Suara Ketakutan Barat atas Kembalinya ‘Khilafah Utsmaniyah’ di Turki

Menciptakan kembali program politik yang mirip dengan Sultan Salim dinilai Barat sebagai hal berbahaya bagi merekaSuara Ketakutan Barat atas Kembalinya ‘Khilafah Utsmaniyah’ di Turki PADA akhir Agustus, presiden Turki Recep Tayyip Erdogan merayakan Tahun Baru Islam Hijriah dengan penuh percaya diri. Ia baru saja mengembalikan Hagia Sophia (Ayasofya) menjadi masjid, juga mengembalikan bekas gereja Bizantium lain, gereja Chora, salah satu struktur Bizantium tertua di Istanbul.
Satu hari kemudian dia mengumumkan penemuan penyimpanan gas alam terbesar yang pernah ada di Laut Hitam. Ini menyusul penemuan ladang gas alam baru-baru ini di Mediterania timur.
Kedua wilayah ini merupakan zona persaingan internasional yang sengit di antara kekuatan-kekuatan di sekitar laut tersebut. Belakangan pada pekan itu dia menyambut delegasi Hamas ke Ankara, di mana dia menyatakan dukungan untuk Palestina setelah pengumuman baru-baru ini tentang kesepakatan antara ‘Israel’ dan UEA.
Semua gerakan ini memproyeksikan visi Erdogan tentang kekuatan Islami ke dunia. Membela Islam di dalam negeri berjalan seiring dengan mengamankan sumber daya alam dan mengimplementasikan kekuatan Turki di luar negeri.
Banyak yang telah menulis tentang upaya Erdogan untuk “membangkitkan” Kekhalifahan Utsmaniyah atau mengikuti jejak khalifah. Untuk memahami agenda dan cakralawa politik Erdogan, kita harus spesifik tentang khalifah Utsmaniyah mana yang ingin diikuti Erdogan. Itu adalah khalifah kesembilan Utsmaniyah, Sultan Salim I.
Sultan Salim wafat 500 tahun lalu pada tahun 1520. Selama masa hidupnya, Kekhalifahan Utsmaniyah tumbuh dari kekuatan regional kuat menjadi kekuatan global yang sangat besar. Bagi Erdogan, khalifah dari setengah milenium lalu ini melayani kebutuhan kontemporernya.
Erdogan meresmikan Hagia Sophia
Sultan Salim dalam banyak hal berfungsi sebagai Andrew Jackson dari Erdogan, sosok dari masa lalu yang digunakan secara simbolik di masa kini. Salim menawarkan contoh bagi Turki untuk menjadi kekuatan politik dan ekonomi global, dengan pengaruh dari Washington hingga Beijing, menghancurkan penantang asing maupun domestik.
Dia membantu Erdogan juga untuk membuat kasusnya bagi Islam sebagai sumber daya kekuatan budaya dan politik, komponen penting dari kejayaan masa lalu Utsmaniyah, yang ingin dia tiru di Turki kontemporer melawan sekularisme elit dominan yang telah berkuasa sejak didirikan.
Barat harus waspada terhadap visi eksklusif Salim yang dianut Erdogan tentang kekuatan politik Turki. Ini mewakili contoh sejarah politik orang kuat yang dapat mengarah pada perang regional dan persaingan sumber daya ekonomi global melawan Barat.
Selain upayanya dalam persaingan cadangan gas alam di sekitar Turki, sekarang ini berbentuk dukungan militer Erdogan kepada pihak-pihak Islam di Libya, Suriah, dan Yaman. Erdogan memupuk religiusitas Sunni untuk memposisikan Islam sebagai pusat agenda domestik Turki, dengan pengubahan gereja sebagai simbol terbaru yang paling kuat dari ini.
Erdogan merepresentasikan logika politik persaingan zero-sum yang mempertemukan Turki dengan Arab Saudi dan Iran untuk menguasai wilayah tersebut dan atas klaim kepemimpinan Islam global. Erdogan menyukai Salim karena dia memungkinkan kekuatan politik global Turki.
Dari 1517 hingga akhir Perang Dunia I, Kekhalifahan Utsmaniyah mempertahankan bentuk geografis yang dimenangkan Sultan Salim, mendominasi Timur Tengah dan Mediterania timur. Pada 1517, Utsmaniyah mengalahkan saingan utama mereka di wilayah tersebut, Kekhalifahan Mamluk yang berbasis di Kairo, merebut semua wilayahnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini melipatgandakan wilayah kekhalifahan.
Ledakan Kekhalifahan Utsmaniyah ke Timur Tengah ini mengubahnya menjadi kekuatan militer dan politik terkemuka di kawasan itu dan salah satu negara terbesar di dunia. Utsmaniyah menguasai seluruh bagian timur Mediterania dan dengan demikian mendominasi rute perdagangan terpenting dunia melalui darat antara Eropa dan Asia dan melalui laut melalui Teluk Persia dan Laut Merah.
Republik Turki mewarisi sebagian besar kekuatan itu setelah keruntuhan kekhalifahan dan kebangkitan republik pada tahun 1923.
Sementara setiap penguasa Turki sebelumnya telah menjauhkan diri dari warisan Kekhalifahan Utsmaniyah, dan Islam, untuk mencoba menampilkan wajah yang lebih “barat”, “sekuler,” dan “modern” untuk republik, Erdogan adalah orang pertama yang secara aktif menganut visi masa lalu Utsmaniyah dan warisan kekhalifahan Islam. Di sini juga Salim membuktikan kunci citra Erdogan tentang pemerintahannya.
Kemenangan Utsmaniyah atas Mamluk menjadikan Kekhalifahan Utsmaniyah negara mayoritas Muslim untuk pertama kalinya dalam sejarahnya, setelah lebih dari dua ratus tahun menjadi negara yang sebagian besar penduduknya adalah Ortodoks Yunani. Dengan kemenangan ini, Sultan Salim menjadi khalifah Utsmaniyah pertama yang memerintah Makkah dan Madinah –dua dari tiga kota paling suci umat Islam– sehingga mendapatkan gelar khalifah dan memperkuat kredensial Islam global kekaisaran.
Jika Sultan Salim adalah orang Utsmaniyah pertama yang menjadi sultan dan khalifah, Erdogan adalah pemimpin republik pertama yang mengaku memiliki kedua gelar tersebut. Seperti penempatan simbol Andrew Jackson yang disengaja oleh Presiden Donald Trump — secara mencolok menampilkan potretnya di Gedung Oval dan mempertahankan patungnya — Erdogan telah mengkampanyekan secara publik dan khususnya dalam politik simbolis Sultan Salim di Turki.
Tindakannya yang paling mencolok adalah memberi nama jembatan ketiga yang baru dibangun di atas Selat Bosphorus yang terkenal dengan nama Salim. Erdogan juga menghabiskan sumber daya yang sangat besar di makam Sultan Salim dan tugu peringatan lainnya untuk pemerintahannya.
Setelah memenangkan referendum konstitusi tahun 2017 yang memperluas kekuasaannya, Erdogan tampil untuk pertama kalinya di depan umum di makam Sultan Salim. Dipentaskan sebagai semacam ziarah, di sana Erdogan mengembalikan kaftan dan surbannya yang telah dicuri bertahun-tahun sebelumnya kepada penguasa yang telah lama meninggal itu.
Tindakan pertama setelah memenangkan referendum yang memberinya kekuatan hampir tak terbatas menjelaskan siapa panutan Erdogan. Erdogan dan rekan-rekan partai Islamnya secara teratur menggambarkan diri mereka sebagai “cucu” Utsmaniyah.
Dalam silsilah yang sangat tajam ini, Erdogan dengan sengaja melompati satu generasi — generasi bapak republik Turki sejak 1923 — untuk melompat kembali ke masa ketika Utsmaniyah menguasai dunia dengan politik Sunni di Turki, ke zaman Sultan Salim ketika penaklukan mengarahkan pada kekayaan dan kekuasaan teritorial.
Menciptakan kembali program politik yang mirip dengan Sultan Salim adalah prospek yang berbahaya bagi Barat. Pelajaran universal di sini adalah bahwa seruan untuk kembali ke kebesaran yang dirasakan, baik di Turki atau di Amerika Serikat, secara selektif merangkul tokoh sejarah yang agung dan memperbaiki sejarah mereka.*
Mikhail, profesor Sejarah dan Ketua Departemen Sejarah di Universitas Yale. Suara kecemasan ini ditulis di laman TIME dengan judul asli ‘Why Recep Tayyip Erdogan’s Love Affair with the Ottoman Empire Should Worry The World’

No comments: