Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (3): Perluas Negeri Melalui Jihad

Pasukan Usmaniyah. Foto/Ilustrasi/Ist

Miftah H. Yusufpati

SULTAN Muhammad Al-Fatih menyampaikan wasiat kepada putranya, menjelang beliau wafat. Wasiat ini melukiskan gambaran tentang jalan hidup, nilai- nilai, dan prinsip-prinsip keyakinan, serta impian-impiannya kepada pemimpin penggantinya. “Janganlah kamu sekali-kali mengangkat orang-orang yang tidak peduli agama sebagai pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam perbuatan keji," begitu salah satu wasiat Al-Fatih. 

Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, menjelaskan para sultan Utsmani memperhatikan akademi-akademi dengan tujuan melahirkan komandan-komandan perang yang mampu memikul tugas-tugas penting negara. 

Para Sultan menetapkan manhaj pendidikan khusus bagi para pemimpin, khususnya komandan militer. Mereka juga sangat hati-hati dalam memilih orang yang akan menempati posisi tertentu.

Pilihan mereka adalah orang-orang yang amanah, kapabel, memiliki pemikiran cemerlang, dan takwa. Mereka diberikan otoritas kekuasaan dalam kepemimpinan dalam militer dan kehakiman.

Wasiat selanjutnya, “Hindari bid’ah-bid'ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukannya.”

Para Sultan Utsmani berjalan di atas manhaj Ahlu Sunnah Waljama’ah. Mereka sangat mengerti akan bahaya bid’ah serta bahaya mendekati ahli bid’ah. Mereka mencukupkan diri dengan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah, Ijma’, serta ijtihad-ijtihad para ulama yang telah masyhur ilmunya.

Perluasan Negeri
Wasiat selanjutnya adalah "lakukan perluasan negeri melalui jihad". Ash-Shalabi menjelaskan para Sultan Utsmani melakukan perluasan negeri melalui jihad, menebarkan rasa aman, meredakan semua bahaya yang mengancam negeri. Mereka membentengi negeri dengan peralatan senjata dan kekuatan, sehingga mampu menghalau musuh dan melenyapkan bahayanya. 

Sultan Muhammad Al-Fatih dan para pendahulunya telah mempersiapkan umat melalui persiapan jihad. Dia telah menunaikan kewajibannya untuk memerangi orang-orang kafir yang menghadang Islam, hingga mereka masuk ke dalam Islam atau tunduk di bawah kekuasaan kaum muslimin.

Masyarakat Utsmani telah dibentuk dalam satu pola masyarakat islami yang menjunjung tinggi nilai-nilai jihad dan dakwah. Personil-personil tentara dipersiapkan secara sengaja untuk berjihad di jalan Allah sejak masa anak-anak. Mereka disiapkan dengan persiapan yang sebaik-baiknya dan sempurna.

Pemerintahan Utsmani hingga masa pemerintahan Sulaiman Al-Qanuni mampu merealisasikan cita-cita kaum muslimin yang sejak 700 tahuh sebelumnya telah didambakan kaum muslimin, yaitu untuk memancangkan panji-panji Islam di benteng-benteng ibukota negeri-negeri Eropa, khususnya Konstantinopel. Naungan Islam membentang dari Timur sampai ke Barat Eropa.

Pada Muktamar ke-7 menteri-menteri negara Islam di Istambul, Profesor mujahid Najmuddin Arbakan menyampaikan pidatonya dengan mengingatkan kejayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Utsmani. 

Dia berkata, “Sesungguhnya istana yang Allah kehendaki menjadi tempat muktamar Islam yang besar ini, telah diukir di depannya kalimat Islam yang agung ‘Laa llaaha Ilia Allah’... la adalah istana Sultan Muhammad Al-Fatih yang dia bangun setelah penaklukkan lstambul.

Bagaimana mungkin tempat ini tidak memiliki nilai-nilai historis, padahal di sini pernah menjadi pusat penyelenggaraan tatanan dunia Islam dalam jangka waktu yang lama?


Bagaimana ia tidak akan memiliki nilai-nilai historis, padahal dari sini diberangkatkan pasukan Islam ke berbagai belahan dunia, berjihad di jalan Allah, menebarkan cahaya dan hidayah, serta keadilan di mana pun mereka berada?

Bagaimana tidak akan memiliki nilai-nilai historis, padahal di atas batu yang di atasnya kini berdiri mikropon, pernah dipancangkan panji-panji tentara Islam yang bergerak dari negeri-negeri muslim?

