Membangun Kota Basrah dan Kebijakan Umar bin Khattab Terhadap Petani

Membangun Kota Basrah dan Kebijakan Umar bin Khattab Terhadap Petani
Ilustrasi/Ist
KOTA Basrah dibangun bersamaan waktunya dengan dibangunnya Kota Kufah di dekat Ubullah di Delta Furat-Tigris yang bersambung ke Teluk Persia. Kejadian ini dalam tahun 18 Hijri, tahun keempat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Basrah dibangun sebelum Kufah, kendati bangunan-bangunan rumahnya baru dibuat dengan bata setelah rumah-rumah di Kufah. 

Al-Balazuri menyebutkan bahwa Utbah bin Gazwan menyerbu Ubullah dalam tahun ke- 14 Hijri, yang sesudah dibebaskan ia menulis kepada Khalifah Umar: "Untuk pasukan Muslimin perlu ada tempat tinggal untuk musim dingin, dan dapat menempatinya usai perang." 

Dalam jawabannya Khalifah berkata: "Kalau sahabat-sahabat Anda setuju di satu tempat, tetapi dekat dengan mata air dan tempat penggembalaan, laporkanlah kepada saya suasananya." 

Umar cukup puas dengan letak Basrah itu ketika Utbah melukiskannya. Orang berdatangan ke tempat itu dan membangun tempat-tempat tinggal dari buluh. Utbah membangun sebuah masjid juga dari batang buluh. Kalau pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu diikat. Bilamana kelak kembali dari medan perang mereka bangun kembali. 

Karena kebakaran yang dulu pemah melalap Kufah, Umar mengizinkan penduduk Basrah membangun dari batu bata seperti yang kemudian dilakukan oleh pihak Kufah. Kota Basrah setelah itu menjadi pelabuhan Irak ke Teluk Persia. Tempat-tempat tinggal di sana dibangun dari batu dan didirikan pula sebuah masjid yang termasuk mesjid paling megah. Pengaruhnya dalam sejarah Islam kemudian sama dengan Kufah dulu. 

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Umar bin Khattab" memaparkan perlu menampilkan pembangunan dua kota ini, karena Kufah dan Basrah telah mewariskan berbagai aliran atau mazhab dalam sejarah, bahasa, sastra, fikih dan peradaban Islam, yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. "Dalam hal ini kedua kota itu berlomba, seperti juga halnya dalam mengarahkan roda politik negara secara umum, dan khususnya di Irak. Kedua kota itu pada masa Umar mulai memantapkan kedudukannya masing-masing," tuturnya.. 

Hal ini wajar saja mengingat Kufah merupakan ibu kota Irak dan Basrah pelabuhannya yang pertama. Penduduk Semenanjung Arab seperti sudah disebutkan di atas memonopoli kedua kota itu; penduduk daerah Yaman dan sekitarnya di selatan memilih Kufah, kalangan Madinah dan penduduk bagian utara ke Basrah. 

Perpindahan ini dalam perang dengan Persia kemudian hari baik sekali pengaruhnya. 

Sesudah kedua kota itu dibangun sumber penghasilan mana yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sudah lama seluruh Irak dalam keadaan tenang sebelum angkatan bersenjata Muslimin harus berperang lagi menghadapi Yazdigird dan pasukannya di Persia, dan berhasil memperoleh rampasan perang. 

Melindungi Petani
Orang-orang Arab tidak biasa bertani dalam arti menggantungkan pekerjaannya pada tanah pertanian Irak. Adakah mereka lalu memeras jerih payah para petani itu seperti yang dilakukan dulu oleh para pejabat Persia? 

Haekal mengatakan jawaban atas pertanyaan ini akan terasa mengganggu sehubungan dengan soal Kufah dan Basrah serta penduduknya yang menggantungkan hidupnya kepada kedua kota itu. Sama halnya dengan angkatan bersenjata Muslimin di Mada'in, Jalula, Tikrit, Mosul dan tempat-tempat lain di seluruh Irak, yang juga menggantungkan hidupnya ke daerah-daerah itu. 

Umar menjalankan kebijakan politiknya seperti yang sudah dijalankan oleh Abu Bakar sebelumnya. Dipesankannya kepada para perwira dan anggota-anggota pasukannya untuk tidak mengganggu para petani, dan supaya berlaku adil terhadap semua penduduk- sehingga mereka merasabenar-benar aman di bawah pemerintahan Muslimin, kharaj atau jizyah yang diberlakukan oleh pejabat Muslim tidak boleh memberatkan. 

Sesudah Jalula dibebaskan, Sa’ad menulis kepada Umar mengenai nasib para petani itu. Di antara mereka ada yang lari, tetapi ada juga yang tinggal. Mereka yang sudah melarikan diri sekitar 130.000 orang dari sekitar 30.000 kepala keluarga. 

Dalam jawabannya Umar mengatakan: "Biarkan para petani seperti dalam keadaan mereka, kecuali yang ikut memerangi atau menyeberang kepada musuh. Perlakukan mereka seperti terhadap petani-petani lain sebelum itu. Kalau saya sudah menulis kepada Anda mengenai suatu masyarakat teruskanlah begitu. Adapun yang di luar para petani cara mengatur rampasan perangnya — yakni pembebasannya — terserah kepada kalian. Barang siapa dari yang ikut berperang meninggalkan tanahnya, maka itu untuk kalian. Kalau kalian ajak mereka dan kalian menerima jizyah dan kalian kembalikan kepada mereka sebelum pembagian, biarkanlah begitu, dan yang tidak kalian panggil, maka rampasan perang yang sudah ditentukan Allah itu untuk kalian." 

Semua perintah Umar itu oleh Sa’ad dilaksanakan. Para petani dikembalikan ke tempat mereka, dan yang masih berkepala batu dipanggil, dan yang kembali dikenakan kharaj dan mendapat perlindungan. 

Segala yang menjadi milik Kisra dan para keluarga Istana serta pejabat-pejabat tinggi dan yang lain bersama mereka tetapi masih keras kepala, disita. Dari harta yang disita ini banyak yang dibagikan kepada penduduk yang berada di antara gunung Persia dengan perbatasan Arab. 

Harta yang disita oleh Sa’ad ditahan tak boleh dijual, juga semua kemudahan (fasilitas) untuk kepentingan umum tak boleh dijual, seperti benteng, saluran air, segala sarana-sarana penghubung dan yang berhubungan dengan rumah-rumah ibadah kaum Majusi. 

Akibat pelaksanaan kebijakan ini maka semua tanah tetap di tangan kaum petani dan mereka dianggap kaum zimmi, baik yang tinggal di tanahnya selama masa perang atau yang lari karena ketakutan kemudian kembali lagi sesudah perang. 

Tanah yang sudah dikuasai dikembalikan kepada petani atau yang bukan petani yang ikut berperang, kemudian mereka dipanggil oleh Sa’ad dan dianggap kaum zimmi yang tanahnya belum dibagikan kepada pasukan Muslimin.

Adapun tanah-tanah milik para kisra (raja-raja), anggota keluarganya, kaum ningrat dan para pejabat yang ikut berperang, menjadi milik negara, tak boleh diperjualbelikan, sementara petani-petani Irak boleh menggarapnya atas dasar sewa yang dibayar untuk perbendaharaan negara. 

Kas Negara
Undang-undang itu berlaku atas tanah-tanah yang sudah dikuasai untuk rumah-rumah ibadah kaum Majusi. Mengenai segala kemudahan untuk kepentingan umum seperti saluran air dan segala sarana penghubung sudah dijadikan milik umum. Larangan diperjualbelikan tetap berlaku atas kemanfaatan yang sudah ditentukan untuk itu. 

Ketentuan ini telah menyebabkan melimpahnya pemasukan ke dalam kas negara dari berbagai sumber — dari kharaj, jizyah dan sewa tanah milik negara. Dari sumber inilah segala anggaran dikeluarkan untuk pasukan dan keluarganya di Kufah, Basrah serta keperluan persenjataan lainnya.

Anggotapasukan itu sebenarnya mengharapkan sekiranya tanah di Sawad itu dibagikan kepada mereka dan menjadi milik pribadi dan ahli warisnya di kemudian hari. Pemberian yang sudah begitu melimpah diberikan kepada mereka itu tidak membuat mereka enggan untuk menyampaikan keinginannya kepada kalangan eksekutif. Tetapi permintaan mereka oleh Umar ditolak dengan mengatakan: "Kalau kalian tidak akan saling tinju tentu saya berikan." 

Sejak semula Umar memang sudah menolak memberikan pembagian tanah kepada anggota pasukan, supaya mereka tidak mendiami daerah pertanian dan membiasakan diri hidup menetap dan akan membuat mereka bermalas-malas jika ada mobilisasi, sementara negara masih memerlukan tenaga dan semangat mereka, dan memerlukan angkatan bersenjata yang sepenuhnya harus selalu siap. 

Bagaimana Amirulmukminin akan merasa tenang melihat anggota pasukannya mau hidup menetap padahal pihak Persia besok akan kembali datang untuk membalas dendam, dan mereka sudah menghasut Irak seperti yang mereka lakukan dulu! Biarlah tanah Kisra itu menjadi milik negara yang akan digarap oleh para petani penduduk Irak. Biarlah pasukan Muslimin itu tinggal di barak-barak siap memenuhi setiap panggilan untuk menghadapi perang. 

Pemberian kepada penduduk Kufah dan Basrah jumlahnya sama seperti yang diberikan kepada prajurit-prajurit. Bahkan pemberian ini telah menambah banyaknya para penetap di kedua kota itu sehingga penduduk di sana hidup nyaman dan berkecukupan. 

Sungguhpun begitu penduduk Basrah masih merasa iri terhadap penduduk Kufah karena letak kota mereka serta rezeki yang melimpah kepada mereka. 

Pasir Tandus
Umar bin Khattab bertanya kepada sebuah delegasi yang datang menemuinya dari Basrah sehubungan dengan keperluan mereka. Ahnaf bin Qais yang datang bersama mereka berkata: "Amirulmukminin, rezeki memang di tangan Allah. Saudara-saudara kami yang tinggal di kota-kota menempati rumah-rumah orang dahulu, yang letaknya di sekitar air tawar dan kebun-kebun rimbun, sedang kami tinggal di tanah rawa yang asin dan lembab, rumput pun tak dapat tumbuh. Dari arah timur, laut asin dan dari arah barat padang pasir tandus. 

Pertanian dan peternakan tak ada di tempat kami. Segala keperluan dan makanan kami seperti keluar dari kerongkongan burung unta. Laki-laki yang lemah mencari air tawar dari jarak dua farsakh, dan untuk keperluan yang sama seorang perempuan pergi dengan mengikat anaknya dengan tambang seperti mengikat kambing, karena khawatir diserang musuh atau dimakan binatang buas. Kalau keadaan kami tidak diangkat dari kesengsaraan dan kemiskinan kami, kami akan seperti mereka yang sudah punah." 

Setelah itu pemberian kepada mereka oleh Umar ditambah, dan dengan memerintahkan wakilnya di Kufah — ketika itu Abu Musa al-Asy'ari — untuk dibuatkan sungai yang airnya disalurkan dari Sungai Tigris sejauh tiga farsakh di sebelah utara. 

Dengan demikian kaum Muslimin di Irak hidup makmur yang tak ada taranya di Semenanjung itu. Di samping kemakmurannya itu mereka hidup terhormat sebagai pihak pembebas yang telah membawa kemenangan. Mereka tinggal dalam keadaan demikian selama beberapa tahun. Mereka tidak lagi memikirkan akan menaklukkan Persia atau berusaha mengadakan pembebasan baru. Cukup dengan menangkis Hormuzan jika ia mencoba menyerang bagian tenggara dari arah Basrah. 

Soalnya, karena Umar tetap dengan pendapatnya, bahwa cukup sampai Irak saja dan perbatasannya harus dipertahankan. Itu sebabnya ia menolak keinginan pasukannya yang sudah memukul mundur Hormuzan untuk mengejar terus sampai ke dalam negerinya. Ia memerintahkan mereka untuk mengadakan gencatan senjata dengan syarat-syarat yang sudah berulang kali dilanggar oleh Hormuzan. (Bersambung)
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: