Kisah Dzakhwan bin Kaisan Lepas dari Jebakan Rezim
Miftah H. Yusufpati
AMIR atau gubernur di Yaman, Muhammad bin Yusuf ats-Tsaqafi, ingin membalas perlakuan Thawus bin Kaisan yang keras seperti batu dengan segala cara. Ia mewarisi banyak sifat jahat saudaranya, Hajjaj bin Yusuf, namun tak sedikit pun kebaikan Hajjaj yang diambilnya.
Dia menyiapkan perbendaharaan hartanya lalu mengutus seorang kepercayaannya membawa satu pundi-pundi berisi 700 dinar emas kepada Dzakhwan bin Kaisan yang mendapat julukan Thawus (burung merak) itu.
“Berikan bingkisan ini kepada Thawus dan usahakan supaya dia menerimanya. Bila engkau berhasil, aku sediakan untukmu hadiah yang berharga,” ujar Muhammad bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Utusan itupun berangkat dengan membawa hadiah tersebut ke tempat kediaman Thawus di sebuah desa di dekat Shan’a yang disebut dengan al-Janad. Di rumah Thawus, setelah berbincang-bincang sejenak, utusan itu berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, ini ada nafkah dari amir untuk Anda.”
“Maaf, saya tidak memerlukan itu,” jawab Thawus menolak pundi-pundi itu.
Utusan itu mencoba merayu dengan segala cara namun dia tetap menolaknya, berdalih dengan segala argumen diapun tetap menampiknya.
Akhirnya tak ada jalan lain lagi utusan itu selain mencari kesempatan lengahnya. Secara diam-diam dia taruh pundi-pundi itu di salah satu sudut rumah Thawus. Setelah itu diapun kembali dan melapor kepada amir “Wahai amir, Thawus telah menerima pundi-pundi itu.”
Betapa senangnya amir mendengar berita itu, namun dia tak berkomentar sedikit pun.
Beberapa hari kemudian dia mengutus dua orang dan diikuti pula oleh utusan yang membawakan hadiah untuk Thawus tempo hari. Amir memerintahkan agar keduanya mengatakan kepada Thawus: “Utusan Thawus dahulu keliru menyerahkan harta itu kepada Anda. Sebenarnya harta itu untuk orang lain. Sekarang kami datang untuk menariknya kembali dan menyampaikannya kepada orang yang benar.”
Thawus menjawab, “Aku tidak menerima apa-apa dari amir, apanya yang harus aku kembalikan?”
Kedua pengawal itu bersikeras: “Anda telah menerimanya.”
Thawus menoleh kepada utusan gubernur dan bertanya, “Benarkah aku telah menerima sesuatu darimu?”
Utusan itu gemetar karena takut lalu menjawab: “Tidak, tetapi saya menaruh uang itu di lubang dinding tanpa sepengetahuan Anda.”
Thawus berkata, “Coba lihatlah di tempat tersebut!”
Kedua pengawal itu memeriksa tempat yang dimaksud dan ternyata mereka mendapatkan pundi-pundi berisi uang itu masih utuh seperti semula. Keduanya harus menyibak sarang laba-laba untuk mengambilnya lalu dikembalikanlah uang itu kepada gubernur.
Balasan
Alkisah, ketika masih berada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Thawus dipanggil oleh Hajjaj bin Yusuf. Dia menyambut Thawus dengan ramah dan dipersilahkan duduk di sisinya, kemudian dia bertanya tentang manasik haji yang belum diketahuinya juga tentang persoalan yang lain.
Tak berselang setelah berbincang-bincang tersebut, Hajjaj mendengar suara seseorang bertalbiah (membaca doa talbiah) di samping Baitullah dengan suara keras dan memiliki gema yang menggetarkan hati.
Hajjaj berkata, “Bawalah orang itu kemari!”
Orang itupun dibawa masuk kemudian ditanya, “Dari golongan manakah engkau?”
Dia menjawab, “Saya adalah satu di antara kaum muslimin.”
Hajjaj berkata, “Bukan itu yang aku tanyakan, saya bertanya dari negeri mana engkau berasal?”
Dia menjawab, “Saya penduduk Yaman.”
Hajjaj berkata, “Bagaimana keadaan gubernurku yang di sana?”
Dia menjawab, “Waktu saya pergi, beliau dalam keadaan gemuk, kuat, dan segar bugar.”
Hajjaj berkata, “Bukan itu yang aku maksud.”
Dia bertanya, “Lalu dalam hal apa?”
Hajjaj berkata, “Bagaimana perlakuannya terhadap kalian?”
Dia menjawab, “Waktu saya pergi, beliau adalah seorang yang zalim dan jahat, taat kepada makhluk dan membangkang terhadap sang Khaliq.”
Wajah Hajjaj merah padam karena malu mendengar perkataan orang tersebut. Lalu dia berkata, “Bagaimana engkau bisa mengatakan demikian sedangkan engkau tahu kedudukan dia di sisiku (yakni saudaranya)?”
Dia menjawab, “Apakah Anda mengira bahwa kedudukan dia di sisi Anda lebih mulia daripada kedudukan saya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala? Sedangkan saya bertamu di rumah-Nya sebagai haji, saya beriman kepada nabi-Nya, dan saya melaksanakan agama-Nya.”
Hajjaj bin Yusuf pun bungkam, tak mampu bicara apa-apa.
Kemudian orang itu beranjak dan pergi tanpa minta izin. Thawus bangun mengikutinya sambil bergumam, “Dia adalah orang yang shalih. Aku akan mengikutinya, sebelum dia lenyap di tengah kerumunan orang banyak…”
Thawus mendapatkan dia mendekati kain penutup Ka’bah dan menempelkan pipinya di dindingnya seraya berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dan di sisi-Mu-lah aku menyandarkan diri. Ya Allah berilah aku ketetapan hati atas kemurahan-Mu dan kerelaan atas jaminan-Mu yang lebih luas dari sikap-sikap kikir. Berilah aku kekayaan dari apa yang berada di tangan orang-orang kikir yang suka mengutamakan dirinya. Ya Allah aku meminta jalan keluar dari segala kesulitan dengan kebijaksanaan-Mu yang sejak dulu dan kelanggengan kebaikan-Mu, ya Rabb-ul Alamin.”
Sayang, akhirnya dia terbawa arus manusia dan lenyap dari pandangan Thawus. “Aku merasa yakin tak punya harapan lagi untuk bertemu dengannya,” ujar Thawus berkisah.
Namun, senja di hari Arafah (hari wukuf di Arafah), ia melihat orang itu yang tengah berbaur bersama orang-orang. Aku mendekat dan mendengar dia tengah berdoa, “Ya Allah jika Engkau tidak menerima hajiku dengan segala jerih payah dan kelelahanku, maka jangan pula Kau haramkan aku dari pahala atas musibahku dengan menelantarkan diriku…”
Kembali dia menghilang di antara kerumunan orang-orang dan kegelapan telah menghalangi pandangan Thawus terhadapnya. Setelah berputus asa untuk menemukan kembali, Thawus berdoa: “Ya Allah, terimalah dan kabulkanlah doanya dan juga doaku, penuhilah harapannya dan harapanku, kokohkanlah langkahnya dan langkahku di hari di mana banyak kaki akan tergelincir. Satukanlah kami di telaga Kautsar, Ya Akramal Akramin.”
(mhy)
No comments:
Post a Comment