Kisah Nasaruddin Hoja: Kunci Hilang di Bawah Lampu Jalan


Monumen Nasaruddin Hoja di Konya, Turki.

Achmad Charris Zubair, Mantan Dosen Filsafat UGM tinggal di Kotagede, Yogyakarta.

Pada satu malam, Nasaruddin Hoja terlihat sibuk mencari cari sesuatu di bawah lampu penerangan jalan di sudut kampung kota Antah Berantah.

Sampai seorang tetangganya penasaran dan bertanya:

"Dari tadi kuperhatikan dirimu sibuk mencari sesuatu disini. Apa yang kau cari wahai Nasaruddin?"

Nasaruddin menjawab:

"Kunci lemari pakaianku. Tadi jatuh dan tak bisa kutemukan lagi".

"Memang jatuhnya di sebelah mana?"

"Jatuhnya di rumahku"

"Dirumahmu? Lalu kenapa kau mencarinya di sini?"

"Rumahku gelap gulita, sedangkan di sini terang benderang. Kata Sang Guru Bijak yang selalu kuingat, bahwa mencari barang hilang di tempat terang lebih mudah daripada mencari barang hilang di tempat gelap."

                       *****

Nasaruddin Hoja secara teoretik normatif benar, logikanya "lurus", secara etis ia juga menunjukkan "ketaatan" pada Sang Guru Bijak. Tapi secara fakta dan evidensi objektif ia tidak akan pernah menyelesaikan masalah, ia tidak akan pernah menemukan kuncinya yang hilang.

Selintas Nasaruddin Hoja nampak konyol dan "bodoh". Tapi kisah itu sesungguhnya sedang menyindir kebanyakan manusia. Menyindir kita kita ini, bahkan yang hidup di masa milenial, masa puncak ilmu dan rasionalitas manusia.

Manusia seperti sedang jumawa ketika bicara fatwa, bicara ayat, bicara hal yang seolah logis normatif, bahkan suci dan sakral. Sampai berbuih buih dan bahkan sampai menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan dirinya.

Tapi ternyata hanya berhenti pada sepotong teks tidak sampai menggapai keutuhan konteks. Tak mampu melihat hal yang faktual dan aktual. Sibuk mencari pembenaran dan bukannya kebenaran.

Ijinkanlah saya yang lemah ini untuk mawas diri, apakah ternyata perilaku Nasaruddin Hoja itu adalah perilaku saya sendiri?

No comments: