Konflik Khilafah: Kisah Suram Putra Ketiga Ali bin Abi Thalib


TATKALA Khilafah jatuh ke tangan Abdul Malik bin Marwan dari tangan Bani Umayah, perpecahan kembali pecah di tubuh kaum muslimin. Khalifah baru ini dibai’at oleh muslimin penduduk Syam. Namun penduduk Hijaz dan Irak lebih memilih berbai’at kepada Abdullah bin Zubair. 

Keduanya menyerukan kepada rakyatnya agar berbai’at kepadanya. Masing-masing mengaku dirinyalah yang lebih patut menjadi khalifah daripada lawannya. Sehingga kaum muslimin pecah lagi menjadi dua kelompok. 

Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya dalam “Mereka Adalah Para Tabi’in” menulis ketika itu, Abdullah bin Zubair meminta kepada Muhammad Al-Hanafiyah bin Ali bin Abu Thalib agar melakukan bai’at beserta segenap penduduk Hijaz.

Namun Muhammad mengetahui bahwa bai’at akan menjadikan dia terikat kepada yang dibaiat. Dia harus selalu membantunya, termasuk menghunus pedang terhadap siapa saja yang menentangnya. Padahal yang menentangnya adalah sesama muslimin yang memilih untuk berbaiat kepada pihak lain. 

Masih terngiang dalam ingatan Muhammad Al-Hanafiyah ketika peristiwa Shiffin. Bertahun-tahun telah dilalui, namun dia tidak mampu menepis suara yang lantang dan mengharukan itu.

Terngiang-ngiang suaranya, “Wahai saudara-saudara muslimin…ingat Allah…Allah…wahai saudara muslimin untuk siapa lagikah wanita dan anak-anak kita? Untuk siapa agama dan kehormatan ini? Siapakah nanti yang akan 
menghadapi Romawi dan golongan orang Dailam?” beliau benar-benar tak mampu melakukan hal itu. 
Tak Ingin Berbaiat
Beliau berkata kepada Abdullah bin Zubair, “Engkau tahu benar bahwa aku tidak ingin melakukan hal itu. Kedudukanku hanyalah seorang muslim. Bila seluruh muslimin telah bersepakat atas salah satu dari kalian, maka aku tidak keberatan untuk berbai’at kepada engkau maupun dia. Untuk sementara saya belum ingin berbai’at baik kepadamu maupun kepadanya.”

Namun Abdullah bin Zubair terus membujuknya, terkadang dengan halus dan sebentar dengan kasar. Dalam waktu yang tak terlalu lama banyak orang yang tergabung dengan Muhammad Al-Hanafiyah karena sependapat dengannya.

Mereka menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad, jumlah mereka mencapai tujuh ribu orang. Mereka lebih mengutamakan menjauhi fitnah dan ingin menjauhkan diri dari api neraka. Semakin bertambah pengikut Ibnu Al-Hanafiyah, makin marahlah Abdullah bin Zubair dan makin keras memaksa untuk berbai’at kepadanya.

Setelah merasa gagal menundukkan Bani Hasyim dan pengikutnya, Ibnu Zubair melarang mereka keluar dari Makkah dan mereka memerintahkan pengawasnya untuk menjaga mereka.

Ibnu Zubair berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian harus berbai’at atau kami akan membakar kalian.” Dia mengurung muslimin di rumah-rumah dan menata kayu-kayu bakar di sekelilingnya sampai sama tinggi dengan dinding-dinding rumah. Seandainya disulut sebatang kayu saja akan terbakarlah semuanya.

Dalam kondisi demikian, beberapa orang dari pengikut Ibnu Al-Hanafiyah berkata, “Izinkanlah kami untuk membunuh Ibnu Zubair dan membebaskan orang-orang dari tekanannya.”

Tetapi Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyah melarang mereka sembari berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah padahal kita menjauhkan diri darinya, lalu membunuh salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan putra-putranya?! Tidak. Demi Allah kita akan melakukan sesuatu yang dimurkai Allah dan rasul-Nya.

Mengungsi ke Syam
Berita tentang tekanan Abdullah bin Zubair terhadap Muhammad Al-Hanafiyah dan sahabat-sahabatnya sampai ke telinga Abdul Malik bin Marwan. Kondisi tersebut dianggapnya sebagai peluang bagus untuk menarik simpati mereka agar mau bergabung di pihaknya.

Dia mengirim surat melalui utusan yang seandainya dia mengirim surat kepada salah satu putranya pun tentu tidak lebih lembut dan halus daripada itu. Di antara isi surat itu adalah sebagai berikut:

“Telah sampai berita kepada kami bahwa Ibnu Zubair telah menekan Anda beserta pengikut-pengikut Anda dan tidak lagi menghargai hak-hak Anda. Oleh karena itu, negeri Syam terbuka bagi kalian semua. Kami menyambut kedatangan Anda dengan dada dan tangan terbuka. Anda boleh tinggal di bagian mana saja yang Anda kehendaki sebagai sesama keluarga dan tetangga yang terhormat. Dan Anda semua akan mendapati kami sebagai orang-orang yang tahu menjaga hak, tidak melupakan kebijaksanaan dan menghubungkan silaturrahmi dengan baik, insya Allah…”

Muhammad Al-Hanafiyah beserta pengikutnya berangkat menuju Syam. Mereka kemudian menetap di kota Ailah. Para penduduk di kota itu menyambut mereka dengan hangat dan menjadi tetangga mereka yang baik.

Mereka menyayangi dan menghormati Muhammad Al-Hanafiyah setelah melihat ketekunannya beribadah dan kezuhudannya terhadap duniawi. Dia senantiasa menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar. Menegakkan syiar Islam, mendamaikan segala pertentangan di antara mereka dan tidak membiarkan seorangpun menzhalimi orang lain.

Berita tentang keadaannya sampai ke telinga khalifah Abdul Malik. Beliau pun bingung dalam menentukan sikap. Dia mengumpulkan para pejabatnya untuk bermusyawarah, lalu mereka berkata, “Tidak layak Anda mengizinkan dia berada dalam kekuasaan Anda sedangkan dia sebagaimana Anda ketahui. Sebaiknya Anda tawarkan kepadanya untuk berbai’at kepada Anda atau kembali ke tempat asalnya.”

Keputusan diambil, Abdul Malik menulis surat kepada Muhammad Al-Hanafiyah sebagai berikut, “Anda menetap di daerah kami, sedangkan pertikaian masih berlangsung antara saya dan Abdullah bin Zubair. Anda adalah seorang yang terpandang di kalangan kaum muslimin. Oleh sebab itu saya memandang perlunya Anda berbai’at kepada saya, apabila Anda ingin tinggal di wilayah kekuasaan saya."

"Bila Anda berbai’at, kebetulan ada seratus kapal yang baru tiba dari Kulzam, semuanya saya serahkan kepada Anda. Lalu ada tambahan lagi seratus juta dirham dan semua kebutuhan Anda beserta sanak keluarga akan selalu kami cukupi. Tetapi apabila Anda menolak Anda segera keluar dari wilayah kekuasaan.”

Setelah menerima dan membaca surat tersebut, Muhammad Al-Hanafiyah menjawab:

“Dari Muhammad Al-Hanafiyah kepada Abdul Malik bin Marwan.

"Keselamatan semoga tercurah kepada Anda setelah bertahmid kepada Allah yang tiada Ilah yang yang haq selain Dia. Saya mengira Anda takut dan khawatir terhadap saya, sedangkan Anda sudah tahu sikap dan pendirian saya dalam persoalan ini. Demi Allah, seandainya seluruh ummat ini berkumpul kecuali satu kelompok dari satu desa saja, saya tetap menerimanya dan tidak akan memeranginya.”

“Saya telah datang ke Makkah kemudian Abdullah bin Zubair meminta agar saya berbai’at kepadanya. Ketika saya menolak, dia menganiaya saya. Kemudian Anda menulis surat kepada saya dan menawarkan untuk tinggal di daerah Syam. Saya memilih tinggal di suatu kota di tepian wilayah Anda karena biaya hidup lebih murah, lagi pula jauh dari wilayah kekuasaan Anda. Sekarang Anda menulis surat kepada saya disertai ancaman, maka kami memilih pergi dari Anda, insya Allah…”

Akhirnya, Muhammad Al-Hanafiyah bersama seluruh keluarga dan pengikutnya keluar dari Syam. Namun setiap kali hendak menetap di suatu tempat, mereka selalu diganggu dan diusir.

Belum cukup penderitaannya, Allah masih mengujinya dengan kesulitan lain yang lebih keras dan berat. Di antara pengikutnya, muncul orang-orang yang berhati cacat dan hilang akal sehatnya sehingga mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan pada diri Ali dan keturunannya rahasia-rahasia ilmu, tatanan agama dan pusaka-pusaka syari’at. Itu semua dikhususkan bagi keluarga Muhammad Al-Hanafiyah yang tak diketahui oleh orang lain.

Laki-laki yang berilmu dan cerdas ini paham tentang apa yang ada di balik kata-kata sesat tersebut, yang mungkin akan menyeret Islam dan kaum muslimin ke dalam bahaya besar. Beliau mengumpulkan orang-orang dan berbicara untuk menjernihkan masalah.

Setelah mengucapkan tahmid kepada Allah dan salawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Ada beberapa orang yang menganggap kami sekeluarga memiliki ilmu yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus bagi kami, yang tidak diketahui oleh orang lain. Maka kami tegaskan, demi Allah, Rasulullah tidak mewariskan kecuali yang ada di antara dua lauh (papan/cover)…” sambil menunjuk ke mushaf. “Barangsiapa menganggap kami membaca selain Kitabullah, maka dia berdusta.”

Ketika sebagian dari pengikutnya memberi salam, “Assalamu’alaika, wahai mahdi (pemberi petunjuk)”, beliau menjawab, “Benar, aku adalah pemberi petunjuk kepada kebaikan dan kalian insya Allah mendapatkan hidayah. Tetapi jika kalian memberi salam kepadaku, cukuplah menyebutkan namaku dan katakan, “Assalamu’alaika, wahai Muhammad.”

Ibnu Zubair Terbunuh
Tidak lama ketika rasa binggung menggelayuti pikiran Muhammad Al-Hanafiyah dan beberapa pengikutnya di tempat mereka tinggal, atas kehendak Allah, Hajjaj bin Yusuf membunuh Abdullah bin Zubair, kemudian semua orang berbai’at kepada Abdul Malik bin Marwan.

Maka tak ada pilihan lagi bagi Muhammad Al-Hanafiyah kecuali menulis surat kepada Abdul Malik:

“Kepada hamba Allah Abdul Malik bin Marwan, amirul mukminin, dari Muhammad bin Ali. Setelah mengikuti perkembangan, bahwa kekuasaan sudah kembali ke tangan Anda. Orang-orang sudah berbai’at melalu wali Anda di Hijaz. Saya kirimkan pernyataan ini kepada Anda. Wassalam.”

Sesampainya surat itu, Abdul Malik membacakan di hadapan sahabat-sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya beliau ingin mengganggu dan menimbulkan keonaran di antara muslimin, dia mampu melakukannya dan engkau tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh sebab itu tulislah jawaban untuknya agar berjanji dan bersumpah untuk menjaga ketentraman atas nama Allah dan Rasul-Nya agar tidak timbul kekacauan karena kekuatan dan banyaknya pengikut beliau.”

Maka, Abdul Malik bin Marwan pun menulis surat jawaban untuk Ibnu Al-Hanafiyah dan memerintahkan kepada walinya, Hajjaj bin Yusuf, agar senantiasa menghormati, menjaga kedudukannya dan berbuat baik kepada Muhammad.

Namun sayang, usia Muhammad Al-Hanafiyah tidak begitu panjang. Karena Allah telah memilihnya untuk kembali ke sisi-Nya dengan ridha dan penuh keridhaan.

Semoga Allah merahmati Muhammad Al-Hanafiyah yang tidak menginginkan perpecahan umat terjadi di muka bumi dan tidak pula gila jabatan dan kehormatan.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: