Sikap Siti Khadijah dan Waraqah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama

Sikap Siti Khadijah dan Waraqah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama
Ilustrasi/Ist
SUDAH menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberirezeki dan pengetahuan. Begitu juga yang dilakukan Muhammad.

Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang berjudul Sejarah Hidup Muhamad menceritakan di puncak Gunung Hira yang terletak di sebelah utara Makkah ada sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun Muhammad pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, dengan membawa sedikit bekal. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari kebenaran, dan hanya kebenaran semata.

Demikian kuatnya beliau merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. 

Bilamana bulan Ramadhan sudah berlalu dan ia kembali kepada sang istri, Siti Khadijah.Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. 

Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. 

Haekal berpendapat barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad. 

Wahyu Pertama
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Kala itu usianya 40 tahun. 

Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!" 

Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". 

Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!" 

Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca." 

Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)

Lalu Muhammad mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya. 

Haekal menggambarkan Nabi Muhammad terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Khawatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.

Selanjutnya, cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?

Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia.

Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.

Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.

Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Siti Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.

Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Siti Khadijah sambil ia berkata: "Selimuti aku!" 

Beliau segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.

"Khadijah, kenapa aku?" katanya. 

Kemudian beliau menceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja. 

Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Siti Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekhawatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa khawatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:

"O putera pamanku. Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."

Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Siti Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu kehidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. 

Menemui Waraqah
Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.

Muhammad sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.

Setelah dilihatnya sang suami tercinta tidur nyenyak, ditinggalkannya kekasihnya itu perlahan-lahan. Siti Khadijah keluar, dengan pikiran masih pada lelaki yang pernah menggoncangkan hatinya itu. 

Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu.

Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak. (Baca juga: Kisah Pendeta Kristen Nestorian yang Ungkap Tanda Kenabian Muhammad SAW)

Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.

Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqah bin Naufal. Dia adalah seorang penganut agamaNasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. 

Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya.

Waraqa menekur sebentar, kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah."

Siti Khadijah pulang. Dilihatnya Nabi Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Beliau terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:

"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74:17)

Siti Khadijah memandanginya dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali tidur dan beristirahat.

"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah," jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqah tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. 

Sudah sewajarnya apabila Siti Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. 

Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. 

Siti Khadijah meminta kepada Nabi Muhammad apabila malaikat itu nanti datang agar dirinya diberitahu. Haekal menulis, pada saat Muhammad melihat malaikat itu datang, Siti Khadijah mendudukkan Muhammad di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Muhammad masih tetap melihat malaikat itu. Siti Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Malaikat pergi. Nabi Muhammad tidak lagi. Setelah itu, Siti Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu memang benar yang datang adalah malaikat, bukan setan.

Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Rasulullah pergi akan mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqah bin Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqah berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula." 

Lalu Waraqah mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Nabi Muhammad. Rasulullah pun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqah itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: