Dzakhwan bin Kaisan: Si Burung Merak yang Tak Terbeli


Miftah H. Yusufpati

DI tengah bertaburnya lima puluh bintang hidayah yang bersinar terang (yakni para sahabat), maka terkumpullah cahaya terang pada dirinya. Cahaya di hatinya, cahaya di lidahnya, dan cahaya di depan matanya. 

Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya dalam “Mereka Adalah Para Tabi’in” menceritakan, di bawah bimbingan 50 ulama alumnus Madrasah Muhammad, Thawus seakan menjelma menjadi duplikat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kemantapan iman, kejujuran kata-kata, kezuhudan terhadap dunia dan keberanian dalam menyerukan kalimat yang benar kendati harus ditebus dengan harga yang mahal.

Madrasah Muhammadiyah (pengikut Muhammad) mengajarkan kepadanya bahwa agama adalah nasihat. Nasihat bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin.

Fakta menjadi bukti baginya bahwa kebaikan secara total dapat terwujud bila dimulai dari penguasa. Bila baik pemimpinnya, akan baik pula umatnya. Bila rusak pemimpinnya, rusak pula rakyatnya. 

Begitulah sekilas tentang Dzakhwan bin Kaisan yang mendapat julukan Thawus (burung merak) karena dia laksana thawus bagi para fuqaha dan pemuka pada masanya.

Thawus bin Kaisan adalah penduduk Yaman, gubernur negerinya saat itu adalah Muhammad bin Yusuf ats-Tsaqafi, saudara dari Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj menempatkan saudaranya itu sebagai wali setelah kekuasaannya menguat dan pamornya melejit, terutama sejak ia mampu membendung gerakan Abdullah bin Zubair. 

Muhammad bin Yusuf mewarisi banyak sifat jahat saudaranya, Hajjaj bin Yusuf, namun tak sedikit pun kebaikan Hajjaj yang diambilnya.

Menolak
Suatu hari di muslim dingin, Thawus bin Kaisan dan Wahab bin Munabbih mendatangi Muhammad bin Yusuf. Setelah duduk di hadapan wali itu, Thawus memberikan nasihat panjang lebar, berupa anjuran dan juga ancaman. Sementara itu orang-orang duduk di depan amirnya.

Ketika itu, gubernur berkata kepada pembantunya, “Ambilkan seperangkat pakaian berwarna hijau yang mahal lalu letakkan di bahu Abdurrahman (panggilan lain Dzakhwan bin Kaisan).”

Pembantu itu segera melaksanakan perintahnya. Dia megambil seperangkat pakaian warna hijau yang mahal lalu dia meletakkannya di atas bahu Thawus.

Akan tetapi, Thawus terus saja melanjutkan nasihatnya. Di tengah ia berbicara, sesekali diselingi dengan menggoyangkan bahunya secara halus hingga akhirnya jatuhlah pakaian tersebut. Setelah itu dia berdiri dan beranjak dari tempat itu.

Muhammad bin Yusuf tersinggung menyaksikan hal tersebut. Wajah dan matanya berangsur memerah, namun dia tidak berkata apa-apa. Sementara itu Thawus dan Wahab sudah berada di luar majelis.

Wahab berkata kepada Thawus, “Demi Allah, sebenarnya kita tidak perlu membuat dia marah kepada kita. Apa salahnya bila Anda menerima pakaian tadi kemudian Anda jual dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin?”

Thawus berkata, “Apa yang Anda katakan memang benar jika aku tidak mengkhawatirkan para ulama setelah kita berkata, “Kami akan mengambil seperti Thawus bin Kaisan,” (Yakni menerima pemberian penguasa) akan tetapi mereka tidak melakukan seperti yang Anda ucapkan.” (yakni menjual dan menyedekahkannya kepada fakir miskin).
(mhy)

No comments: