Belajar dari Baiat Aqabah
Laki-laki yang ditunggu tersebut tak lain adalah Muhammad ﷺ, manusia pilihan yang telah diangkat oleh Allah Ta’ala sebagai Rasul. Tak lama kemudian, Muhammad ﷺ tiba bersama pamannya, Abbas ibn Abdul Muthalib.
Lalu, sebagaimana ditulis oleh Dr Mahdi Rizqullah Ahmad dalam buku Biografi Rasulullah Sebuah Studi Analitis Berdasaarkan Sumber-sumber Otentik, terjadilah dialog antara Rasulullah ﷺ dan penduduk Madinah.
“Aku akan meminta kalian berbaiat untuk melindungiku seperti kalian melindungi isteri dan anak-anak kalian,” kata Rasulullah ﷺ sebagaimana diriwayatkan oleh Ahamd dan Jabir.
Barra ibn Ma’rur, salah seorang di antara penduduk Madinah, dengan cepat menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai seorang Nabi, kami sungguh-sungguh akan melindungimu sebagaimana kami melindungi anak-anak dan isteri-isteri kami. Wahai Rasulullah, baiatlah kami! Demi Allah, kami adalah orang-orang yang akrab dan terbiasa dengan peperangan dan pertempuran dari generasi ke generasi.”
Namun, sebelum Rasulullah ﷺ membaiat mereka, tiba-tiba Abbas ibn Ubaddah ibn Nadhlah, salah seorang warga Madinah yang tahun sebelumnya telah masuk Islam, mengingatkan kembali kepada kaumnya tentang hakikat dari baiat agar mereka benar-benar yakin dengan baiat tersebut. Ia tak mau ada dalih lain selain mencari keridhoan Allah Ta’ala dalam baiat ini.
“Wahai kaumku,” kata Abbas, “Tahukah kalian, atas dasar apakah kalian akan melakukan baiat terhadap orang ini (Rasulullah)? Ketahuilah sesungguhnya kalian akan berbaiat untuk siap memerangi orang-orang musyrik yang berkulit merah maupun yang berkulit hitam. Maka, bila kalian masih memandang terampasnya harta kalian sebagai musibah dan gugurnya para pembesar kalian sebagai petaka, urungkanlah baiat kalian. Sebab, demi Allah, bila kalian melakukannya maka hal itu akan menjadi ejekan di dunia dan di akhirat.”
“Namun,” kata Abbas lagi, “Apabila kalian yakin akan mampu memenuhi janji kalian kepadanya untuk siap sedia mengorbankan harta kalian dan kehilangan para pembesar kalian, maka lakukanlah (baiat itu). Karena, demi Allah, tindakan itu akan memberikan kebaikan kepada kalian di dunia dan di akhirat.”
Lalu, dengan serta merta masyarakat Madiah yang hadir di Aqabah itu menjawab, “Kami siap untuk kehilangan harta benda kami dan juga kehilangan para pemimpin kami. Lantas, balasan apa yang akan kami dapatkan dari semua itu, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab singkat, “Surga!”
Inilah iman yang melahirkan keikhlasan untuk berkorban. Orang-orang Anshar yang berbaiat kepada Rasulullah ﷺ tersebut menyadari sepenuhnya bahwa perlindungan mereka kepada Rasulullah ﷺ akan mengantarkan mereka kepada medan pertempuran. Itu berarti, baiat mereka berkonsekuensi bahwa mereka harus siap berperang melawan musuh-musuh Islam, meskipun harta dan jiwa sebagai taruhannya. Lalu bagaimana dengan kita? * /Mahladi Murni
No comments:
Post a Comment