi keagamaan yang ada di sana, untuk melakukan perlawanan terhadap pendudukan Perancis. Organisasi keagamaan yang dimaksud adalah tarekat Syadziliyah, Qadiriyah dan Madaniyah.
Gerakan ini memiliki pengaruh dan wibawa yang sangat kuat, sampai- sampai para intelijen Perancis yang berada di Afrika Utara menyifati gerakan ini dengan mengatakan: “Sangat mungkin bagi Sultan Abdul Hamid dalam posisinya sebagai pemimpin Pan-Islamisme untuk menghimpun semua gerakan yang memiliki ikatan yang kuat dalam gerakan keagamaan, untuk membangun sebuah pasukan lokal yang memungkinkan untuk melawan jika diurus dengan cara yang baik semua kekuatan asing manapun.”
Semua intelijen Perancis tidak berhasil menyingkap sarana-sarana pengorganisasian gerakan tasawuf yang berada di bawah pemerintahan Utsmani di Afrika Utara. Apa yang bisa mereka lakukan adalah, melemahkan pengaruh dan wibawa Sultan Abdul Hamid di dalam jiwa penduduk Afrika Utara, serta usaha mereka untuk menghancurkan politik Pan-Islamisme itu dengan cara melakukan hal-hal berikut:
Pertama, mengiming-imingi para Syaikh tarekat sufisme dengan harta dan kedudukan, dengan syarat mereka berdiri di belakang politik Perancis di Afrika Utara.
Kedua, melarang kaum muslimin menunaikan ibadah haji dengan alasan-alasan yang dicari-cari. Tujuannya, agar mereka tidak bisa bertemu dengan para pendukung Pan-Islamisme.
Artinya ialah bahwa mereka tidak melarang kaum muslimin secara terang-terangan, namun mencari sebab-sebab yang dianggap pantas untuk melakukan pelarangan. Misalnya disebarkan isu bahwa kini sedang tersebar penyakit kolera.
Sultan juga mengirimkan beberapa ulama yang zuhud dan para sufi ke India untuk mengikis semua usaha Inggris yang menyerukan agar khilafah dirampas dari tangan orang-orang Utsmani untuk kemudian diserahkan kepada orang-orang Arab.
Kafilah-kafilah ini melakukan kontak dengan para penguasa Arab, khususnya Hijaz. Sultan Abdul Hamid dalam posisinya sebagai pemimpin Pan-Islamisme, khalifah kaum muslimin dan Sultan pemerintahan Utsmani, juga melakukan kontak yang intensif dengan kelompok-kelompok pelaku tasawuf dan para syaikhnya yang berada di Turkistan, Afrika Selatan dan Cina. Sebagian mereka terbuka kedoknya namun sebagian besar di antaranya tidak memberikan gambaran tentang diri mereka secara cukup memuaskan.
Ketiga, Sultan Abdul Hamid II berhasil menghimpun kalangan pelaku tasawuf hanya saja dia lebih mengutamakan bersikap diam terhadap berbagai penyimangan akidah yang terjadi di tengah-tengah mereka. Dimana tarekat-tarekat tasawuf kala itu telah jauh menyimpang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasullullah kecuali sedikit.
Oleh sebab itulah, kelompok ini telah ikut melemahkan umat dan ikut andil dalam meruntuhkan pemerintahan Utsmani yang bermadzhab sunni.
(mhy)
No comments:
Post a Comment