Patung dan Bimbingan Islam dalam Mengabadikan Orang Besar

Patung Salahuddin Al-Ayyubi di Kerak, Yordania. Foto/Ilustrasi/Wikipedia

Miftah H. Yusufpati

ISLAM samasekali tidak suka berlebih-lebihan dalam menghargai seseorang, betapapun tingginya kedudukan orang tersebut, baik mereka yang masih hidup ataupun yang sudah mati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

”Janganlah kaliah berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Nabi Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah, ’Hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari no. 3445).

Maksud berlebih-lebihan dalam memuji adalah tidak menyembah Nabi uhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam ‘alaihis salaam sampai terjerumus kepada kesyirikan. Rasulullah tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat serta tidak pula mengetahui hal yang ghaib. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

”Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik (mendatangkan) manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak mudharat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al A’raaf [7]: 188).



Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk mengatakan, “Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya.” “Hamba Allah” maksudnya, bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap beliau, karena beliau adalah hamba dan bukan Rabb (Tuhan). “Rasul-Nya” maksudnya, bahwa beliau adalah hamba yang paling mulia yang Allah Ta’ala pilih sebagai utusannya dan tidak boleh kita dustakan.

Pernyataan Rasulullah ini saat mereka bermaksud akan berdiri apabila melihat Nabi, sebagai suatu penghormatan kepadanya dan untuk mengagungkan kedudukannya.

Cara semacam itu dilarang oleh Nabi dengan sabdanya: "Jangan kamu berdiri seperti orang-orang ajam (selain Arab) yang berdiri untuk menghormat satu sama lain." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)

Beliau pun memberikan suatu peringatan kepada umatnya, sikap yang berlebih-lebihan terhadap kedudukan Nabi sesudah beliau mati, maka bersabdalah Nabi sebagai berikut: "Jangan kamu menjadikan kuburku ini sebagai tempat hariraya." (Riwayat Abu Daud)

Dalam sebuah hadis juga dikatakan,

لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ» ، لَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ – أَوْ خُشِيَ – أَنَّ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا

”Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata), ‘Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya akan dijadikan masjid’” (HR. Bukhari no. 1390, 4441 dan Muslim no. 529).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat,

ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك

”Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kubur nabi-nabi dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai masjid (tempat ibadah). Tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu dari perbuatan itu.” [HR. Ibnu Abi Syaibah. Syaikh Albani berkata,”Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim” (Tahdziirus Saajid, hal. 22).

Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah karena sangat mengkhawatirkan kuburnya akan dijadikan sebagai sesembahan selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللهم لا تجعل قبري وثنا لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

”Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala (yang disembah). Allah melaknat orang-orang yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah” (HR. Ahmad no. 7358. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Tahdziirus Saajid, hal. 25).

Ada beberapa orang datang kepada Nabi SAW, mereka itu memanggil Nabi dengan kata-katanya: "Hai orang baik kami dan anak orang baik kami, hai tuan kami dan anak tuan kami."

Mendengar panggilan seperti itu, Nabi kemudian menegurnya dengan sabdanya sebagai berikut: "Hai manusia! Ucapkanlah seperti ucapanmu biasa atau hampir seperti ucapanmu yang biasa itu, jangan kamu dapat diperdayakan oleh syaitan. Saya adalah Muhammad, hamba Allah dan pesuruhNya. Saya tidak suka kamu mengangkat aku lebih dari kedudukanku yang telah Allah tempatkan aku." (Riwayat Nasa'i)

Diangkat Seperti Berhala
Syaikh Yusuf Qardhawi dalam Halal dan Haram dalam Islam mengingatkkan agama ini (baca Islam) pendiriannya dalam masalah menghormat orang, tidak suka seseorang itu diangkat-angkat seperti berhala yang didirikan dengan biaya beribu-ribu supaya orang-orang memberikan penghormatan kepadanya.

Banyak sekali material yang dimasukkan oleh penganjur-penganjur kebesaran dan jurukunci tempat-tempat bersejarah melalui pintu orang-orang atau pengikut dan ekornya yang telah mampu mendirikan berhala ini. Dengan begitu, maka pada hakikatnya mereka ini telah menyesatkan rakyat dengan menggunakan orang-orang besar yang jujur itu.

Keabadian hakiki yang dikenal di kalangan umat Islam hanyalah Allah yang mengetahui segala yang rahasia dan tersembunyi, yang tidak sesat dan tidak lupa. Sedang kebanyakan para pembesar yang namanya diabadikan di sisi Allah adalah orang-orang yang tidak begitu dikenal oleh manusia. Hal ini justru karena Allah suka kepada orang-orang yang baik, takwa dan tidak perlu menampak-nampakkan kepada orang lain. Mereka ini apabila datang tidak dikenal, dan apabila pergi tidak dicari. 
Menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, sekalipun keabadian itu sangat perlu bagi manusia, tetapi tidak mesti dengan didirikannya patung untuk orang-orang besar yang perlu diabadikan itu. Cara untuk mengabadikan yang dibenarkan oleh Islam ialah mengabadikan mereka itu ke dalam hati dan lisan, yaitu dengan menyebut kesuksesan perjuangan mereka dan peninggalan-peninggalan yang baik-baik yang ditinggalkan untuk generasi sesudah mereka. Dengan demikian mereka itu akan selalu menjadi sebutan orang-orang belakangan.

Rasulullah SAW sendiri dan begitu juga para khalifah dan pemuka-pemuka Islam lainnya, tidak ada yang diabadikan dengan berbentuk materi dan patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat. 

Keabadian mereka itu semata-mata adalah karena sifat-sifat baiknya (manaqibnya) yang diceriterakan oleh orang-orang dulu (salaf) kepada orang-orang belakangan (khalaf) dan yang diceriterakan oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya. Sifat beliau itu tertanam dalam hati, selalu disebut dalam lisan, selalu mengumandang di majlis dan klub-klub serta memenuhi hati, walaupun tanpa diwujudkan dengan patung dan gambar. 
(mhy)

No comments: