Keturunan Arab dan Proses Menjadi Indonesia

Keturunan Arab dan Proses Menjadi Indonesia
Keterangan foto: Enam tahun setelah deklarasi Sumpah pemuda keturunan Arab pada 1934, pimpinan Partai Arab Indonesia (PAI) menggelar kongres di Cirebon pada 1940

 SEJAK berabad-abad, umat Islam bukan saja telah menyatu dengan sejarah bangsa, bahkan dalam keadaan apa pun selalu tampil menjadi pelopor dan pembela bangsa. Peranan ulama dan zu’ama (pemimpin) dalam sejarah perjuangan republik Indonesia jelas tidak mungkin diabaikan.

Peranan umat Islam dibuktikan sebagai syuhada dan pejuang Indonesia seperti halnya Teuku Umar, Cut Nyak Din, Imam Bonjol, Fatahillah, Pangeran Diponegoro, Antasari, dan Hasanuddin. Pada masa perjuangan politik sebelum proklamasi kemerdekaan yang dimulai dengan bangkitnya kesadaran sebagai umat yang bermartabat, ditandai dengan lahirnya Serikat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905, peran ulama dan zu’ama juga cukup signifikan.

Adalah beberapa nama ulama yang jasanya tidak bisa diragukan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Mas Mansur, K.H.M. Hasjim Asj’ari, K.H. Ahmad Sanusi, K.H. Abdul Halim, H. Samanhudi, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Bertumpah darah Indonesia

Ketika kesadaran politik umat sudah makin meluas, dan sudah bangkit kesadaran berbangsa, pada 1925 para mahasiswa kita di Belanda mengganti nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia. Peristiwa ini jelas bukan sekadar pergantian nama, karena di dalamnya terkandung kesadaran dan arah yang lebih tegas dari perjuangan organisasi itu, yakni berbangsa Indonesia dan bernegara Indonesia merdeka.

Sesudah peristiwa heroik pada 1925 itu, pada 1926 dalam kongresnya yang pertama nama Indonesia dilekatkan pada nama organisasi Indonesia Moeda. Nama Indonesia dikuatkan lagi dua tahun kemudian pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Kebetulan atau tidak, ketika Indische Vereeniging berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia, ketua organisasi tersebut adalah Soekiman Wirjosandjojo yang sekembalinya di tanah air dikenal sebagai salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Ketua Partai Islam Indonesia (PII), dan Ketua Umum pertama partai politik Islam legendaris Masjumi. Sampai Masjumi membubarkan diri pada 1960, Soekiman adalah Wakil Ketua Umum Masjumi.

Pada 1925 pula, Jong Islamieten Bond (JIB) membentuk badan kepanduan yang dengan tegas diberi nama Nationale Indonesisch Padvindery (Natipy). Bukan Nationale Islamitisch Padvindery seperti ditulis di beberapa buku sejarah.

Keturunan Arab pun Jadi Indonesia

Dalam kaitan dengan peran ulama dan zu’ama ini, ada peristiwa yang cenderung dilupakan sejarah yakni Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (SPIKA) di Semarang, 4 Oktober 1934. Seperti dikutip dalam buku Kahin, Audrey (2015). Historical Dictionary of Indonesia, awalnya organisasi tersebut dimaksudkan untuk mendorong orang Arab, kebanyakan Muwallad, untuk mengintegrasikan, mengasimilasi dan menjamin kesetiaannya kepada Indonesia yang masih dalam lingkup Hindia Belanda. Organisasi ini kemudian bergabung dengan partai politik Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939-1940. Sementara itu organisasi terpisah bernama Indo-Arabische Beweging didirikan pada tahun 1930, di sisi lain, mencoba untuk melanjutkan status terpisah dari imigran Arab sebagai oriental asing yang dibangun oleh pemerintah Belanda.

Seperti dikutip Wikipedia, anggota perkumpulan ini berasal dari latar belakang dan organisasi yang berbeda, terutama dari Al-Rabithah al-Alawiyah dan al-Irshad. Manajemen pertama organisasi tersebut terdiri dari Abdurrahman Baswedan dari Al-Irshad sebagai ketua, Nur Al-Kaff dari Al-Rabithah al-Alawiyyah Sebagai Sekretaris I, Salim Maskatee dari Al-Irshad sebagai Sekretaris II, Segaf al-Segof dari Al-Rabithah al-Alawiyyah sebagai bendahara, dan Abdurrahim Argubi dari Al-Irshad sebagai komisaris.

Anggota asosiasi tersebut menyatakan sumpah mereka untuk menegaskan kesetiaan mereka kepada Indonesia sebagai tanah air mereka (bukan Hadhramaut) dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka. Dengan bersatunya seluruh keturunan Arab dan para pemuda Arab ini pun bersepakat dalam Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (SPIKA) di Semarang dengan tekad yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia.
  2. Orang Arab-Indonesia harus meninggalkan isolasi sosial dan eksklusivitas terhadap masyarakat adat Indonesia.
  3. Orang Arab-Indonesia harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Dari prespektif hari ini, maka sejak itu pula tak ada lagi memakai embel-embel keturunan Arab. Semua menjadi Indonesia. Mereka menyatu menjadi bangsa Indonesia dan mengikuti proses pergerakan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Berdasarkan SPIKA inilah keterlibatan politik pergerakan nasional keturunan Arab dengan mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI). Kaum pergerakan nasional yang merasa mendapat kawan, bersukacita dengan dicetuskannya SPIKA dan lahirnya PAI.

Di tengah sikap keras pemerintah kolonial Belanda yang menangkapi dan men-Digul-kan para aktivis politik serta membubarkan partai politik berhaluan radikal, SPIKA dan PAI dianggap sebagai darah segar bagi pergerakan nasional. Semua koran dan majalah milik kaum pergerakan nasional di seluruh tanah air, memberitakan dan mempropagandakan kelahiran SPIKA dan PAI sebagai gerakan yang sangat progresif.

Tidak heran jika para tokoh pergerakan nasional dengan senang hati turut menggembleng kader-kader PAI. Sehingga dalam waktu singkat PAI diterima menjadi anggota Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) karena PAI yang berasas Islam pada pasal II Anggaran Dasarnya, mengakui:

Pertama, bahwa Indonesia tempat peranakan Arab lahir adalah tanah airnya, yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban;

Kedua, bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia yang mereka termasuk di dalamnya wajib diutamakan.

Pada pasal III, PAI merumuskan tujuan dan usahanya sebagai berikut:

  1. Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada tanah air dan masyarakatnya.
  2. Bekerja dan membantu segala daya upaya dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial, yang menuju keselamatan rakyat dan tanah air Indonesia.

Menolak politik golongan

PAI juga diterima menjadi anggota Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi dari semua partai dan perkumpulan Islam, karena PAI yang nasionalistis itu berasaskan Islam. Tidak banyak partai yang diterima sekaligus sebagai anggota GAPPI dan MIAI.

Di antara yang sedikit itu adalah PAI. Inilah pengakuan bahwa warga keturunan Arab di Indonesia diterima dan diakui sebagai putera Indonesia.

Tulisan ini sekadar ingin mengingatkan, betapa tidak mudahnya menjadi Indonesia. Para pendahulu kita dengan caranya masing-masing telah meretas jalan ke arah Indonesia.

Sebagai generasi yang datang kemudian, kita harus mencatat semua peristiwa di masa lalu yang telah mempermudah kita menjadi Indonesia, bukan malah melupakan atau bahkan mencoretnya dari buku sejarah. Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab dan pembentukan Partai Arab Indonesia hanyalah contoh dari proses menjadi Indonesia yang tampak sederhana tetapi sesungguhnya tidak mudah itu. Sayangnya, peristiwa ini pun cenderung makin dilupakan.*

No comments: