Ibadah qurban adalah wujud kepatuhan dan pengorbanan hamba. Sholat Idul Adha di Masjid Al-Aqsa Palestina.
Foto: AP / Illean Mahmoud
Dr Ahmad Tholabi Kharlie, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nuansa ibadah qurban adalah ketuhanan (esoterik) dan kemanusiaan (eksoterik). Esoterianisme qurban terletak pada ritualitas yang menjadi bagian inheren dari ibadah vertikal. Oleh karena itu wajar jika banyak pakar keislaman menyebut qurban sebagai momentum pembuktian kesetiaan hamba kepada Tuhannya. Kesan ini begitu menghujam dalam kisah yang dituturkan Alquran tentang kesalihan Ibrahim dan putranya, Ismail. (QS 37: 102—108).
Sedangkan letak eksoterianisme qurban berada pada manfaat sosial yang ditimbulkan oleh ritualitas tersebut. Secara fisikal, qurban disimbolkan dengan penyembelihan hewan ternak tertentu yang dagingnya dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya. Hal ini dimaksudkan agar terwujud solidaritas dan tenggang rasa antar-sesama. Agaknya inilah makna sosial yang dikandung oleh syariat qurban.
Namun, tidak semua kita mampu menangkap kedua dimensi ibadah qurban ini. Banyak orang terjebak pada kesadaran ketuhanan (God consciousness) an sich dan melupakan kesadaran sosial (humanity consciousnes) yang justru lebih esensial, atau sebaliknya, terlampau asik dengan kemeriahan nisbi dan melupakan spiritualitas sejati. Akibatnya, makna esoterik dan eksoterik yang sejatinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam ibadah qurban justru gagal terwujud.
Ada kisah fenomenal yang diabadikan Alquran tentang persaingan sengit dua putera Adam AS Habil dan Qabil. Keduanya mencoba menarik perhatian Adam demi memperoleh apa yang diinginkannya. Kemudian Adam menguji mereka agar berqurban kepada Tuhan. “...Ketika kedua putera Adam mempersembahkan “qurban”, maka Allah menerima salah satu dari keduanya (Habil) dan menolak yang lainnya (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu!”. Kemudian Habil berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban orang-orang yang bertakwa”. (QS 5: 27)
Kisah tersebut memberi gambaran, bahwa betapapun banyak dan bagus suatu persembahan (qurban) jika tidak dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan, maka tidak akan bernilai apa-apa di hadapan Tuhan. Di sinilah makna signifikan dari keikhlasan dan kesucian hati ketika berqurban. Oleh karena itu, kesadaran Rabbaniyyah atau kesadaran Rabbiyyah adalah menjadi prasyarat utama diterimanya suatu pengorbanan kepada Tuhan.
Dimensi esoterik ibadah qurban memang terkait erat dengan makna literal “qurban”, yang berarti dekat atau mendekatkan diri. Maksudnya, seorang hamba sejatinya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan lewat apa yang dimiliki, bahkan yang paling dicintai (QS 3: 92).
Sementara ini kita sering memaknai secara gampang dan gegabah. Qurban dianggap ibadah bagi elite umat yang memiliki kekayaan dan kedudukan, lain tidak. Bahkan yang lebih salah kaprah, qurban dianggap sebagai rezeki tahunan orang miskin.
Memandang qurban sebagai kebutuhan orang miskin adalah pemahaman yang jelas keliru. Karena jika menilik makna literalnya, yakni mendekatkan diri kepada Allah, maka yang justru membutuhkan dan diuntungkan adalah mereka yang berqurban. Apabila berangkat dari pemahaman semacam ini, maka yang akan muncul adalah kesadaran spiritual yang mendalam dan jernih tentang pentingnya berqurban bagi dirinya.
photo
Dr Ahmad Tholabi Kharlie - (Dok Istimewa)
Dimensi eksoterik erat kaitannya dengan hubungan horizontal (habl min al-nas) antarsesama manusia, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan menyembelih hewan qurban, yang dagingnya dibagikan secara adil kepada masyarakat di sekitarnya, menunjukkan bahwa solidaritas sosial perlu dibangun dalam rangka memperkokoh dan memperteguh bangunan sosial-kemasyarakatan.
Dengan penyembelihan hewan qurban, seseorang akan menyadari bahwa sikap egois, serakah, dan bentuk-bentuk sikap hedonis lainnya tiada lain hanyalah karakteristik yang akan meruntuhkan sendi-sendi bangunan sosial yang telah terbangun.
Dari titik ini juga akan memunculkan kesadaran esensial, bahwa untuk memperkuat bangunan sosial diperlukan pengorbanan dalam arti yang lebih luas dari masing-masing individu anggota masyarakat. Dalam hal ini, kesediaan untuk menyembelih hewan qurban di Hari Raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq hanyalah simbol dan cerminan tentang betapa pentingnya setiap anggota masyarakat melakukan pengorbanan demi terwujudnya kehidupan sosial yang tangguh.
Dalam arti kata lain, kesediaan untuk menyembelih hewan qurban harus pula diikuti dengan kesediaan untuk berkorban dalam bentuk dan langgam yang lain, seperti tenggang rasa, tolong-menolong, saling membantu, menghargai perbedaan, toleransi, dan sebagainya.
Tanpa diikuti dengan kesediaan untuk berkorban demi masyarakat dalam pelbagai bentuk pengorbanan, maka ibadah qurban tidak akan memiliki hikmah dan pengaruh (atsar) yang sempurna bagi seseorang. Ibadah qurban, dengan demikian, baru akan memiliki hikmah yang besar bagi seseorang dan bagi masyarakat, jika diikuti dengan kesediaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, syariat ibadah qurban sesungguhnya menjadi barometer yang bersifat vertikal dan horizontal tentang seberapa jauh kesetiaan, pengorbanan, dan pengabdian kita terhadap nilai-nilai ketuhanan (esoterik) dan nilai-nilai kemanusiaan (eksoterik).
Oleh karena itu, pengorbanan yang diterima dan absah adalah ibadah qurban yang berdampak spiritual terhadap diri pribadi dan membawa pengaruh posistif bagi terbentuknya bangunan sosial yang kokoh, terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti saat sekarang.
No comments:
Post a Comment