1946: Sejarah Kelam Pembantaian Sultan-Sultan Melayu di Tanah Sumatera
Tidak banyak generasi muda Indonesia yang tahu tentang sejarah kelam ini. Entah itu sengaja ditutupi atau memang dianggap tidak begitu penting. Namun kenyataannya ini merupakan salah satu kisah sejarah paling kelam yang pernah terjadi di Indonesia. Nyawa orang-orang tidak bersalah dianggap tidak berharga atas nama revolusi.
Peristiwa ini bermula pada tahun 1946 silam. Terjadi gerakan sosial yang dilakukan oleh rakyat terhadap penguasa Kerajaan-Kerajaan Melayu di wilayah timur Sumatera. Gerakan ini dikenal dengan Revolusi Sosial Sumatera Timur. Pemicu revolusi ini adalah gerakan kaum komunis dan nasionalis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan yang dianggap antifeodalisme. Revolusi ini melibatkan mobilitas rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota Keluarga Kesultanan-Kesultanan Melayu yang dianggap pro Belanda.
Aksi kejam ini berawal di Kesultanan Kualuh. Sultan Al Hadji Moehammad Sjah, Sultan dari Kerajaan Melayu yang berada di Tanjung Pasir, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), Sumatera Utara ini diseret saat sedang shalat malam di rumahnya. Kejadian tersebut berlangsung pada 3 Maret 1946.. Sultan Al Hadji Moehammad Sjah dibawa ke kawasan kuburan Cina bersama dua orang anaknya, yaitu Tengku Mansyoer Sjah Gelar Tengku Besar dan Tengku Dirman Sjah. Sultan Kualuh dan kedua anaknya kemudian disiksa lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Beruntung, pada pagi ada nelayan yang kebetulan melintas dan membawa mereka bertiga ke istana untuk mendapatkan perawatan. Sekitar pukul 11 siang, datang sekelompok orang berbeda hendak menjemput Sultan Al Hadji Moehammad Sjah beserta kedua anaknya. Sekelompok orang tersebut beralasan akan membawa mereka bertiga ke rumah sakit.
Bukannya dibawa ke rumah sakit, Al Hadji Moehammad Sjah dan kedua orang anaknya justru dibunuh secara kejam. Sejarawan Melayu Tengku Haris Abdullah Sinar dalam sebuah literatur mengatakan, para petinggi Kesultanan Kualuh tersebut dibunuh saat adzan sedang berkumandang. “Saat hendak dibunuh, Tuanku sempat berkata; Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (adzan) selesai dikumandangkan dan izinkan kami sembahyang sekejap,” pinta Tuanku saat itu. Permintaan tersebut tidak dikabulkan. Sultan Kualuh dan kedua puteranya tewas dibunuh.
Peristiwa serupa juga terjadi di Kesultanan Panai, Kota Pinang, Negeri Padang Tebing Tinggi dan Kesultanan Bilah yang menewaskan Tuanku Hasnan.
Kesultanan Langkat juga mengalami nasib serupa. Tidak sedikit perempuan keluarga Kesultanan diperkosa di hadapan orangtua dan keluarganya. Sedangkan lelaki dibantai dengan sadis. Akibatnya, Kesultanan Langkat banyak kehilangan petinggi kerajaan dan sejumlah pakar. Dalam peristiwa ini, seorang sastrawan Tengku Amir Hamzah, Pangeran Langkat Hulu dan Wakil Pemerintah Republik Indonesia saat itu, turut terbunuh.
Peristiwa pembunuhan Tengku Amir Hamzah terjadi pada 7 Maret 1946. Dalam peristiwa itu, Tengku Amir Hamzah dan sejumlah petinggi Kesultanan Langkat dijemput paksa menggunakan truk terbuka oleh sekelompok orang, kemudian di kumpulkan di Jalan Imam Bonjol, Binjai. Bersama tahanan lainnya, Tengku Amir Hamzah disiksa kemudian dibunuh di perladangan di kawasan Kuala Begumit oleh Mandor Iyang Wijaya yang tidak lain adalah pelatih kesenian silat kuntau Istana Langkat.
Sebelum melakukan pembunuhan, algojo mengabulkan dua permintaan Tengku Amir Hamzah. Pertama; Tengku Amir Hamzah minta penutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajal dengan mata terbuka. Kedua; Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan.
Pembantaian dan pembunuhan juga terjadi di Negeri Padang, salah satu Kerajaan Melayu di Tebing Tinggi pada 3 Maret 1946. Dalam peristiwa ini, cucu Tengku Tebing Pangeran, Tengku Sortia, tewas di tangan sekelompok orang.
Peristiwa terjadi saat Tengku Sortia sedang sholat di rumahnya di kawasan Tongkah, perkebunan tembakau milik kerajaan Negeri Padang, bersama isterinya Puang Maimunah. Saat ini Perkebunan Tongkah berada di antara Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai (Sergai). Tengku Sortia diseret dari rumah kemudian dibunuh. Jasadnya dihanyutkan ke sungai tidak jauh dari rumahnya.
Di malam yang sama, 3 Maret 1946, Kesultanan Asahan di Tanjung Balai juga mengalami nasib serupa. Sebelum adzan Shubuh berkumandang, Tengku Muhammad Yasir menyambut Sang Ayah di rumahnya yang baru tiba dari istana setelah bersiaga akibat tersiar kabar akan terjadi penyerangan. Rumah Cucu Sultan Asahan ke X ini berada di lingkungan Istana Kesultanan Asahan, di lingkaran Kota Raja Indra Sakti yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.
Tengku Muhammad Yasir yang saat itu masih berusia 15 tahun, melihat sejumlah orang mengendap-endap ke arah istana saat membukakan pintu untuk ayahnya. Karena takut, Tengku Muhammad Yasir kemudian masuk ke dalam rumah bersama ayahnya. Pukul 06.00 pagi, Istana Kesultanan Asahan diserang sekelompok orang. Sultan Asahan saat itu, Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, berhasil melarikan diri melalui pintu belakang istana.
Satu jam kemudian, sekelompok orang datang ke rumah Tengku Muhammad Yasir dan membawa ayahnya. Tengku Muhammad Yasir tidak turut dibawa karena sedang menderita sakit pada bagian kaki yang mengalami pembusukan hingga mengeluarkan aroma tidak sedap.
Pasca penangkapan ayahnya, Tengku Muhammad Yasir menyelamatkan diri ke rumah kakak sepupunya, Tengku Haniah. Ternyata, Tengku Muhammad Yasir tidak menemukan seorangpun lelaki di rumah itu. Semua telah ditangkap sekelompok orang.
Semua peristiwa diatas sama sekali tidak pantas disebut sebagai revolusi. Ini merupakan sebuah pembunuhan massal yang perlu diusut demi keadilian bagi para korban. Pertanyaannya, apakah pemerintah saat itu memberikan dukungan terhadap aksi kejam ini? Entahlah, tiada yang tahu. []
No comments:
Post a Comment