Saya ingin sebutkan salah satu di antaranya bahwa sesungguhnya pengiriman armada laut tentara Islam ke lndonesia dan Filipina di masa-masa peniajahan Belanda, dimulai dari tempat ini. Di sini pula diambil keputusan untuk mengirimkan pasukan dan armada untuk melindungi Afrika Utara dari serangan para penjajah yang rakus.

Lebih dari itu semua, sesungguhnya konstruksi bangunan sejarah ini di dinding-dindingnya terbentang bendera Rasulullah, selendangnya yang mulia, pedang-pedangnya, serta beberapa warisan beliau yang lain.

Pemerintahan Utsmani telah memberikan perhatian yang besar terhadap prinsip-prinsip dakwah. Oleh sebab itulah, dia selalu mempersiapkan rakyat dan tentaranya untuk merealisasikan prinsip rabbani ini ternyata memang menghasilkan buah yang ranum bagi kehidupan Islam dan kaum muslimin.

Baitul Mal
Wasiat Sultan berikutinya adalah, “Jagalah harta Baltul Mal. Jangan sampal dihambur-hamburkan.”

Menurut Ah-Shalabi, sultan-sultan Utsmani melihat bahwa pemerintahan adalah dewan eksekutif dan merupakan gambaran dari pendapat umat serta bertanggung jawab melindungi maslahat-maslahatnya. Dengan demiklan, berarti tanggung jawab pemerintah bukan hanya pada sisi keamanan dan pertahanan saja, namun juga bertanggung jawab melindungi kemaslahatan umum dan harta baitul mal dari pemborosan, penghamburan, serta menjaga semua pemasukan baitul mal.

“Jangan sekali-kali engkau mengambil harta rakyatmu, kecuali sesuai aturan Islam,“ begitu wasiat Sultan menegaskan.

Kewajiban pemerintah adalah melaksanakan perintah-perintah syariat. Sedangkan syariat datang untuk menjaga harta manusla, yang merupakan penopang hidupnya. Islam telah mengharamkan semua cara untuk mengambil harta dengan cara yang tidak halal. Sedang kewajiban penguasa adalah menjaga harta rakyat dari pencurian dan perampokan dan bukan mengulurkan tangannya untuk mengambil harta mereka dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat.

Berikutnya, "Himpunlah kekuatan orang-orang lemah dan fakir dan berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.’

Sultan-sultan Utsmani berlomba-lomba berbuat baik kepada kalangan lemah dan miskin, orang-orang yang berada dalam safar, serta semua orang yang berhajat kepada kebaikan dan ihsan.

Para sultan dan menteri-menteri telah mewakafkan banyak hartanya untuk sejumlah besar penuntut ilmu, fakir miskin, para janda dan lainnya. Wakaf merupakan rukun asasi dalam ekonomi pemerintah.

Ustadz Muhammad Harb berkata, “Gerakan ilmiah berkembang semarak di masjid-masjid berdampingan dengan sekolah-sekolah di lstambul. Muhammad Pasya misalnya, menginfakkan untuk gerakan ilmiah di lstambul dari pemasukan wakaf sebanyak 2000 desa di Cekoslowakia yang saat itu menjadi bagian dari pemerintahan Utsmani.

Sedangkan As'ad Afandi hakim militer Balkan memberikan dua wakaf besar untuk memberi bekal kepada remaja-remaja puteri yang tidak mampu saat mereka telah sampai pada usia menikah.

Pemerintahan Utsmani saat itu memiliki wakaf yang begitu banyak dan beragam. Di sana ada wakaf yang diberikan kepada keluarga miskin, selain makanan. Karena makanan gratis ini di bawah wakaf yang bersifat umum, dalam bahasa Turki ia disebut amaraat waqfi, artinya wakaf makanan.

Amaraat ini memberikan makan gratis kepada orang tak mampu yang jumlahnya mencapai 20.000 orang setiap hari. Hal demikian ini dilakukan di setiap wilayah.

Sedangkan anggaran dapur untuk makanan yang ada di Masjid Sulaimaniyah pada tahun 1586 kira-kira berjumlah sekitar 10 juta dollar Amerika saat ini.” 

Demikianlah kebijakan pemerintah terhadap orang-orang yang tidak mampu dan demikian pula penghormatan mereka terhadap orang-orang yang berhak menerimanya. (Bersambung)

(mhy)

No comments: