Kisah Konsolidasi Nabi-Nabi Palsu di Era Khalifah Abu Bakar


Miftah H. Yusufpati

NABI-nabi palsu bermunculan tatkala Nabi Muhammad SAW mengikrarkan diri secara terbuka sebagai rasul. Kondisi terjadi lebih gawat pada saat Khalifah Abu Bakar. Para nabi palsu ini melakukan pemberontakan. 
Di kalangan Banu Asad muncul nabi palsu bernama Thulaihah. Kalangan Banu Hanifah menyambut Musailamah. Juga penduduk Yaman mengenal nama Aswad al-Ansi yang bergelar "Zul-Khimar" — "orang yang berkudung".

Ada juga nabi palsu bergender perempuan. Sajah binti Al-Harits bin Suwaid namanya. Dia berasal dari Bani Tamim. Dia memproklamirkan kenabiannya setelah Rasulullah wafat dan ketika kaum muslimin sedang sibuk memerangi kaum murtaddin.

Muhammad Husain Haikal dalam As-Siddiq Abu Bakr mengulas nabi-nabi palsu ini oleh Rasulullah tidak begitu dihiraukan, dengan keyakinan bahwa kebenaran yang ada dalam agama Allah ini sangat kuat untuk menangkis kebohongan mereka, dan dengan keimanan yang sudah kuat orang-orang yang beriman itu akan mampu membasmi mereka.

Pada masa Nabi, para nabi palsu ini menanti saat yang tepat untuk menghantam Muslimin. Di tempat mereka masing-masing, mereka menyebarkan propaganda tanpa ramai-ramai dan tanpa menyerang Nabi Muhammad yang dianggap mereka nabi dari kaum Quraisy.

Propaganda mereka mengatakan bahwa Muhammad itu seorang nabi yang diutus untuk golongannya. Mereka pun mengklaim sebagai nabi seperti Nabi Muhammad. Mereka mengaku diutus untuk golongan masing-masing.



Para nabi palsu ini menginginkan agar golongan mereka mendapat bimbingan (hidayah), seperti dia juga yang menginginkan golongannya mendapat petunjuk. Dengan cara-cara yang tidak seberani Aswad al-Ansi. (Baca juga: Kisah Aswad al-Ansi, Nabi Palsu yang Sempat Menguasai Yaman)

Tapi tidak pula kurang cerdiknya, mereka telah menyiapkan udara panas dan suasana yang menggelisahkan di sekitar kaum Muslimin yang berada di tengah-tengah mereka, dengan mengobarkan api fitnah dalam sekam.

Begitu berita meninggalnya Nabi tersiar di negeri-negeri Arab, bibit fitnah itu sudah mulai merebak ke segenap penjuru. Fitnah itu bergerak dalam bermacam-macam bentuk dan gayanya sesuai dengan faktor-faktor yang menggerakkannya.

Orang-orang yang mengaku-ngaku nabi itu dalam hal-hal yang erat sekali hubungannya dengan rencana hendak menghancurkan Islam ketika Nabi wafat.

Bibit Fitnah
Ketika Rasulullah wafat, bibit fitnah itu segera menyebar ke segenap Semenanjung, bahkan hampir sebagian besarnya akan ikut bergolak.

Kala itu kekuasaan Aswad makin kuat dan menyebar dari ujung paling selatan di Hadramaut sampai ke daerah Makkah dan Ta'if. Musailamah dan Tulaihah juga mengincar kehancuran kaum Muslimin.

Daerah-daerah yang kala itu mengadakan perlawanan terhadap Islam dan kekuasaannya ialah negeri-negeri di kawasan yang kebudayaannya paling tinggi dan terkaya, dan yang paling banyak berhubungan dengan Persia.

Tidak heran bila pembangkangan serupa itu meminta perhatian Khalifah Abu Bakar.

Akibat hasutan Aswad dan rencana Musailamah dan Tulaihah membuat umat Islam gelisah sehingga memudahkan mereka membangkitkan semangat ke golongan atas nama agama.

Hal itu bukan disebabkan oleh fanatisma orang terhadap salah satu agama, tetapi kebalikannya, disebabkan oleh tak adanya kestabilan keyakinan agama yang dapat memuaskan jiwa mereka dan membuat mereka hidup tenteram.

Haekal mengatakan kala itu agama-agama Nasrani, Yahudi, Majusi dan paganisma, semua berdekatan dengan mereka. Masing-masing juga punya pembela-pembela, terang-terangan atau sembunyi. Tetapi agama-agama itu masih merupakan bahan perdebatan: mana yang benar, mana yang lebih mendekati kenyataan membawa kebaikan dan kebahagiaan kepada manusia.

“Inilah yang telah melapangkan jalan bagi mereka yang mendakwakan diri nabi itu untuk diperlihatkan kepada orang serta menipu mereka dengan berbagai cara untuk memperkuat kenabiannya,” tutur Haekal.

Dengan cara itu nabi-nabi palsu itu berhasil mengumpulkan orang banyak untuk dijadikan pengikutnya dan untuk menjaga keberhasilan mereka yang pertama.

(Baca juga: Kisah Umm Ziml, Perempuan yang Murtad Demi Balas Dendam)

Akidah
Menurut Haekal, mendakwakan diri sebagai nabi dan kepercayaan orang akan hal itu bukan unsur yang pokok yang menyebabkan para nabi palsu itu berhasil. “Kita sudah melihat bahwa Aswad menggunakan faktor lain untuk itu, dan yang terutama ialah kebencian orang-orang Yaman kepada Persia dan kemudian kepada Hijaz,” jelasnya.

Sepak terjang Musailamah dan Tulaihah memperkuat pendapat Haekal. Andaikata Islam sudah kuat tertanam dalam hati dan sudah sampai pada akidah dan keimanan, niscaya mereka tidak akan mendapat dukungan. Akidah yang sudah berakar kuat dapat menguasai jiwa orang, yang jarang dapat dibandingkan dengan kekuatan apa pun. Tetapi yang jelas, penduduk kawasan itu belum lagi beriman, meskipun sudah masuk Islam.

Setelah mereka mendapat jalan untuk meninggalkan Islam atas nama golongan atau nama apa saja tanpa ada kebenaran yang dapat melindungi keimanan mereka, cepat-cepat mereka mengikuti Aswad atau siapa saja yang mendakwakan diri nabi.

Baca juga: Benarkah Sayyidina Ali Menolak Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar?

Haekal mengatakan yang lebih memperkuat pendapat kita ini ialah bahwa Makkah dan Ta'if tetap dalam Islam. Memang benar bahwa penduduk Yaman sudah mulai menerima Islam dan merasa senang dengan penguasanya sejak Bazan menganut Islam, dan hal itu sebelum Islam merasuk benar ke dalam hati penguasa di Makkah dan di Ta'if. Tetapi selama Rasulullah dalam dakwahnya yang mula-mula tinggal di Makkah selama lebih dari sepuluh tahun itu, dan sementara itu hubungannya dengan Ta'if, pengaruh agama telah masuk juga ke dalam hati penduduk Makkah dan Ta'if.

Tidak demikian halnya dengan Bazan dan orang-orang Persia di sekitarnya yang ada di Yaman. Ajaran-ajaran Rasulullah lebih kuat berbekas di Makkah dan di Ta'if—meskipun keduanya pernah memberontak — daripada ajaran-ajaran Mu'az bin Jabal di Yaman, walaupun berada sepenuhnya dalam perlindungan Bazan. (Baca juga: Maaf dan Marah Khalifah Abu Bakar kepada Kaum yang Murtad)

Pengaruh Aswad
Pergolakan di Yaman telah memberi semangat kepada Yamamah dan kepada Banu Asad untuk juga bergolak setelah Nabi wafat.

Sebenarnya Tulaihah dan Musailamah takut menghadapi kekuatan kaum Muslimin, dan menurut pendapat mereka tidak mungkin dapat melawannya. Oleh karena itu mereka tidak memberontak. Tetapi setelah Aswad berani mengangkat senjata dan berhasil sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan kaum Muslimin, keberanian demikian itu menular kepada Tulaihah dan Musailamah, dan lebih berani lagi mereka setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah. (Baca juga: Murtad dan Penolakan Membayar Zakat Pascawafatnya Rasulullah)

Sekiranya Aswad tidak bertingkah dan membuat kekacauan, yang lain tentu masih akan malu-malu untuk memulai, dan tak seorang pun akan berani melawan kaum Muslimin.

Dengan kematian Aswad itu pergolakan tidak dengan sendirinya berhenti, yang apinya sudah dicetuskan di segenap Semenanjung Arab. Malah api itu masih tetap menyala, dan makin membara setelah Rasulullah wafat.

Kalangan Orientalis mengatakan, bahwa perbedaan watak penduduk pedalaman dengan orang kota serta permusuhan yang timbul antara utara dengan selatan, besar sekali pengaruhnya terhadap pergolakan orang-orang Arab pinggiran, tak lama sebelum Nabi wafat dan pada tahun pertama kepemimpinan Khalifah Abu Bakar.

Islam adalah agama tauhid dalam arti akidah. Oleh karena itu ia membasmi segala macam penyembahan berhala. Keimanan kepada Allah Yang Mahatunggal dan Esa tersebar ke segenap penjuru negeri Arab. Tidakkah mereka merasa khawatir kesatuan iman kepada Allah itu kelak akan menjalar menjadi kesatuan politik yang berarti akan merugikan kebebasan warga Arab pedalaman dan akibatnya membangkitkan permusuhan lama?

Itulah yang berkecamuk dalam pikiran mereka menurut pendapat para Orientalis itu, dan itu pula yang membawa Yaman dan yang lain waktu itu bergolak. Pengaruh unsur asing dalam menyulut pergolakan.

Lepas dari benar tidaknya argumen itu, Haekal mengatakan, kita tak dapat menutup mata dari adanya unsur asing yang juga ikut menggerakkan hingga terjadi pergolakan dan pemurtadan orang-orang Arab. Raja Persia dan Kaisar Rumawi sudah melihat surat Nabi Muhammad kepada mereka dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain untuk menganut Islam.

Hal ini mendorong mereka untuk sekuat tenaga berusaha menyebarkan api fitnah di negeri-negeri yang tak akan ada unsur apa pun yang akan dapat menyatukan dan memperkuat mereka selain agama baru ini.

Satu-satunya cara untuk melemahkan mereka dan membuat mereka porak poranda ialah dengan jalan menghasut. Apa pun motif yang mendorong Aswad mengadakan pengacauan, kemudian disusul oleh Tulaihah dan Musailamah serta pemberontakan warga Arab pedalaman terhadap kewibawaan Muslimin sampai ke dekat kota Madinah, yang jelas ialah bahwa wafatnya Nabi menjadi sebab timbulnya fitnah itu.
(mhy)

No comments: