Penyebab Mereka Tertipu Padahal Rajin Salat Dhuha dan Tahajud
Miftah H. Yusufpati
IMAM al-Ghazali dalam ensiklopedianya, al-Ihya' 'Ulum al-Din memberikan perhatian besar kepadafiqh prioritas dan mengkritik cara hidup masyarakat Muslim yang berlebih-lebihan. Begitu juga dalam bukunya, Dzamm al-Ghurur, yang merupakan bagian kesepuluh dari al Muhlikat.
Al-Ghazali menyebut berbagai kelompok manusia yang tertipu tetapi mereka tidak menyadarinya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, ahli ibadah dan amalan, orang-orang sufi, orang-orang kaya dan, juga orang-orang awam.
Dia menyebutkan ketertipuan orang-orang dari masing-masing kelompok, dan bagaimana mereka tertipu oleh hawa nafsu mereka, atau bagaimana setan-setan mereka memperindah perbuatan buruk mereka, sehingga mereka melihatnya sebagai perbuatan yang baik.Setan telah memberikan sifat dan gambaran yang baru, yang harus mereka ikuti.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawy menyebutkan dua contoh kritikan Al-Ghazali yang dianggapnya mendalam dan arif. Contoh pertama ialah kelompok orang-orang beragama yang tertipu, di antara para ahli ibadah dan amal perbuatan.
Al-Ghazali berkata, "di antara mereka adalah kelompok orang-orang yang meremehkan perkara-perkara fardhu dan menyibukkan diri dengan masalah fadhail dan nawafil. Bahkan mungkin sekali mereka memperdalam perkara-perkara fadhail sehingga mereka berani melakukan permusuhan dan tindakan yang melampaui batas."
"Seperti orang yang dikalahkan oleh keraguan dalam berwudhu sehingga dia sangat berlebihan dalam melakukannya, dan tidak puas dengan air yang dianggap suci menurut fatwa syari'ah. Dia menilai hal-hal yang jauh dari najis menjadi dekat. Tetapi apabila dia memakan makanan yang halal dia menilai hal-hal yang dekat kepada haram menjadi jauh. Dan bahkan dia memakan makanan yang betul-betul haram."
Ada lagi kelompok yang sangat tamak untuk melaksanakan perkara-perkara yang hukumnya sunnah, tetapi tidak menghiraukan kepada perkara-perkara yang hukumnya fardhu.
"Anda dapat melihat orang yang termasuk di dalam kelompok ini begitu gembira bila dapat melaksanakan salat Dhuha, salat malam, dan perkara-perkara sunnah lainnya, tetapi dia tidak pernah merasakan nikmatnya perkara fardhu, serta tidak bersemangat untuk segera melaksanakan perkara ini di awal waktunya," tutur Al-Qardawi dalam Fiqh Prioritas.
Dia lupa terhadap sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Tuhannya, "Tidak ada sesuatu yang dapat dipergunakan oleh seseorang mendekatkan diri kepada-Ku seperti apa yang Saya fardhukan kepada mereka." (Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadis Abu Hurairah r.a. dengan lafal, "Tidak ada sesuatu yang dipergunakan oleh hamba-ku kepada diri-ku")
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyatakan mengabaikan urutan prioritas pada perkara-perkara yang baik adalah termasuk keburukan.
Bahkan, telah ditetapkan adanya dua macam fardhu dalam kehidupan manusia. Pertama, yang terluput, dan kedua tidak terluput. Atau adanya dua keutamaan. Pertama, ialah kategori fardhu yang sempit waktunya, dan kedua ialah kategori fardhu yang luas waktunya. Apabila dia tidak menjaga urutan prioritas tersebut, maka dia akan tertipu dan sia-sia.
Contoh-contoh yang lainnya sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya; karena sesungguhnya kemaksiatan dan ketaatan merupakan dua hal yang sangat jelas.
Hanya saja masalah yang cukup rumit ialah mendahulukan sebagian ketaatan atas sebagian yang lain. Seperti mendahulukan hal-hal yang fardhu atas hal-hal yang sunnah; mendahulukan fardhu ain atas fardhu kifayah; mendahulukan fardhu kifayah yang tidak ada orang yang
mengerjakannya atas fardhu kifayah yang sudah ada orang yang mengerjakannya; mendahulukan fardhu ain yang paling penting atas hal-hal yang kurang penting; dan mendahulukan urusan yang sudah mendesak atas urusan yang masih longgar waklunya.
Hal ini adalah seperti mendahulukan kepentingan ibu atas kepentingan ayah; karena sesungguhnya ketika Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat, "Kepada Siapakah aku harus berbuat baik wahai Rasulullah?"
Rasul menjawab, "Ibumu."
Orang itu bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa?"
Rasul menjawab, "Ibumu."
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Ibumu."
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Ayahmu."
Dia bertanya lagi, "Kemudian kepada siapa lagi?"
Rasul menjawab, "Kemudian kepada yang lebih dekat lagi dan kepada yang lebih dekat lagi."
Oleh sebab itu, kita mesti memulai menjalin tali silaturahmi dengan kerabat yang paling dekat. Dan jika ada kesamaan kedekatan mereka, maka kepada yang lebih perlu, jika masih sama lagi, maka kita harus memilih yang lebih bertaqwa dan lebih wara'.
Begitu pula orang yang harta bendanya tidak cukup untuk memberikan nafkah kepada kedua orangtua dan ibadah haji, maka barangkali dia dapat melaksanakan ibadah haji tetapi dia tertipu.
Seharusnya dia mendahulukan hak kedua orangtuanya daripada melakukan ibadah haji. Dan inilah yang disebut dengan melakukan fardhu yang lebih penting atas fardhu yang lainnya.
Contoh lainnya sangat banyak, misalnya apabila seseorang membuat janji, dan telah masuk waktu salat Jumat, kemudian salat Jumatnya tertinggal, maka kesibukan untuk menepati janji "ketika itu" dianggap sebagai kemaksiatan, walaupun ini merupakan salah satu bentuk ketaatan dari dirinya.
Begitu pula seseorang yang pakaiannya terkena najis, kemudian dia marah kepada kedua orangtuanya dan keluarganya karena najis tersebut. Maka sesungguhnya najis itu perlu dihindari dan menyakiti hati kedua orangtua juga harus dihindari. Menghindarkan diri dari menyakiti hati orangtua adalah lebih penting daripada menghindarkan najis seperti itu.
Contoh-contoh benturan antara larangan dan ketaatan sangat banyak. Orang yang tidak menjaga urutan prioritas dalam semua persoalan di atas, maka ia akan tertipu. Ketertipuan ini merupakan masalah yang sangat pelik, karena sesungguhnya orang yang tertipu itu berada di dalam ketaatan, hanya saja dia kurang waspada terhadap ketaatan yang dapat menjelma menjadi kemaksiatan, Karena ia meninggalkan ketaatan yang wajib dan lebih penting." (Bersambung)
(mhy)
No comments:
Post a Comment