Takeo Fukada: Kepergian Natsir Terasa Lebih Dahsyat dari Bom Hiroshima

Mohammad Natsir
Dalam suratnya tertanggal 8 Februari 1993, yang ditujukan kepada keluarga besar Mohammad Natsir, Perdana Menteri Jepang menulis, bahwa berita wafatnya Mohammad Natsir, terasa lebih dahsyat dari bom atom Hiroshima

 Adian Husaini

MOHAMMAD Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta dalam usia 85 tahun. Salah satu ucapan belasungkawa yang menarik datang dari mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda.  Dalam suratnya tertanggal 8 Februari 1993, yang ditujukan kepada keluarga besar Mohammad Natsir, Takeo Fukuda menulis, bahwa berita wafatnya Mohammad Natsir, terasa lebih dahsyat dari bom atom Hiroshima.

Berikut ini isi surat Takeo Fukuda, yang juga pernah menjadi Menteri Keuangan Jepang:

“Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar dengan meninggal

dunianya Dr. Mohammad Natsir. Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia Islam. Peranan beliau masih sangat diperlukan dalam mengkoordinasikan dunia yang stabil.   

Saya banyak belajar dari beliau ketika beliau berkunjung ke Jepang di saat saya menjabat Menteri Keuangan. Beliaulah yang meyakinkan kami di Jepang tentang perjuangan masa depan pemerintah Orde Baru di Indonesia yang bersih dan sejahtera, bersamaan dengan cita-cita beliau untuk menciptakan dunia Islam yang stabil, adil, sejahtera dengan kerja sama Jepang.

Kini beliau sudah tiada. Walaupun keberadaan beliau masih sangat kita perlukan, tetapi Tuhan telah mengambil kembali beliau untuk beristirahat.

Dengan penuh kesedihan izinkan saya atas nama kawan-kawan beliau di Jepang menyampaikan kata belasungkawa atas kepergian teman kami, pemimpin dunia yang disegani, Doktor Mohammad Natsir.

Kami yakin kepergian beliau dengan ketenangan karena telah banyak murid-murid beliau yang setia diharapkan meneruskan perjuangan suci beliau.”

(Surat Takeo Fukuda dikutip dari buku Gagasan dan Gerak Dakwah Natsir, karya H. Mas’oed Abidin (Yogyakarta: Gre Publishing, 2012).

*****

Itulah salah satu sisi kehidupan Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam dan juga negarawan teladan yang pada tahun 2008 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pemaparan sosok keteladanan Natsir sebagai negarawan adalah salah satu materi yang disampaikan dalam Kursus Kader Negarawan Muda Indonesia (KKNMI) yang diselenggarakan oleh PARIDA (Perhimpunan Insan Beradab).

Kursus itu diikuti oleh sekitar 20 orang yang rata-rata berumur 20-an tahun. Ada peserta yang masih mahasiswa S-1 sampai doktor ekonomi politik lulusan salah satu universitas di Inggris. Setiap malam, selama 15 hari,  para peserta KKNMI itu mengikuti kuliah melalui Zoom.

Materi tentang sosok dan perjuangan Mohammad Natsir disampaikan oleh Luqman Hakim, seorang penulis biografi Mohammad Natsir yang bisa dikatakan salah satu kader langsung Mohammad Natsir. Banyak kisah-kisah menarik tentang Mohammad Natsir yang diceritakan Luqman Hakim.

Misalnya, kisah tentang kesabaran Pak Natsir ketika menerima telepon orang yang salah sambung. Luqman mengaku melihat dan mendengar sendiri, saat Natsir dengan sabar melayani orang yang salah sambung. Bahkan, ia membantu orang tersebut dengan memberikan nomor telepon orang yang akan dihubunginya. “Saya pun mungkin tidak akan bersikap seperti itu, kalau menerima telepon orang yang salah sambung,” kata Luqman.

Salah satu kehebatan Natsir sebagai negarawan adalah kemampuannya dalam melobi negara-negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS), sehingga mereka akhirnya berhasil disatukan kembali ke dalam NKRI. Adalah menarik sikap Natsir terhadap DI/TII dan Kartosuwiryo. Meskipun Natsir tidak setuju dan berusaha menghentikan Proklamasi DI/TII, tetapi Natsir akhirnya membantu pendidikan salah satu anak Kartosuwiryo dan juga anak orang terdekatnya.

Surat Takeo Fukuda itu juga menunjukkan kenegarawanan seorang Natsir. Pada awal Orde Baru, Natsir dan keluarga besar Masyumi baru saja dikecewakan oleh Rezim Orde Baru. Bukan hanya karena Rezim Orde Baru menolak rehabilitasi Partai Masyumi, tetapi kebijakan Orde Baru ketika itu sangat represif terhadap aspirasi politik Islam. Tetapi, Natsir lebih mementingkan nasib rakyat Indonesia, sehingga bersedia membantu pemerintah untuk membuka hubungan baik dengan Jepang.

Program KKNMI memang langkah awal PARIDA dalam membangun SDM anak-anak muda muslim Indonesia, sehingga lebih mengenal sejarah dan persoalan bangsa Indonesia. Selama 15 hari itu mereka mendapat kuliah antara lain tentang: (1) Berislam dan Berindonesia secara Adil, (2) Sejarah Dakwah Walisongo  (3) Sejarah dan Dinamika Politik Islam di Indonesia (4) Budaya Politik di Indonesia (5) Komunikasi Politik (6) Pensucian Jiwa (Tazkiyyatun Nafs) (7) Pemikiran Politik Imam al-Ghazali (8) Pemikiran Kenegaraan KH Hasyim Asy’ari  (9) Strategi Pembangunan Sains (10) Kebijakan Pembinaan Perempuan yang Beradab (11) Sejarah Perjuangan Umat Islam di Indonesia (12) Strategi dan Kebijakan Pendidikan Nasional (13) Teknik Menulis Populer, dan lain-lain.

Para dosen yang mengisi kuliah dalam KKNMI adalah: Dr. Nirwan Syafrin (Presiden PARIDA), Dr. Tiar Anwar Bahtiar, Dr. Adian Husaini, Dr. Muhammad Isa Anshari, Dr. Susiyanto, Luqman Hakim, KH KHolili Hasib MA, Arif Wibowo MPI, Ust Farhat Umar MSc, Dr. Dinar D. Kania, Dr. Imam Prihadiyoko, dan Dr. Budi Handrianto.

Dengan mengenal sejarah dan pemikiran para tokoh dan pejuang Islam di Indonesia, diharapkan anak-anak muda muslim Indonesia tidak salah paham dan salah langkah dalam memahami dan menyikapi perkembangan sosial-politik di Indonesia. Mereka adalah kader-kader umat yang mau tidak mau akan mewarisi perjuangan para ulama dalam mewujudkan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin di Indonesia. (Depok, 2 September 2020).*

Direktur At-Taqwa College Depok

No comments: