Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya? (Bagian 2)

Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya? (Bagian 2)
Karamah hanya diperuntukkan bagi para waliyullah baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Foto Ilustrasi/Ist
Dalam Kitab "Jami' Karamat Al-Aulia" karya Yusuf bin Ismail an-Nabhani dijelaskan alasan ketiga, seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya adalah waliyullah. Sebab, hukum yang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan. Dalilnya adalah firman Allah berikut: "Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa membawa amal yang buruk maka dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya." (QS Al-Maidah [6]: 160). 

Firman Allah tersebut tidak berbunyi, "Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya itu." Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan. 
Yang memperkuat pendapat ini adalah dalil yang menyatakan bahwa apabila seseorang menghabiskan seluruh usianya dalam kekufuran, lalu di akhir hayatnya ia masuk Islam, maka ia termasuk golongan orang yang mendapatkan pahala, begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa yang penting adalah akhirnya bukan awal perbuatannya. Karena itu, Allah berfirman, Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, "Jika mereka berhenti dari kekufuran, niscaya Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu." (QS Al-Anfal [8]: 38). 

Jadi, ketetapan bahwa seseorang termasuk wali atau musuh Allah, orang yang mendapat pahala atau mendapat siksa terletak di akhir hidupnya. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak diketahui oleh seorang pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak bisa mengetahui bahwa dirinya wali.

Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur: (1) Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada syariat. (1) Secara batiniah, ia tenggelam dalam cahaya hakikat.

Apabila seseorang telah mencapai dua unsur itu maka eksistensi kewaliannya bisa diketahui. Kepatuhan kepada syariat secara lahir terlihat dari tindakan lahir, sementara tenggelamnya batin dalam cahaya hakikat berupa kesenangan menaati Allah dan mengingat-Nya, tiada sesuatu pun dalam dirinya selain Allah.

Banyak kesalahan yang samar dalam pembahasan apakah wali mengetahui kedudukannya sebagai wali atau tidak, penetapannya sulit, pengalamannya membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api dan terkadang berupa cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia.

Karamah Wali Itu Benar-benar Ada!
Sayyid Abdul Ghani al-Nabulusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip penuturan Imam Barkawi yang menyatakan bahwa karamahwali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba’nya (ketaatannya) kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kemudian didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh. 

Adapun kejadian luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat, yang muncul di tangan orang yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma'unah. Ma'unah adalah kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan hal-hal yang tidak disukai, disertai keyakinan yang benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan dengan mengikuti Nabi صلى الله عليه وسلم. Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk mengokohkan kebohongan para pendusta, seperti meludahnya Musailamah ke dalam sumur air tawar agar airnya terasa manis, tetapi yang terjadi justru airnya asin dan pahit.

Al-Laqani menyatakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Nabi yang tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah orang yang 'arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu. 

Al-Sa'di mengungkapkan dalam Kitab Syarh al-'Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu, keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang. Hanya saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang dimudahkan dan dihalalkan baginya.

Karamah para wali adalah kebenaran yang ditegaskan dalam nash Al-Qur'an, di antaranya dalam kisah Maryam. Setiap Nabi Zakaria 'alaihissalam masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia mendapati makanan di sisi Maryam. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh semua makanan ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari Allah" (QS Ali Imran [3]: 37). 

Maryam berada dalam asuhan Zakaria dan tak seorang pun pernah masuk ke dalam mihrab Maryam, selain Zakaria. Bila Zakaria keluar dari sana, tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap Zakaria masuk ke mihrab Maryam, ia menemukan buah-buahan musim dingin pada musim panas, dan menemukan buah-buahan musim panas ketika cuaca dingin. Zakaria merasa heran dan menanyai Maryam. Maryam menjawab bahwa semua itu adalah rezeki dari Allah, Dialah Pemberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari jalan yang tidak disangka-sangka.

Kisah lain dalam Al-Qur'an yang menegaskan adanya karamah adalah kisah Ashabul Kahfi yang tinggal dalam gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan kisah tentang Asif bin Barkhiya yang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman 'alaihissalam mengedipkan matanya. Karamah para sahabat, Tabi'in (generasi setelah sahabat), dan orang-orang saleh sesudahnya diriwayatkan secara mutawatir walaupun perinciannya disampaikan secara ahad. 
(Bersambung)!
(rhs) Rusman H Siregar

No comments: