Pasukan Muslim Kepung Kota Bahrasir, Ajakan Damai Raja Persia Ditolak
MALAM itu Sa’ad bin Abi Waqqash sedang memikirkan posisinya dalam menghadapi Mada'in, Ibu Kota Persia. Akan diserangnyakah bersama pasukannya yang sekarang masih riang gembira dimabuk kemenangan, dan mereka memang ingin sekali menyerbunya? Atau akan membiarkan mereka beristirahat selama beberapa hari kemudian berangkat bersama ke sana?
Kota itu sudah dekat. Kalau dia berhenti hanya sampai di situ, tindakannya ini akan menggoda pihak Mada'in untuk mempertahankannya. Jadi lebih baik diserbu dengan mendadak. Oleh karena itu ia memerintahkan pasukannya — bila malam sudah sunyi — supaya berangkat dan bermarkas di Bahrasir.
Bahrasir adalah daerah pinggiran kota Mada'in, di tepi Sungai Tigris ke sebelah kanan, sedang Mada'in berhadapan di tepi sebelah kirinya. Jadi termasuk bagiannya, hanya dipisahkan oleh sungai. Letak Mada'in sekitar dua puluh mil di selatan Baghdad, yang ketika itu merupakan sebuah desa yang tidak berbeda dengan desa-desa lain di bagian Sungai Tigris.
Sejak lama di masa silam Mada'in sudah merupakan ibu kota Iran menggantikan Babilon, bahkan kemudian melebihinya dari segi keindahan, kemegahan dan keagungannya. Kendati sudah berulang kali menjadi sasaran serbuan Romawi dan sudah sering pula jatuh ke tangannya — di samping istananya yang selalu kacau dan terjadi beberapa kali pergolakan — namun kemegahan dan keindahannya tidak berubah.
Oleh karena itu mata dunia banyak tertuju ke sana. Namanya pun sudah begitu merangsang imajinasi semua orang, membangkitkan segala rasa kagum dan pesona, yang tidak demikian dengan nama Roma atau Konstantinopel.
Di sinilah bertemunya segala arti kemegahan dan kemewahan Timur dalam bentuknya yang paling indah dan paling banyak diilhami oleh dewa-dewa kesenian dan kepenyairan.
Kalau begitu, tidak heran pasukan Muslimin yang bertolak ke sana semua membawa kerinduan ingin menyaksikannya, menyaksikan hal-hal yang tak pemah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga. Memang tidak heran kalau gambaran ini menambah semangat dan keberanian mereka untuk menjadikan apa yang tadinya dikira khayal itu kini menjelma di depannya sebagai suatu kenyataan.
Kota Bahrasir dikepung
Sa’ad membawa pasukannya menuju Bahrasir dengan semangat yang masih membara pada pasukan itu. Setiap kuda mereka melangkah maju mereka berhenti kemudian bertakbir berulang kali. Tetapi melihat pihak kota yang bertahan demikian ketat dengan memperkuat diri dan tembok-tembok kota ditutup rapat, maka tak mungkin mereka dapat menyerang. Maka satu-satunya jalan hanyalah dengan mengepungnya.
Sa’ad segera mengepung kota itu tanpa ada rasa takut ada yang akan menyergapnya dari belakang. la menyebarkan pasukan berkudanya dan menyerang beberapa bagian di Furat dan Tigris. Mereka dapat menyekap seribu petani dan membawa mereka sebagai tawanan. Mereka menggali parit di sekitar mereka. Tetapi petani-petani itu bukan tentara yang biasa berperang, jadi tak ada faedahnya menawan mereka, juga tidak berbahaya kalau dibebaskan. Atas saran Syirzad — seorang penguasa Persia atau dihkan Sabat —kepada Sa’ad mereka dikembalikan ke desa untuk kembali mengolah tanah dan memperbanyak hasil buminya.
Sa’ad melaporkan segala tindakannya itu kepada Khalifah Umar bin Khattab, dan Khalifah pun menyetujui saran Syirzad. Dengan demikian penduduk Sawad di sekitar tepi Sungai Tigris sampai ke daratan Arab merasa aman. Di sana mereka mengolah tanah. Para penguasa Persia itu membayar pajak (kharaj) dan jizyah sementara para petani itu sudah merasa makin aman.
Sa’ad meneruskan pengepungan atas kota Bahrasir tanpa merasa khawatir akan disergap dari belakang, juga bahan makanan pasukannya sudah tak perlu dikhawatirkan.
Pasukan Muslimin kemudian menghujani bagian dalam tembok kota Bahrasir dengan manjanik. Tetapi pihak Persia tidak akan menjadi lemah karena gencarnya serangan itu. Mereka yakin, walaupun musuh tidak diusir dari kota mereka, namun sudah tampak betapa kuatnya ibu kota itu.
Mempertahankan Bahrasir memang tidak sulit. Tembok-tembok yang kuat dengan benteng-benteng yang begitu kukuh dan jembatan Tigris yang menghubungkan Mada'in, bala bantuan dan bahan makanan yang tak terbilang banyaknya, dapat didatangkan dari segenap penjuru Persia yang terbentang luas.
Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pengepungan itu selama berbulan-bulan.
Dalam hal ini para sejarawan berbeda pendapat, antara sembilan atau delapan belas bulan. Selama pengepungan itu berlangsung angkatan bersenjata mereka adakalanya sampai keluar dari batas tembok, menyerang pasukan Muslimin dengan harapan kalau-kalau mereka mengalami kekalahan dan dapat dipukul mundur. Tetapi yang terjadi kebalikannya, dalam menghadapi angkatan bersenjata itu pasukan Muslimin di pihak yang menang dan mereka dapat dipukul mundur kembali ke kota dan berlindung lagi di balik tembok-tembok, dengan membawa malu yang sudah tercoreng di dahi.
Sesudah pengepungan berlangsung cukup lama dan segala yang menimpa pihak pasukan mereka terasa makin berat, satu pasukan dari angkatan bersenjatanya yang paling dapat dipercaya dikirim ke luar. Tetapi pasukan ini pun dipukul mundur dan kembali ke kota.
Kekalahan ini mematahkan semangat pasukan Persia dan timbul rasa takut dalam hati mereka bahwa pasukan Muslimin memang tak dapat dikalahkan.
Berita-berita pengepungan dan pertempuran itu setiap hari — bahkan setiap saat — sampai juga kepada Kaisar Persia, Yazdigird. la diliputi rasa kesal, bahkan hampir putus asa. Di samping pengepungan yang sudah terlalu lama, mereka juga melihat pihak Muslimin selama berbulan-bulan bukan makin lemah, malah yang terlihat kekayaan Irak berupa timbunan makanan yang setinggi gunung sudah ada di belakang mereka. Kemudian di pihak pasukan Persia sendiri sudah tampak makin rapuh dan semangat mereka makin menurun.
Diyakininya bahwa tak mustahil Bahrasir akan jatuh ke tangan musuh. Ketika itulah ia mengutus orang kepada Sa’ad menawarkan langkah perdamaian bahwa Tigris akan dijadikan batas pemisah dengan pihak pasukan Muslimin, "Dari batas Tigris ke arah kami milik kami dan dari batas Tigris ke arah kalian milik kalian."
Tetapi Sa’ad menolak ajakan perdamaian Yazdigird itu dan utusannya disuruh kembali pulang. Bagaimana akan mengadakan perdamaian sedang perintah Khalifah Umar sudah jelas sekali untuk membebaskan Mada'in. Bagaimana akan mengajaknya damai sesudah pasukannya dapat mengalahkan Bahrasir dan menawan sebagian pasukannya, dan sekarang mereka sudah siap menyerbu tembok-tembok itu!
Belum lagi utusan itu tiba untuk melapor kepada Yazdigird tentang penolakan itu, Sa’ad bin Abi Waqqas sudah memerintahkan pasukannya mengadakan pengepungan yang lebih ketat dan pelemparan dengan manjanik dilipatgandakan.
Semua lemparan itu tidak mendapat perlawanan dari pihak Bahrasir. Sa’ad yakin bahwa gamisun sudah dikosongkan. Sa’ad memanggil dan memerintahkan pasukannya menyerbu. Anak buahnya segera memanjati tembok-tembok dan membukai pintu-pintu gerbang, tetapi tak ada perlawanan, juga tak ada orang yang tampak keluar kecuali seorang laki-laki menyerukan keamanan dan dari orang ini kemudian diketahui bahwa garnisun Bahrasir memang sudah dipindahkan ke Mada'in atas perintah Yazdigird, dan bahwa jembatannya sudah dibakar dan mengumpulkan semua kapal yang berlayar di Sungai Tigris, dengan tujuan agar arus sungai yang bergolak itu tetap menjadi garis pertahanan untuk mengusir para penyerang dari ibu kota yang makmur itu. (Bersambung)
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment