Ketika Inggris Menjarah Keraton Yogyakarta

Nilai jarahan dari Keraton Yogyakarta mencapai ratusan juta dolar AS. Inggris baru mengembalikan 75 manuskrip tapi versi digital.
*
Keturunan Sultan Hamengkubuwono II menuntut pemerintah Inggris mengembalikan harta Keraton Yogyakarta yang dijarah saat penyerangan Inggris pada 1812 yang disebut Geger Sepoy atau Geger Sepehi. Menurut mereka, totalnya mencapai 57.000 ton emas.

Tuntutan itu disampaikan Sekretaris Pengusul Pahlawan Nasional Sultan Hamengkubuwono II, Fajar Bagoes Poetranto. “Kami meminta agar emas tersebut dikembalikan kepada pihak keraton atau para keturunan dari Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono II,” katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/7)

Jumlah 57.000 ton emas dipertanyakan oleh Poltak Hotradero, kepala divisi riset di Bursa Efek Indonesia. Poltak mencuit lewat akun twitter-nya: “Emas yang pernah ditambang sepanjang sejarah manusia cuma 190 ribu ton. Gimana bisa seperempatnya ada di Jawa?”
Sejarawan Inggris, Peter Carey mengungkapkan, Inggris mengerahkan ribuan pasukan menyerang Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Kedatangan mereka ke keraton tidak terdeteksi karena fajar belum datang. Serangan hanya berlangsung tiga jam, dari pukul 05:00 sampai 08:00. Keraton Yogyakarta ditaklukkan dan Sultan Hamengkubuwono II ditangkap lalu diasingkan ke Pulau Pinang (Penang, Malaysia, red.).
Inggris hanya kehilangan 23 orang dan 78 orang terluka. Sedangkan di pihak Keraton Yogyakarta jatuh ribuan korban jiwa.

Menurut Peter Carey, tentara Inggris-Sepoy menjarah keraton besar-besaran. Peti berisi harta benda dari keraton hilir mudik diangkut dengan gerobak melalui alun-alun sampai empat hari lamanya. Barang jarahan diangkut ke kepatihan. Lalu semua yang berharga seperti manuskrip dibawa ke Rustenburg (keresidenan). Hasil jarahan dibagikan di antara para perwira. Total nilai jarahan itu sekarang lebih dari 120 juta dolar AS.

Peter Carey pun menyebut Inggris sebagai pencuri aset Indonesia nomor wahid.

Bahkan, penjarahan dilakukan pada korban yang dihabisi secara brutal sebagaimana terungkap dalam babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816) karya Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir.

Dalam babad itu disebutkan bahwa Pangeran Sumodiningrat, keturunan sultan pertama dan panglima pasukan Yogyakarta, dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris Keresidenan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti dan badannya dimutilasi.

“Lehernya ditebas. Anak buah John Deans lalu mempreteli semua pakaian dan perhiasan yang dipakai Sumodiningrat,” kata Peter Carey.

Barang jarahan lainnya di antaranya dua set gamelan yang dibeli oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Harga seperangkat gamelan kala itu berkisar 1.000–1.600 dolar Spanyol.

Di samping itu, Raffles pernah menghadiahkan Prasasti Sangguran (982) kepada Gubernur Jenderal di India, Lord Minto, karenanya disebut Minto Stone. Raffles menerimanya dari Kolonel Colin Mackenzie. Lebih dari 200 tahun prasasti itu berada di halaman belakang rumah keluarga Lord Minto di Skotlandia dalam keadaan tertutup lumut dan lapuk.

Satu lagi, Prasasti Pucangan (1041) atau Calcutta Stone disimpan tak terawat di Museum India. Kemungkinan Mackenzie menemukan prasasti itu di wilayah Mojokerto pada Maret 1812 lalu membawanya ke Surabaya melalui Kali Mas. Prasasti itu termasuk barang-barang yang dibawa Mackenzie ke India pada Juli 1813.

Pemerintah Indonesia telah berusaha membawa pulang prasasti itu sejak tahun 2004, tapi belum berhasil.

Inggris juga membawa sekitar 7.000 naskah kuno milik Keraton Yogyakarta. Manuskrip itu kemudian didigitalisasi oleh British Library. Pada 5 Maret 2019, pemerintah Inggris mengembalikan 75 manuskrip kepada Keraton Yogyakarta, tapi versi digitalnya.

“Jadi 75 naskah Jawa kuno sudah dipulangkan secara digital ke Indonesia. Secara fisik mungkin sulit karena dalam koleksi British Library,” kata Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, dikutip Kumparan.com.

Sementara itu, pada November 2019, Belanda mengembalikan 1.499 benda bersejarah koleksi Museum Nusantara, Delft, kepada Indonesia. Yang menarik perhatian adalah pengembalian keris milik Pangeran Diponegoro yang secara simbolis diserahkan langsung oleh raja dan ratu Belanda kepada Presiden Joko Widodo. Pengembalian barang bersejarah hasil jarahan, pemberian, dan pembelian itu yang terbesar sepanjang sejarah.

Pengembalian barang-barang bersejarah itu dipicu oleh dekolonisasi yang dicetuskan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pidatonya di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017.

Macron mencetuskan gagasan dekolonisasi itu dalam rangka membuka lembaran baru dalam hubungan internasional di kawasan Afrika. Salah satu poinnya bahwa benda-benda bersejarah Afrika sudah semestinya dikembalikan para mantan kolonialis. Macron menjanjikan Prancis akan mengembalikannya dalam jangka waktu lima tahun.

Belanda merespons gagasan dekolonisasi itu.

“Wacana repatriasi kali ini datang dari Belanda karena di Eropa muncul banyak desakan mengenai repatriasi benda-benda budaya milik negara-negara koloni, baik itu Prancis, Inggris, maupun Belanda,” kata Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, kepada Historia.id.

Dalam rangka dekolonisasi, akankah pemerintah Inggris menanggapi tuntutan dari keturunan Sultan Hamengkubuwono II agar mengembalikan harta jarahan yang katanya sebanyak 57.000 ton emas? (Sumber: Historia)

Penulis: Hendri F. Isnaeni

No comments: