Jam’iyyah Persis, Politik Nasional dan Sejarah


Bahkan, Natsir yang merupaka kader Persis kemudian yang menjadi Perdana Menteri pertama NKRI—setelah sebelumnya pada masa revolusi (1945-1948) beberapa kali menjabat Menteri Penerangan RI ataupun penasehat tim perundingan RI

Pepen Irpan Fauzan


“…during the debates in the Assembly, one of the Christian leaders was said to have gone in search of Mohammad Natsir in order to inform him that he, personally, was prepared to back the establishment of an Islamic state. The one condition to his support, however, was a guarantee that Natsir, and Natsir alone, would be its president.” [Rémy Madinier, 2015: 425].



Hidayatullah.com | MARTIN van Bruinessen, seorang Indonesianis sekaligus antopolog kenamaan bereputasi Internasional, ketika melakukan penelitian di Bandung pada tahun 1989/1990-an, secara tidak sengaja “menemukan” warga jam’iyyah Persatuan Islam (Persis) sebagai salah satu objek observasi risetnya. Maklum, Bandung sebagai puseur dayeuh Jawa Barat juga dikenal sebagai kawasan basis Persis—sebagai tempat kelahirannya sejak 1923.

Van Bruinessen bukan secara sengaja bermaksud meneliti Persis. Tema utama kajiannya adalah tentang ideologi masyarakat Muslim miskin di wilayah perkotaan dan Kota Bandung adalah salah satu lokasi kajiannya.

Walaupun tidak secara khusus membedah Persis, namun hasil riset van Bruinessen ini memberikan informasi menarik tentang Persis. Di antaranya tentang etos kerja warga Persis yang disebutnya mewakili konsep budaya ekonomi little bourjuise; ditambah tentang fenomena pengajian yang bersifat eksklusif dan membentuk lingkungan “persaudaraan” (brotherhood) yang erat-rapat sehingga—menurut van Bruinessen—berkecenderungan sebagai gerakan fundamentalis-sektarian; dan sinyalemen tentang bertambahnya anggota Persis yang berasal dari eks anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang turun gunung setelah tertangkapnya Imam Kartosuwiryo.

Selain informasi budaya ekonomi Persis yang berkecenderungan little bourjuise—yang sesungguhnya menarik untuk dikaji lebih dalam—namun, dua informasi terakhir cukup menghenyakkan para pembaca van Bruinessen. Seolah-olah membenarkan bahwa Persis adalah gerakan keagamaan fundamentalis-sekatarian dan sekaligus membuat orang percaya bahwa Persis “dekat” dengan DI/TII.

Sudah sejak dahulu awal kemerdekaan RI, Persis diisukan atau “difitnah” mendukung atau setidak-tidaknya membela DI/TII Imam Kartosuwiryo. Ditambah serangan radikal KH. Isa Anshary—sebagai Ketua Umum Persis era 1848-1960—terhadap filosofi ideologi Negara Pancasila, Persis pun jadi santapan empuk lawan-lawan politiknya untuk dicitrakan anti-NKRI.

Muncul juga isu bahwa Tuan Hassan ketika menyampaikan surat Natsir (waktu jadi PM RI) ke Imam Kartosuwiryo, berdebat dengan sang Imam tersebut dan justeru membenarkan ijtihad politiknya. Maka dengan sinyalemen masuknya eks anggota DI/TII menjadi anggota Persis, tidakkah itu lebih menguatkan asumsi orang: “kalau tidak dekat dari dulu, tidak mungkin masuk jadi anggota!”?. Persis dianggap fundamentalis Islam dan dicurigai hendak mengubah NKRI menjadi “NII”!.

Tentu saja framework pemikirannya tidak bisa seperti itu. Terlalu simplistik, menyederhanakan masalah. Sinyalemen van Bruinessen tentang eks anggota DI/TII yang masuk Persis, tentu saja tidak perlu dibantah berlebihan—walaupun mesti ada riset tersendiri yang membahasnya; benarkah?

Jika benar, seberapa signifikan dan apa reasoning dibalik fenomena tersebut?— karena itu adalah konfirmasi hasil risetnya. Namun bukan berarti, data tersebut bisa ditafsir seenaknya bahwa Persis itu “mendukung” atau “dekat” dengan DI/TII.

Van Bruinessen sendiri tidak menyimpulkan seperti itu, karena bukan subjek primer risetnya. Fenomena itu bisa ditafsir sebaliknya, bahwa Persis justeru berhasil menyadarkan para eks anggota DI/TII.

Bukankan fatwa terakhir Imam Kartosuwiryo ketika tertangkap adalah menyuruh para anggotanya mengikuti jejak Natsir-kader Persis? Bukankah itu menyiratkan legitimasi pemikiran politik Natsir yang justeru mendukung dan bahkan berkontribusi terhadap kelahiran dan pertumbuhan NKRI?

Terkait KH. Isa Anshary yang memang secara radikal menyerang falsafah Pancasila, itu harus ditempatkan pada konteks sejarah dekade awal pertumbuhan Indonesia. Pada periode 1950-1960, memang terjadi perdebatan keras KH. Isa Anshary dengan Presiden Soekarno dan PNI, serta pertikaian tajam dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketika itu memang diperbolehkan untuk persaingan politik, termasuk justeru diminta untuk memberikan masukan pandangan politik tentang bentuk ideal Negara Indonesia yang masih balita!.

Dibentuknya Majelis Konstituante pada era 1955-1960 justeru sebagai arena legal untuk menyampaikan aspirasi rakyat tentang salah satunya ideologi Negara yang terbaik untuk Indonesia. Juga yang diserang adalah konsep Pancasila-nya Soekarno dan kalangan sekuler lainnya yang seolah-olah Pancasila itu berlawanan vis-à-vis dengan Islam.

Patut dicatat juga, walaupun ketika bersidang terjadi perdebatan panas, tapi di luar sidang mereka biasa mengobrol-berbagi kopi hitam. Jadi, waktu itu, perdebatan tentang konsep Pancasila adalah lumrah, tidak bisa begitu saja disimpulkan Isa Anshary atau umumnya Persis itu anti-NKRI.

Juga terkait isu Tuan Hassan yang membenarkan ijtihad politik Imam Kartosuwiryo, itu pun sangat meragukan. Cenderung hanya sebagai gosip murahan. Jelas, agak aneh, karena pemikiran politik Tuan Hassan justeru malah bertolak belakang dengan Imam Kartosuwryo.

Pemikiran politik Tuan Hassan bersifat universalitik; pan Islamisme, tidak berbasis nasionalisme sempit. Tuan Hassan dikenal sangat anti terhadap politik ashabiyah jahiliyyah yang mengagungkan suku atau bangsa tertentu.

***

“Politik pengleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik umum di dalam negeri dari pemerintahan di seluruh Indonesia…Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir ini dengan cara yang integral…”

Inilah sari pati pidato Natsir pada sidang DPR Sementara RIS di Jakarta pada 3 April 1950. Pidato Natsir ini dikenal dengan nama “Mosi Integral Natsir”. Mosi Natsir ini diterima secara aklamasi pada sidang parlemen tersebut.

Bung Hatta, salah seorang proklamator dan menjadi PM RIS waktu itu, menyambut baik ide Natsir dan menegaskan; “Mosi Integral Natsir kami jadikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi”. Persoalan apa? Keterpecahan bangsa yang berimplikasi pada masalah sosial ekonomi, keamanan, dan lainnya.

Inilah peran monumental dari seorang kader Persis, Natsir, terhadap eksistensi NKRI. Jelas, sejarah tidak bisa dipungkiri bahwa Natsir turut berjasa dalam menegakkan negara kesatuan RI. Dengan langkahnya, ia mendorong perubahan bentuk negara yang semula federalistik (serikat) menjadi negara kesatuan melalui mosinya. RIS kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga Indonesia tidak lagi menjadi Negara yang tercabik-cabik menjadi 17 negara bagian.

Bahkan, Natsir kemudian yang menjadi Perdana Menteri pertama NKRI—setelah sebelumnya pada masa revolusi (1945-1948) beberapa kali menjabat Menteri Penerangan RI ataupun penasehat tim perundingan RI melawan Belanda.Jelas peran Natsir tersebut tidak bisa hanya dikaitkan sebagai peran individu.

Dari mana Natsir berasal? Persis adalah lembaga yang menempa kepribadian dan pemikiran politik Natsir, sehingga walau bagaimanapun, aksi dan pemikiran politik Natsir tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan Persis. Bahkan lebih jauhnya lagi, peran itu tidak hanya dimainkan Natsir seorang, tapi umumnya warga Persis. Tentu dengan cara dan kadarnya masing-masing.

Tak diragukan lagi kontribusi Persis terhadap bangsa ini, baik pra maupun pasca-Kemerdekaan, wabilkhusus terhadap eksistensi NKRI. Para sejarahwan pasti mengakui dan bahkan secara terbuka akan menyebut Persis dalam konteks gerakan nasional pra-Kemerdekaan Indonesia, di samping nama Budi Utomo, Syarekat Islam, Muhammadiyah, Taman Siswa, dan sebagainya.

Bagaimana tidak, di era kemunculan negara Indonesia, proses pembangunan bangsa yang mayoritas Muslim itu dijalankan oleh Persis dengan harus menapaki jalan berliku dalam waktu yang bersamaan: pengikisan tachayul, bid’ah, churafat (TBC), perlawanan terhadap kolonialisme, penegakan hukum dan entitas politik tunggal, pertarungan dengan ideologi komunis dan sekuler, pengembangan institusi dan sistem pendidikan Islam, dan seterusnya.

Paham Persis, sebagaimana diakui para sejarahwan, mengembangkan pendekatan reformistik dalam memahami ajaran-ajaran agama Islam yang menekankan rasionalisme, egalitarianisme, dan skripturalisme. Namun, karena dikenal sebagai organisasi yang memiliki pendekatan “keras,” Persis sering kali berbenturan dengan kelompok-kelompok tradisionalis, bahkan juga dengan kelompok modernis lainnya.

Namun, mau tak mau, Persis diakui telah membawa pencerahan Islam. Misalnya saja, dialog Tuan Hassan dengan Soekarno, tokoh pergerakan nasional waktu itu. Soekarno yang tadinya kurang memahami Islam, sejak bergaul dengan Tuan Hassan, sedikit demi sedikit mulai terbuka terhadap Islam. Bahkan Tuan Hassan dianggap sebagai gurunya dalam hal agama. Terlebih lagi ketika Soekarno menjalani hukuman pembuangan oleh pemerintah kolonial Belanda di Endeh, Flores, sehingga terkenal edisi “Surat-Surat Islam dari Endeh” pada buku Di Bawah Bendera Revolusi-nya Soekarno (jilid I).

Tuan Hassan pun punya jasa yang tidak sedikit ketika Negara Indonesia baru lahir. Ia mendukung negara yang baru lahir ini dengan caranya sendiri. Dengan kreativitas menulisnya, ia menerbitkan tulisan-tulisan yang isinya mendukung Pemerintahan Republik Indonesia di awal tahun 1946. Ia menyatakan perlunya kerjasama dengan Pemerintahan Soekarno dan meyakinkan perlunya persatuan.

Pada masa revolusi Indonesia, hampir seluruh potensi organisasi Islam tercurah pada front pertempuran. Mereka menyusun barisan dalam bentuk lasykar-lasykar perjuangan Sabilillah dan Hizbullah. Tak terkecuali dengan anggota dan elite Persis. Walaupun secara organisatoris Persis masih vakum, namun anggota-anggotanya turut aktif dalam proses revolusi ini. Apalagi elite-elite Persis menduduki posisi yang cukup penting dalam fase perjuangan ini. M. Isa Anshary, misalnya, menduduki posisi pemimpin lasykar Sabilillah di daerah Priangan dan menjadi anggota ‘panitia nasional’ pada masa awal revolusi. M. Rusyad Nurdin, tokoh muda Persis waktu itu, menceritakan keterlibatan dirinya—dan juga anggota-anggota Persis lainnya—dalam  perjuangan Revolusi Fisik tersebut.

Jika begini konteks keadaannya, sungguh tidak logis jika Persis dianggap anti-NKRI. Tidak masuk akal (common sense) sekalipun. Mengapa? Karena tidak mungkin orang (atau sekelompok orang) akan membakar “rumah” yang telah dibangunnya dengan susah-payahnya itu! Kalaupun “rumah” itu—ketika sudah berdiri, terbangun—ternyata tidak seideal impiannya, yang harus dilakukan adalah memperbaiki kekurangan “rumah” itu, bukan membakarnya.

***

Mungkin benar bahwa mengungkit-ungkit jasa di masa kemarin dulu adalah bagian dari sifat riya, ingin dipuji. Riya jelas adalah perbuatan dosa yang harus sedapat mungkin dihindari. Namun, sebagai bahan pembelajaran sejarah, jasa kemarin-dulu itu perlu dihadirkan kembali dalam wacana. Sebagai contoh suri tauladan atau bahkan bukti sejarah. Apalagi jika itu semua dihadirkan kembali bukan oleh aktor-pelakunya itu sendiri.

Jadi, sekali lagi bukan untuk riya atau ingin dipuji, hanya sekedar; agar diketahui saja sebagai bukti sejarah! Dan selebihnya ialah bahan pembelajaran suri tauladan yang bisa dipetik hikmahnya.

Dalam bukunya, Islam and Politics in Indonesia (NUS Press, 2015), Rémy Madinier menceritakan sebuah anekdot—yang beredar tahun 1990-an di Jakarta. Tentang komitmen tokoh Kristen yang bersedia menerima Indonesia menjadi sebuah negara Islam. Syaratnya cuma satu: asal yang menjadi presidennya adalah Natsir, bukan orang lain! Saking percayanya pada keshalehan pribadi tokoh Masyumi yang dibesarkan oleh Jam’iyyah Persis itu. Wallahu a’lam.*

Anggota Dewan Tafkir PP PERSIS/ Kandidat Doktor Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No comments: