Integrasi Konsep “Khilafah” dan “NKRI”
Kita sebaiknya memahami khilafah bukan sebagai sekedar institusi politik, tetapi juga sebagai satu institusi peradaban yang mencakup berbagai bidang: politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya
DALAM buku “50 Tahun Perjalanan Mencari Ilmu dan Bahagia” (Depok: YPI at-Taqwa, 2015), saya menulis satu bab khusus berjudul “Tentang Isu Khilafah”. Saya sudah menduga, bahwa isu “khilafah” masih akan terus menjadi perbincangan hangat di tengah umat Islam, karena memang isu ini diyakini banyak pihak sebagai hal penting dalam kesuksesan dakwah Islam.
Dari definisi para ulama, disimpulkan, “Khilafah” adalah institusi politik Islam. Dalam sejarah, khilafah pernah unggul dan berjaya, tetapi khilafah juga pernah babak belur dan hancur, seperti Andalusia dan juga Turki Utsmani. Hebat dan tidaknya khilafah terkait erat dengan kualitas manusianya, terutama kualitas Sang Khalifah.
Di zaman ini, menurut hemat saya, kita sebaiknya memahami khilafah bukan sebagai sekedar institusi politik, tetapi juga sebagai satu institusi peradaban yang mencakup berbagai bidang: politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Dengan menempatkan “khilafah” sebagai institusi peradaban, maka kita bisa meletakkan khilafah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Substansi konsep “khilafah” adalah sebuah negara yang unggul berbasis kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid) dan para pemimpin serta masyarakatnya beriman dan bertaqwa kepada Allah, sesuai QS al-A’raf: 96. Konsep negara ideal seperti ini jelas tergambar dalam Pembukaan UUD 1945.
Para ulama Islam pun tidak menyepakati adanya bentuk tertentu dari Khilafah. Bahkan, dalam satu hadits Nabi, disebutkan, setelah masa Khulafa al-Rasyidun, akan muncul “mulkan ‘aaddhan” (Kerajaan yang Menggigit). “Kerajaan yang Menggigit” yang bukan “ala manhaj an-nubuwwah” itu pun masih disebut oleh berbagai pihak sebagai “Khilafah”.
Dalam pemahaman ini, selama negara itu memiliki peran dalam menegakkan “maqashid al-syariah”, maka negara itu bisa dikategorikan sebagai “khilafah”. Lima maqashid al-syariah adalah: menjaga agama, menjaga akal, menjaga keturunan, menjaga harta, dan menjaga jiwa.
Karena itu, sejak awal masa-masa kemerdekaan, para ulama di Indonesia tidak mengusung jargon khilafah. Yang mereka perjuangkan dalam BPUPK, Majelis Konstituante, dan juga melalui partai politik dan berbagai organisasi Islam, adalah mewujudkan “baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur”. Yakni, negara adil dan makmur dalam naungan ridha Ilahi. Ini adalah substansi konsep Khilafah.
Muhammadiyah, misalnya. Ormas Islam yang besar ini tidak menyebutkan tujuannya untuk mendirikan “khilafah”. Maksud didirikan Muhammadiyah adalah: “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Anggaran Dasar (pasal 2), Muhammadiyah menegaskan Tujuannya: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
*****
Dalam sejarah, khilafah pernah menjadi institusi yang lemah secara militer, tetapi masih kuat secara pemikiran dan peradaban. Sebaliknya, ada bangsa yang kuat secara militer, tetapi tidak membangun peradaban baru. Itulah yang terjadi ketika pasukan Mongol menduduki Banghdad (1258 M), atau seperti juga pasukan Salib yang menduduki Jerusalem (1099 M). Karena tentara Mongol dan pasukan Salib lebih mengandalkan kekuatan fisik, mereka memang berhasil berkuasa, tetapi mereka tidak berhasil membangun peradaban baru. Bahkan, mereka tersedot ke dalam peradaban Islam yang lebih tinggi dari peradaban penjarah ketika itu.
Itu sangat berbeda dengan Negara Madinah yang dibangun Rasulullah saw. Dalam waktu sangat singkat, Madinah mampu tampil sebagai peradaban baru yang gemilang. Peradaban Islam ketika itu didukung oleh manusia-manusia yang haus ilmu, cinta persaudaraan, dan cinta pengorbanan.
Manusia-manusia unggul ini adalah hasil didikan langsung oleh guru terbaik sepanjang masa, yaitu Nabi Muhammad saw. Mereka adalah manusia-manusia yang mengagumkan; mencengangkan dunia. Hanya dalam waktu empat tahun sepeninggal Rasulullah saw (636M), misalnya, peradaban Islam sudah mampu mengungguli peradaban Romawi.
Karena itu, agenda utama perjuangan umat Islam Indonesia saat ini – menurut hemat saya adalah membangun SDM-SDM kaum muslim Indonesia yang unggul, sehingga mereka akan menjadi teladan terbaik bagi masyarakat Indonesia. Apa pun organisasi dan gerakan Islamnya. Kini, kita hidup dalam sebuah kapal bernama Indonesia, yang penumpangnya begitu beraneka ragam. Nakhoda dan awak kapalnya pun beragam pula pemikiran dan perilakunya.
Kita semua ingin agar kehidupan di “kapal Indonesia” ini tetap harmonis, meskipun ada berbagai persaingan dan bahkan konflik. Tapi, jangan sampai membuat kapal ini tenggelam. Jangan kita biarkan ada yang membocorkan kapal ini. Perlu kita catat, bahwa yang diminta pertanggungjawaban oleh Allah adalah sebatas kemampuan dan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Jadi, kita laksanakan saja kewajiban kita; menjaga keluarga kita dari api neraka; mengajak sekeliling kita, masyarakat kita menjadi orang-orang yang baik, yang mulia akhlaknya, dan seterusnya. Membangun SDM Indonesia yang unggul, bukanlah perkara mudah. Apalagi, di era dominasi pemikiran dan sistem pendidikan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai materialisme dan sekulerisme. Rasulullah saw memberikan contoh yang sangat ideal dalam menyiapkan dan menjalankan suatu proses pendidikan yang sangat hebat, sehingga melahirkan manusia-manusia terbaik di dunia ketika itu.
Karena itulah, saat ini, umat Islam Indonesia perlu berjuang sekuat tenaga agar pendidikan mereka merupakan pendidikan terbaik, yang mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang unggul. Ini perjuangan yang sangat berat.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah mengingatkan hal itu dalam Konferensi Pendidikan Islam Internasional di Mekkah tahun 1977. Bahwa, akar masalah umat Islam adalah “loss of adab”, hilang adab. Yakni, tidak tahu memahami, menyikapi, dan meletakkan segala sesuatu dengan tepat. Jika salah paham dalam memahami masalah umat, akibatnya juga akan salah fokus saat berjuang memperbaikinya.
Ketika tidak tahu atau hilang adab, jangankan dikasih kekuasaan setingkat negara, dikasih kekuasaan setingkat kelurahan pun, tidak akan bisa amanah; dikasih kampus, belum tentu bisa mengelola secara Islami; dikasih sekolah, belum tentu bisa menyusun kurikulum yang Islami; dikasih masjid tidak tahu bagaimana mengelolanya dengan baik; dikasih anak-anak, tidak tahu cara mendidik mereka dengan benar, sehingga menjadi generasi gemilang.
Jadi, kuncinya adalah: beradab dan berilmu dengan benar! Dan fondasinya adalah keikhlasan beribadah kepada Allah SWT dan berbuat baik pada sesama. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 30 Agustus 2020).
Direktur At-Taqwa College Depok
Dr. Adian Husaini
No comments:
Post a Comment