Siti Khadijah: Hanya Setan yang Senang Melihat Aurat
Adam dan Hawa. Foto/Ilustrasi/Ist |
Miftah H. Yusufpati
AL-QUR'AN paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup. Fungsipakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16):14 menyatakan bahwa, "Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara lain mutiara) yang kamu pakai"
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
Apakah ide dasar tentang pakaian?
Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran-- menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya. Quraish Shihab berpendapat, ide dasar juga dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang dirinya.
Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَٰذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ
Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ
"maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga."
Menurut Quraish Shihab, terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. “Dengan demikian, aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya,” tuturnya.
Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti ‘sesuatu yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya’, yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah "keterbukaan aurat".
Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa ketika Nabi SAW belum memperoleh keyakinan tentang apa yang dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya Khadijah.
Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi, beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi SAW melihat (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka pakaiannya sambil bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih melihatnya?" Nabi SAW menjawab, "Tidak, ... dia pergi."
Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat aurat)".
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ
Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]: 27).
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian: pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah SWT
Pakaian dan Fitrah
Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam, dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia yang diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.
Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
Quraish Shihab menjelaskan penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
Quraish mengingatkan perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."
Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak transparan atau tembus pandang.
Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang berbicara tentang berpakaian.
Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi SAW hingga akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
Quraish Shihab menjelaskan hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang dianugerahkan Allah.
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia (Adam dan Hawa).
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada saat memasuki masjid.
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk tuntunan berpakaian).
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah SWT telah mengilhami manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan, dan papan.
Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang dinilainya sebagai aurat.
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka yaitu aurat mereka."
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat menutupinya). Bersambung
No comments:
Post a Comment