Kisah Syaikh Abubakar, Jangggut Panjang, dan Nasihat Iblis kepada Nabi Musa


Miftah H. Yusufpati
Musyawarah Burung (1184-1187) karya Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim atau Attar dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi. Judul asli: Mantiqu't-Thair dan diterjemahan Hartojo Andangdjaja dari The Conference of the Birds (C. S. Nott). 
===

SEEKOR burung bertanya pada Hudhud, "Aku percaya bahwa aku telah mendapatkan sendiri segala kesempurnaan yang mungkin didapat, dan itu telah kudapatkan dengan berbagai laku pertarakan yang pedih. Karena di sini telah kudapatkan hasil yang kuinginkan, sulitlah bagiku untuk pergi ke tempat yang kau sebutkan itu. Pernahkah kau tahu orang meninggalkan harta kekayaan untuk pergi dengan susah payah mengelana melalui gunung-gunung, dalam rimba raya, dan melintasi tanah-tanah datar?" 
Hudhud menjawab, "O makhluk yang bagai setan, penuh kesombongan dan kebanggaan diri! Kau yang tenggelam dalam nafsu mementingkan diri! Kau yang begitu tak suka berbuat! Kau telah terbujuk oleh angan-anganmu dan kau kini jauh dari perkara-perkara ilahiat." 

"Tubuh nafsu telah mengalahkan jiwamu; setan telah mencuri otakmu. Kebanggaan telah menguasai dirimu. Bahaya yang kau kira telah kau dapatkan di Jalan Rohani hanyalah nyala yang mengerdip. Seleramu akan hal-hal yang luhur hanya khayali."

"Jangan biarkan dirimu terbujuk oleh gemerlap yang kaulihat. Selama tubuh nafsumu menentangmu, hati-hatilah. Kau harus melawan musuh ini, dengan pedang di tangan." 
"Bila cahaya palsu menampakkan dirinya dari tubuh nafsumu kau harus memandangnya sebagai sengatan kalajengking, untuk itu harus kau pergunakan penawar bisa."

"Janganlah putus asa karena kegelapan jalan yang akan kutunjukkan padamu dan karena cahaya yang akan kau lihat di sana tak akan membuat kau merasa menjadi sahabat surya." 

"Selama kau, o sayangku, terus berada dalam ketakaburan hidup, maka telaahmu pada kitab-kitab dan usahamu yang tak seberapa itu tak akan berharga sekeping obol pun. Hanya bila kau meninggalkan kebanggaan dan kesombongan ini, kau akan dapat meninggalkan hidup lahiriah tanpa sesal. Selama kau masih tetap pada kesombongan dan kebanggaan diri dan pada perkara-perkara kehidupan lahiriah, seratus panah kepedihan akan menusukmu dari segala arah." 

Syaikh Abubakar dari Nisyapur
Syaikh itu keluar pada suatu hari dari permukimannya beserta para pengikutnya, mengendarai khimarnya, sementara para pengikutnya mengiringinya dengan berjalan kaki.

Tiba-tiba khimar itu kentut keras sekali, dan mendengar itu syaikh pun berteriak dan mengoyak-koyak khirkanya. Para pengikutnya memandangnya dengan heran, dan salah seorang bertanya mengapa ia berbuat demikian? 

Kata syaikh itu, "Ketika aku menoleh dan melihat betapa banyak para pengikutku" aku pun berpikir dalam hati, Kini benar-benar aku sama dengan Bayazid. Hari ini aku diiringkan para pengikutku yang banyak dan paling tekun; maka kelak aku pasti akan berkendara dengan kemegahan dan kehormatan di padang mahsyar."

Tambahnya, "Pada saat itulah, ketika aku mengira yang demikian itu sudah tertakdir bagiku, maka khimarku kalian dengar mengeluarkan suara yang terasa tak sejalan. Dengan suara itu ia ingin mengatakan, 'Inilah jawaban yang diberikan seekor khimar kepada dia yang berlagak besar dan begitu suka menyombongkan diri!'

Itulah sebabnya api penyesalan begitu tiba-tiba melanda jiwaku dan sikapku pun berubah, dan kedudukan yang kuhayalkan hancur berkeping-keping."

O kau yang berubah di setiap saat, kau seperti Fir'aun sampai ke akar-akar rambutmu. Tetapi jika kau hancurkan "sang aku" dalam dirimu sehari saja, maka kegelapan yang meliputimu akan menjadi terang. Jangan ucapkan kata "aku." Kau akan terperosok ke dalam seratus kejahatan lantaran "aku-aku"-mu, dan kau akan selalu tergoda oleh setan.

Tuhan Bersabda Kepada Musa
Suatu hari Tuhan bersabda kepada Musa secara gaib, "Pergilah minta nasihat dari Setan." Maka Musa pun pergi menemui Iblis dan setelah sampai padanya, ia pun minta nasihat padanya. "Senantiasa ingatlah," kata Iblis, "akan kaidah sederhana ini: jangan bilang 'aku,' agar kau tak akan menjadi seperti aku."

Selama masih tinggal dalam dirimu sedikit rasa cinta diri sendiri, maka kau akan ikut juga dalam ketaksetiaan. Kemalasan ialah rintangan ke Jalan Ruhani; tetapi jika kau berhasil melintasi rintangan ini, maka sebentar saja seratus "aku" akan pecah kepalanya.

Semua pun melihat kesombongan dan kebanggaan diri yang ada padamu, kebencian, iri hati dan kemarahanmu, tetapi kau sendiri tak melihatnya. Ada sesudut dalam dirimu yang penuh dengan naga, dan karena lalai kau dikorbankan pada mereka; dan kau manjakan mereka serta kau pelihara mereka siang dan malam. Maka bila kau sadar akan keadaan batinmu, kenapa pula kau tinggal begitu tak peduli,

Darwis yang Punya Janggut Indah
Di masa Musa ada seorang darwis yang menghabiskan waktu siang dan malamnya dalam ibadat, namun tak menghayati rasa kerohanian. Ia punya janggut panjang yang indah, dan sering selagi berdoa, ia berhenti untuk menyisir janggut itu. Suatu hari, ketika melihat Musa ia pun mendapatkannya dan berkata, "O Pasya dari Tursina, kumohon padamu, bertanyalah pada Tuhan, mengapa aku tak mengalami kepuasan rohani maupun haru gembira."

Pada kesempatan berikutnya ketika Musa naik ke Tursina ia pun bicara pada Tuhan tentang darwis itu, dan Tuhan pun bersabda dengan nada tak berkenan, "Meskipun darwis itu telah mencari persatuan dengan aku, namun ia senantiasa memikirkan janggutnya yang panjang itu."

Ketika Musa turun, diceritakannya pada sang darwis bagaimana sabda Tuhan itu. Mendengar itu, darwis itu pun segera mencabuti janggutnya, sambil menangis sedih.

Jibril pun lalu datang mendapatkan Musa dan berkata, "Sampai sekarang pun ia masih memikirkan janggutnya. Tiada yang lain lagi dipikirkannya waktu berdoa, dan bahkan lebih lekat hatinya pada janggut itu sementara ia mencabutinya."

O kau yang merasa tak dipengaruhi lagi oleh janggutmu, kau tercebur di lautan penderitaan. Bila kau dapat memandang janggutmu itu dengan sikap tak terikat, kau akan berhak berlayar melintasi lautan ini. Tetapi bila kau tercebur ke dalamnya dengan janggutmu, kau akan merasa sulit untuk keluar.

Seorang Berjanggut Panjang
Seorang peminum, yang berjanggut panjang dan bagus, kebetulan jatuh ke dalam air yang dalam. Melihat ini, seorang yang lewat pun berseru, "Buanglah pundi-pundi itu dan kepalamu."

Orang yang tenggelam itu menjawab, "Ini bukan pundi-pundi, ini janggutku, dan bukan ini yang menghalangiku."

Kata orang yang lewat itu, "Bagaimanapun, buanglah itu, kalau kau tak mau tenggelam."

O kau yang seperti kambing, dan tak malu akan janggutmu, selama ada padamu tubuh nafsu dan setan yang akan menggulungmu, maka kebanggaan Fir'aun dan Haman akan menjadi bagian dari dirimu pula.

Palingkan dirimu dari dunia ini sebagaimana Musa berbuat demikian, maka kau pun akan dapat menangkap janggut Fir'aun dan menyekap dia kuat-kuat. Dia yang berjalan di jalan menuju kesempurnaan diri harus memandang hatinya hanya sebagai syisy kabab. Orang yang membawa ember penyiram tidak menunggu hujan turun.

(mhy)

No comments: