Ketika Para Pembangkang Zakat Menyerbu Madinah
Ilustrasi/Ist |
Miftah H. Yusufpati
BARU saja Khalifah Abu Bakar menerima delegasi dari kabilah-kabilan yang meminta agar mereka dibebaskan untuk membayar zakat ketika beliau menyadari bahwa kini para pembangkang itu menjadi tahu bahwa Madinah kini tanpa pengawalan yang memadai. Pasukan muslim dipimpin Usamah berada di perbatasan untuk menghadapi Romawi.
Khalifah Abu Bakar segera meminta orang berkumpul dan ia berkata: "Kota kita ini dikelilingi oleh orang-orang kafir. Delegasi mereka telah melihat jumlah kita yang kecil. Kita tidak tahu, mereka akan menyerbu kita malam hari atau di waktu siang. Mereka yang terdekat dari kita berjarak dua belas mil. Mereka mengharapkan kita mau menerima mereka dan berkompromi dengan mereka. Tetapi permintaan mereka kami tolak dan delegasi mereka kami suruh pulang. Maka bersiap-siaplah dan persiapkanlah."
Setelah itu beliau memanggil Ali bin Abi Thalib, Zubair, Talhah dan Abdullah bin Mas'ud supaya bersiap di pintu-pintu masuk Madinah dan yang lain berkumpul di masjid dalam keadaan siap tempur.
Perkiraan Abu Bakar tidak meleset. Belum selang tiga malam, para pembangkang zakat itu sudah menyerbu Madinah. Mereka bertujuan supaya Khalifah mau mengalah mengenai salah satu ketentuan Islam itu.
Patroli di pintu-pintu masuk kota itu sudah memperkirakan dari arah mana musuh akan datang. Mereka memberitahukan Ali, Zubair, Talhah dan Abdullah bin Mas'ud serta tokoh-tokoh yang lain. Mereka meneruskan berita itu kepada Abu Bakar dan Khalifah memerintahkan untuk tidak meninggalkan tempat.
Dengan naik unta Khalifah memberitahukan orang-orang yang berada di mesjid. Kemudian bersama-sama mereka semua beliau berangkat untuk menghadapi para pembangkang yang hendak menyusup di malam gelap itu. Dalam pikiran kabilah-kabilah itu tak terlintas bahwa mereka akan menghadapi perlawanan setelah mereka tahu mengenai situasi Madinah dan penduduknya.
Baru setelah Abu Bakar dan anak buahnya menyergap mereka, mereka pun terkejut dan lari tunggang langgang. Khalifah bersama pasukan muslim mengejar sampai ke Zul-Husa. Di tempat ini kabilah-kabilah itu meninggalkan sepasukan bala bantuan sebagai cadangan kalau-kalau pada waktunya kelak diperlukan. Tetapi mereka merasakan kabilah-kabilah itu kini kembali dalam keadaan porak-poranda.
Mereka mencoba mengadakan perlawanan dan dalam malam gelap itu terjadi pertempuran antara kedua pihak, yang hasilnya tidak diketahui.
Kabilah-kabilah yang tinggal di Zul-Husa itu membawa kantong-kantong kulit yang setelah ditiup diikat dengan tali lalu ditendang ke muka unta-unta yang dinaiki pihak Madinah. Unta-unta itu bukan yang sudah terlatih untuk perang. Hewan-hewan itu malah berbalik lari dalam ketakutan bersama penunggangnya kembali ke Madinah.
Berbalik ke Madinah
Pihak Abs dan Zubyan serta sekutunya bersorak kegirangan melihat pihak Muslimin melarikan diri, yang menurut dugaan mereka karena sudah lemah. Peristiwa ini oleh mereka dilaporkan ke Zul-Qassah.
Orang-orang dari tempat itu berdatangan dan mereka saling bertukar pikiran untuk tidak membiarkan Madinah sebelum Khalifah Abu Bakar bersedia memenuhi tuntutan mereka.
Khalifah Abu Bakar dan kaum Muslimin yang lain malam itu tidak tidur. Menjelang akhir malam beliau keluar memimpin kaum muslimin dengan mengatur barisan sayap kanan dan kiri serta barisan belakang, dan cepat-cepat berangkat.
Begitu terbit fajar tanpa dirasakan dan tanpa diketahui musuh, mereka sudah berada di daerah lawan itu. Bagaimana mereka akan tahu, karena mereka sudah begitu puas dengan kemenangan yang mereka peroleh dan malam itu mereka tidur nyenyak.
Pihak Muslimin sudah menghunus pedang berhadapan dengan musuh, yang kini juga menyerang dalam ketakutan. Mereka lari tunggang langgang. Sampai ketika matahari sudah mulai memancarkan sinarnya, mereka masih berlarian tanpa melihat ke belakang lagi.
Tetapi Khalifah Abu Bakar terus mengejar mereka sampai ke Zul Qassah dan para pembangkang itu terus berlari. Sampai di situ mereka dibiarkan lari dan Khalifah Abu Bakar kembali ke markasnya di tempat itu juga.
Nu'man bin Muqarrin pimpinan barisan kanan bersama beberapa orang ditempatkan di daerah itu untuk mengusir mereka yang bermaksud menyerang Khalifah Abu Bakar tetapi mereka sudah dipatahkan.
Muhammad Husain Haikal dalam As-Siddiq Abu Bakr mengingatakan di sini orang harus merenung sejenak sebagai tanda kagum terhadap Khalifah Abu Bakar, dengan imannya yang begitu kuat, dengan ketabahan dan keteguhan hatinya.
Sikap itu mengingatkan kita pada sikap Rasulullah SAW. Sungguh agung ekspedisi Abu Bakar yang pertama ini, tak ubahnya seperti agungnya perang Badr. Dalam perang Badr itu jumlah pihak Muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad tidak lebih dari tiga ratus orang, berhadapan dengan kekuatan musyrik Makkah yang jumlahnya lebih dari seribu orang.
Orang-orang Madinah ini terdiri dari tentara dan bukan tentara, dipimpin oleh Khalifah Abu Bakar dalam jumlah kecil, berhadapan dengan sebuah gabungan besar terdiri dari Abs, Zubyan, Gatafan dan kabilah-kabilah lain.
Ketika itu Nabi Muhammad berbenteng iman dan iman sahabat-sahabatnya, dan dengan pertolongan Allah kepada mereka dalam menghadapi kaum musyrik.
Di sini pun Abu Bakar berbentengkan imannya dan iman para sahabat dan memperoleh kemenangan seperti kemenangan yang diperoleh Rasulullah. Kemenangan ini menanamkan pengaruh besar ke dalam hati kaum Muslimin.
Haekal mengatakan kekaguman orang kepada Abu Bakar dalam peristiwa ini memang pada tempatnya. Sejak semula ia sudah bertekad untuk tidak meninggalkan apa pun yang dikerjakan oleh Rasulullah. “Kalau memang itu pendiriannya yang sudah tak dapat ditawar-tawar lagi, tidak heran jika segala tawar-menawar yang berhubungan dengan ketentuan Allah dalam Qur'an ditolaknya,” tutur Haekal.
Setiap ada permintaan agar beliau mau mengalah mengenai sesuatu yang oleh Rasulullah sendiri tidak akan dilakukannya, orang akan selalu ingat pada kata-kata abadi yang pernah diucapkan Rasulullah: "Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya."
Ini juga yang dilakukan Abu Bakar ketika sahabat-sahabatnya memintanya ia mengubah sikap dalam pengiriman pasukan Usamah. Dan ini juga sikapnya ketika orang-orang Arab minta dikecualikan dalam hal kewajiban zakat.
Itulah iman yang sebenarnya yang tak dapat dikalahkan oleh siapa dan oleh apa pun. Buat dia maut itu bukan soal, dibandingkan dengan iman yang berada di atas segalanya.
Iman yang begitu kuat itu, yang tak dapat dikalahkan oleh maut dan oleh gemerlapnya kehidupan dunia, itulah yang menjaga Islam dalam kemurnian dan keutuhannya pada saat yang sangat genting, yang ketika itu harus dilaluinya.
Boleh saja kita bertanya kepada diri sendiri: gerangan apa jadinya keadaan kaum Muslimin sekiranya Abu Bakar ketika itu menerima saran Umar bin Khattab dan sahabat-sahabatnya mengenai tuntutan mereka yang ingin dibebaskan dari kewajiban membayar zakat itu dan mau berkompromi dengan mereka?
“Rasanya tidak perlu saya menunjukkan bagaimana jawabannya,. Sampai pada waktu itu, kabilah-kabilah Arab banyak sekali, yang cara hidup mereka tidak jauh dari kehidupan jahiliah dan paganism,” tutur Haekal.
Sekiranya Abu Bakar mau berkompromi mengenai segala ketentuan agama, tentu sudah terjadi tawar-menawar, dan orang-orang semacam Tulaihah dan Musailimah serta pengaku-pengaku nabi yang lain akan mendapat jalan untuk menanamkan kebimbangan terhadap ajaran Nabi Muhammad yang datang dari Allah.
Kemudian dari kabilah-kabilah yang belum begitu selang lama dari suasana kehidupan jahiliyah akan mendapat orang yang mau mempercayai dan mematuhi, bahkan percaya kepada mereka sehingga bersedia mati untuk itu dalam melawan agama yang benar.
Kita dapat menghargai keteguhan hati Abu Bakar, kemudian pengaruh kemenangannya di Zul-Qassah setelah kita mengetahui, bahwa kaum musyrik dari Banu Zubyan dan Abs menyerbu Muslimin dan membunuhi mereka secara kejam.
Gejala yang didorong oleh amarah dan perasaan hina serta membalas dendam secara rendah itu menambah agungnya kemenangan Muslimin dan setiap Muslim dalam setiap kabilah itu akan makin teguh dalam beragama. Itulah yang membuat mereka kemudian berlomba dalam menunaikan zakat kepada Khalifah.
Mereka melihat Abu Bakar dapat mengalahkan orang-orang murtad itu dengan kekuatan imannya, sementara pasukannya dan Usamah bertugas di perbatasan dengan Romawi, dan mereka yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak agama yang benar dan karena imannya yang kuat pada agama itu.
Cara balas dendam yang rendah dan murah yang dijadikan sandaran kabilah-kabilah itu tidak akan menghilangkan aib kekalahannya yang sangat memalukan, dan harga balas dendamnya itu harus dibayar mahal.
Bagaimana mereka masih akan ragu padahal Abu Bakar sudah bersumpah akan membunuh siapa pun dari setiap kabilah musyrik yang membunuhi Muslimin, bahkan akan lebih banyak lagi. Tentu ia akan melaksanakannya bila pasukan Usamah sudah kembali dan akan menghukum mereka yang telah melakukan kejahatan.
(mhy)
No comments:
Post a Comment