Teladan Bela Kebenaran Nabi Nuh dan Rasulullah dalam Alquran



Memenangkan kebenaran merupakan opsi yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi seorang pemimpin. Sekalipun harus menghukum keluarga maupun orang-orang terdekatnya.

Sebab, setiap pembelaan terhadap kebenaran yang dilakukan oleh seorang pemimpin, akan berpengaruh signifikan bagi tatanan sosial serta kemaslahatan rakyatnya.

Ketika Kan’an, anak Nabi Nuh, harus menerima azab karena menolak kebenaran, Nabi Nuh tidak kuasa untuk menahan ibanya dan memohonkan ampunan bagi Kan’an. 

وَنَادَىٰ نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي 

''Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ''Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku.'' (QS Huud [11]: 45). Baru setelah Allah SWT menegur: 

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ

''Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik.'' (QS. Hud [12]: 46). Nabi Nuh tersadar untuk mengalahkan rasa ibanya demi memenangkan kebenaran. 

Demikian pula saat Aazar, ayah Nabi Ibrahim, menentang kebenaran sehingga layak menanggung azab Allah SWT, Nabi Ibrahim tidak mampu menyembunyikan rasa pilunya. 

قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

''Berkata Ibrahim, 'Semoga keselamatan tetap dilimpahkan kepadamu. Aku akan meminta ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku sangat baik kepadaku'.'' (QS Maryam [19]: 47).

Lalu Allah SWT mengingatkan Nabi Ibrahim, bahwa tidak patut bagi seorang Nabi memintakan ampunan bagi orang-orang yang menolak kebenaran; sekalipun mereka adalah keluarga atau kerabatnya. Maka, Nabi Ibrahim pun segera membuang sentimen pertalian darah tersebut dan memilih menegakkan kebenaran.

Di kalangan sahabat, dilema yang sama pernah dialami Usamah bin Zaid RA. Ketika seorang perempuan terpandang dari Bani Makhzum terbukti mencuri, sejumlah tokoh Muhajirin meminta Usamah agar memohon keringanan kepada Rasulullah SAW.

Namun, Rasulullah SAW menasihati sahabat yang sangat dekat dan dipercayainya tersebut:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ

''Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena membebaskan seorang pencuri bila ia dari kalangan terhormat, dan segera menghukumnya kalau ia rakyat jelata.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Dan, teladan terbaik dalam hal ini adalah komitmen Rasulullah SAW dalam sabdanya yang mulia: 

وإنِّي وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ، لو أنَّ فَاطِمَةَ بنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

''Demi Zat Yang Menguasai diriku, seandainya Fatimah binti Muhammad terbukti mencuri, pasti aku potong juga tangannya.'' (HR Bukhari dan Muslim). Sebab, setiap pembelaan terhadap kebenaran yang dilakukan oleh seorang pemimpin, akan berpengaruh signifikan bagi tatanan sosial serta kemaslahatan rakyatnya.

Ketika Kan’an, anak Nabi Nuh, harus menerima azab karena menolak kebenaran, Nabi Nuh tidak kuasa untuk menahan ibanya dan memohonkan ampunan bagi Kan’an. 

وَنَادَىٰ نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي 

''Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ''Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku.'' (QS Huud [11]: 45). Baru setelah Allah SWT menegur: 

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ

''Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik.'' (QS. Hud [12]: 46). Nabi Nuh tersadar untuk mengalahkan rasa ibanya demi memenangkan kebenaran. 

Demikian pula saat Aazar, ayah Nabi Ibrahim, menentang kebenaran sehingga layak menanggung azab Allah SWT, Nabi Ibrahim tidak mampu menyembunyikan rasa pilunya. 

قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

''Berkata Ibrahim, 'Semoga keselamatan tetap dilimpahkan kepadamu. Aku akan meminta ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku sangat baik kepadaku'.'' (QS Maryam [19]: 47).

Lalu Allah SWT mengingatkan Nabi Ibrahim, bahwa tidak patut bagi seorang Nabi memintakan ampunan bagi orang-orang yang menolak kebenaran; sekalipun mereka adalah keluarga atau kerabatnya. Maka, Nabi Ibrahim pun segera membuang sentimen pertalian darah tersebut dan memilih menegakkan kebenaran.

Di kalangan sahabat, dilema yang sama pernah dialami Usamah bin Zaid RA. Ketika seorang perempuan terpandang dari Bani Makhzum terbukti mencuri, sejumlah tokoh Muhajirin meminta Usamah agar memohon keringanan kepada Rasulullah SAW.

Namun, Rasulullah SAW menasihati sahabat yang sangat dekat dan dipercayainya tersebut:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ

''Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena membebaskan seorang pencuri bila ia dari kalangan terhormat, dan segera menghukumnya kalau ia rakyat jelata.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Dan, teladan terbaik dalam hal ini adalah komitmen Rasulullah SAW dalam sabdanya yang mulia: 

وإنِّي وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ، لو أنَّ فَاطِمَةَ بنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

''Demi Zat Yang Menguasai diriku, seandainya Fatimah binti Muhammad terbukti mencuri, pasti aku potong juga tangannya.'' (HR Bukhari dan Muslim). 

No comments: