Kekhalifahan Utsmani yang Mengubah Amerika

Protestan, AS dan dunia berhutang dengan Timur Tengah, khususnya Kekhalifahan Utsmani, yang hidup setengah milenium yang lalu. Dari Ustamanilah Amerika mengenal kopi Kekhalifahan Utsmani yang Mengubah Amerika
lustrasi: Sultan Salim I
 Alan Mikhail

KEBANYAKAN orang Amerika tidak mengetahui bahwa kebiasaan secangkir kopi pada pagi hari menghubungkan mereka dengan Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman). Sedikit yang menyadari bahwa negara Muslim ini membantu melahirkan Protestanisme, bentuk Kristen paling dominan di Amerika, atau bahwa penjelajah Eropa yang “menemukan” Amerika dapat melakukan itu karena pengaruh Utsmani dan pihak Muslim lainnya terhadap perdagangan di Eropa dan Asia.
Faktanya, beberapa orang Amerika bahkan tidak mengetahui apa itu Kekhalifahan Utsmaniyah. Ketika mereka berpikir tentang Timur Tengah, mereka seringkali melihat itu sebagai sebuah teater perang Amerika dan wilayah yang penting karena minyaknya.
Namun kita semua berhutang bagian penting dari budaya dan sejarah kita kepada kerajaan terpenting dalam sejarah Timur Tengah, Kekhalifahan Utsmani, dan khususnya kepada satu khalifah yang hidup setengah milenium yang lalu. September ini menandai peringatan 500 tahun kematian seorang tokoh sejarah tunggal, tetapi terlupakan – Sultan Salim I (Bahasa Turki Utsmaniyah: سليم اول, Bahasa Turki: Birinci Selim).
Sultan Salim adalah penguasa Utsmani kesembilan dan berkuasa pada tahun 1512 sampai 1520. Watak dan kepribadiannya yang keras menjadikannya mendapat julukan Yavuz Sultan Sultan Salim (Yavuz sendiri dapat dimaknai dengan “keras”, “teguh”, atau “tegas”).
Kehidupan dan masa pemerintahan Sultan Salim mungkin adalah setengah abad paling berpengaruh dalam sejarah dunia, dengan gaungnya sampai ke zaman kita sekarang. Dia hampir melipatgandakan wilayah Utsmani melalui perang di Timur Tengah, Afrika Utara dan Kaukasus.
Dengan pengaruhnya yang melebihi penjelajah Italia Christopher Columbus, pastor Katolik Jerman Martin Luther, diplomat Italia dan filsuf politik Niccolò Machiavelli atau orang-orang sezamannya, kemenangan Sultan Salim benar-benar mengubah dunia. Pada tahun 1517, Sultan Salim dan tentaranya berbaris dari Istanbul ke Kairo, mengalahkan saingan utamanya di dunia Muslim, Kekhalifahan Mamluk.
Sultan Salim memerintah lebih banyak wilayah daripada hampir semua penguasa lainnya. Dia memegang kunci dominasi global. Dia menguasai dunia tengah, memonopoli rute perdagangan antara Mediterania dan India dan China, dan memiliki pelabuhan di semua laut dan samudra utama Dunia Lama.
Otoritas agamanya di dunia Muslim tak tertandingi. Dan dia memiliki sumber daya uang, tanah dan tenaga kerja yang sangat besar. Menguasai begitu banyak hal, dia pantas mendapatkan gelar “Bayangan Dewa di Bumi“.
Kekalahan Mamluk benar-benar menggeser keseimbangan kekuatan global antara dua kekuatan geopolitik utama zaman: Islam dan Kristen. Dalam periode ini, agama bukan hanya masalah keyakinan pribadi tetapi logika pengorganisasian politik di seluruh dunia.

Tentara Utsmani

Pada tahun 1517, Sultan Salim memperluan wilayah Makkah dan Madinah (wilayah Hijaz, sebelum diganti menjadi Arab Saudi), dua kota paling suci dalam Islam selain Baitul Maqdis, mengubah kerajaannya dari mayoritas penduduk Kristen menjadi mayoritas Muslim dan menjadikannya sultan dan khalifah, pemimpin politik utama kekhalifahannya dan kepala masyarakat Muslim Dunia. Ustamni pada saat itu menjadi kerajaan Muslim raksasa dan bukan tandingan para raja Eropa yang ketika itu masih bertengkar sendiri antar sesama.
Kekhalifahan Utsmani dan penguasa Syiah Safawi di Iran berperang sepanjang tahun 1500-an dan 1600-an, iterasi awal dari perpecahan agama dan politik Sunni-Syiah dalam Islam yang terus mengguncang dunia Muslim saat ini. Pada zaman Sultan Salim, untuk pertama kalinya sebuah negara mengidentifikasi diri sebagai negara Sunni dan satu lagi sebagai negara Syiah yang kemudian berperang untuk supremasi di Timur Tengah.
Baca juga:
Tapi Islam bukanlah satu-satunya agama yang terdampak oleh ekspansi eksplosif Utsmani. Dominasi teritorial Sultan Salim menimbulkan tantangan spiritual bagi Kristen Eropa, yang saat itu merupakan benua yang terdiri dari kerajaan kecil dan negara-kota yang secara turun-temurun terus bertikai. Secara individu – atau bahkan bersama – mereka bukan tandingan kerajaan Muslim raksasa.
Berusaha menjelaskan ketidakseimbangan kekuatan ini, banyak orang Eropa menemukan jawaban tidak hanya dalam politik tetapi juga dalam apa yang mereka anggap sebagai kegagalan moral mereka. Di dunia di mana agama dan politik digabungkan, keberuntungan yang berubah mewakili keputusan Tuhan.
Sejauh ini kritik yang paling luas dan logis datang dari Martin Luther. Dia berpendapat bahwa kelemahan agama Kristen terhadap Islam berasal dari kerusakan moral Gereja Katolik. Korupsi Paus merusak jiwa Kekristenan dari dalam, membuat seluruh tubuh susunan Kristen rapuh dan karena itu rentan terhadap musuh eksternal.
Selain berfungsi sebagai lawan ideologis, Kekhalifahan Utsmani dibawah Sultan Salim memberi Luther waktu untuk menabur perselisihan: Karena mobilisasi militer untuk mempertahankan diri melawan Utsmani, kekuatan Katolik menolak mengirimkan pasukan tempur tambahan untuk memadamkan gerakan Protestan awal ini.
Hasilnya, Luther dan para pendukungnya bisa mendapatkan pijakan untuk menyebarkan agama Protestan di kota-kota Jerman dan akhirnya ke seluruh dunia. Secara ekonomi, Kekhalifahan Utsmaniyah adalah tokoh utama melalui ukurannya yang besar dan kepemimpinan cerdik yang ditunjukkan Sultan Salim dalam mengendalikan wilayah geografis yang begitu luas.
Salah satu pendorong ekonomi kekaisaran dari zaman Sultan Salim hingga awal abad ke-18 adalah kendali atas perdagangan kopi global. Faktanya, militer Sultan Salim-lah yang pertama kali menemukan tanaman dengan buah beri merah cerah itu selama penyerbuannya ke Yaman.
Orang-orang Utsmani menemukan cara menyeduh buah kopi ini, dan dengan itu tercipta lembaga-lembaga yang dikhususkan hanya untuk minuman kopi: Kita (dan pemilik Starbucks Howard Schultz) mengucapkan terima kasih kepada Sultan Salim atas kedai kopi tersebut.
Di lain pihak, kebesaran nama para penguasa dan luasnya pengaruh Turki Utsmani mendorong pihak-pihak Kristen melakukan banyak ekspedisi laut untuk menghindari blokade Angkatan Laut Turki Utsmani di terusan Mesir dan Laut Merah. Jalur itu adalah jalur tercepat melalui laut menuju India dan China.
Ekspedisi itu akhirnya menemukan tanah-tanah asing dan jauh seperti Benua Amerika dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Pada tahun yang sama saat Salim I menaklukkan Mamluk, orang Spanyol menemukan kota pertama mereka di benua Amerika dan menamakannya sebagai El Gran Cairo.
Sebagian orang menghargai bahwa seorang khalifah Utsmani adalah orang pertama yang mengubah perdagangan menjadi geopolitik, memonopoli pasokan salah satu barang alam konsumsi massal dunia. Kekuatan Sultan Salim terbukti begitu besar sehingga pengaruhnya mencapai bahkan melampaui Eropa dan Timur Tengah, melintasi Atlantik hingga Amerika Utara. Pada 1517, dalam beberapa minggu Sultan Salim memobilisasi pasukan Utsmani untuk menaklukkan el Gran Cairo (Meksiko), ketika orang Eropa pertama mendarat di Meksiko.
Saat ombak besar mendorong mereka ke Semenanjung Yucatán, tiga kapal Spanyol yang berlayar dari Kuba terlihat di kejauhan sebuah kota Maya yang megah, lebih besar dari apa pun yang pernah mereka lihat. Kota ini sekarang menjadi Cape Catoche dekat Cancún. Namun, pada tahun 1517, orang Spanyol ini menamakannya El Gran Cairo, Cairo yang Agung.
Penaklukan dua Cairo tahun itu – satu Maya, satu Mamluk – menggambarkan betapa Sultan Salim menghantui imajinasi Eropa. Kota paling terkenal di Mesir terbukti menjadi batu ujian: Bahkan di sisi lain dunia, bagi orang Spanyol kota itu menyulap citra kota metropolis megah, misteri yang mengancam dan fantasi yang haus darah.
Selama berabad-abad, Kairo telah mengirimkan kapal untuk menyiksa pemukiman Spanyol di Afrika Utara dan Semenanjung Iberia. Itu telah menangkap dan memenjarakan orang-orang Kristen dan mengirim pesan-pesan yang mengancam ke ibu kota Eropa. Kairo mengendalikan Baitul Maqdis (Yerusalem), dan mencegah orang Eropa berdagang dengan India dan China. Semua kekuatan ini sekarang ada di tangan Sultan Salim.
Penaklukan kota Maya yang luas, meski jelas merupakan kemenangan besar bagi Spanyol, tidak dapat menandingi kekuatan pengaruh Muslim Sultan Salim. Jika ada, itu membuktikan kelemahan Eropa – bahwa bahkan di Karibia, orang Kristen masih dirasuki hantu Utsmani.
Orang-orang Utsmani tetap bertahan sebagai pemain sentral di panggung dunia dari pemerintahan Sultan Salim sampai kematian mereka dalam Perang Dunia I, setelah lebih dari enam abad berkuasa. Ketika kekuatan Eropa mulai melampaui kekuatan kekhalifahan pada abad ke-19, mereka juga menghapus Utsmaniyah dari sejarah bagaimana dunia kita muncul.
Orang-orang Eropa memproyeksikan kelemahan Utsmani di masa sekarang kembali ke masa lalu untuk menggambarkan kekuasaan mereka sendiri sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Melewati pandangan ini untuk melihat gema Kekhalifahan Utsmani di “Dunia Baru” dan di seluruh dunia membantu kita memahami keberadaan pengaruh Utsmani di mana-mana.
Hal ini telah membantu kita untuk mengenali apa yang dipahami orang Eropa selama berabad-abad: bahwa berkat Sultan Salim, orang-orang Utsmani memiliki lebih banyak kekuasaan, menguasai lebih banyak wilayah, memerintah lebih banyak orang dan bertahan lebih lama daripada hampir semua negara lain. Memahami sejarah ini membantu kita untuk melihat bagian integral, biasanya diabaikan atau ditolak, tempat Muslim di masa lalu kita bersama.
Meskipun Islam sering digambarkan sebagai ancaman di Amerika saat ini, berlawanan dengan apa yang kita terima dengan cepat sebagai “Barat”, sebenarnya Islam merupakan bagian integral dari sejarah dan budaya kita, kekuatan konstruktif di masa lalu kita yang terjalin dengan kaya. Amerika, Protestan, dan kopi semuanya memiliki sejarah Muslim. Bangsa kita – dan dunia – memang benar-benar sebuah pengaruh dari Utsmani.*
Alan Mikhail adalah profesor sejarah dan ketua departemen sejarah di Universitas Yale dan penulis buku baru God’s Shadow: Sultan Selim, His Ottoman Empire, and the Making of the Modern World. Artikel dimuat di laman washingtonpost.com

No comments: