Mohammad Natsir, Pahlawan yang Tak Punya Baju Bagus

Mohammad Natsir, Pahlawan yang Tak Punya Baju Bagus
andi/hidayatullah.com
Mantan Sekretaris M Natsir, Lukman Hakiem di kantor MUI, Jakarta, Senin (01/04/2019).Bicara soal pahlawan, tidak bisa dilupakan nama Mohammad Natsir. Banyak sekali kisah menarik dari kehidupan Pak Natsir—panggilan akrabnya—yang bisa diteladani dalam hidup berbangsa dang bernegara.

Natsir adalah seorang ulama, politisi, negarawan, tokoh intelektual, serta pejuang kemerdekaan. Ia sebagai pendiri sekaligus pimpinan partai Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi (1945 – 1960). Di dalam negeri pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946 – 1947) serta Perdana Menteri (1950 – 1951).

Sementara di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress), Ketua Dewan Masjid se-Dunia, dan sederet jabatan lainnya. Selama hidupnya, Natsir dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa. Satu berasal dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Lalu, pada 10 November 2008, ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Dan menariknya, ia dikenal sebagai menteri yang tak punya baju bagus. Jasnya bertambal. Juga dikenal sebagai menteri yang tak memiliki rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah.

Beberapa waktu lalu, Achmad Fazeri—wartawan Majalah Suara Hidayatullah, memancarai Lukman Hakim yang pernah menjadi sekretaris pribadi Pak Natsir. Lukman menjelaskan kiprah atasannya tersebut melalui panggilan video Zoom. Perbincangan dilakukan dengan santai sebanyak dua kali, selepas shalat Zuhur dan setelah Ashar.

Tak sekadar kiprah Pak Natsir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Lukman juga berkisah mengenai perjalanan hidupnya selama berinteraksi secara langsung dengan Pak Natsir. Banyak prinsip hidup dan kebiasaan baik Pak Natsir yang dapat kita teladani bersama.

Berikut wawancara selengkapnya:

Apa saja yang bisa Anda teladani dari Pak Natsir?

Pak Natsir itu orang yang tidak pecah kongsi antara kata-kata dengan perbuatan. Saya punya beberapa pengalaman pribadi dengan beliau. Pertama, beliau sangat menghormati perbedaan pendapat. Suatu ketika saya menjadi redaktur di Media Dakwah. Pimrednya waktu itu Pak Bukhori Tamam. Pak Natsir memberi instruksi agar si X tak lagi menulis di Media Dakwah. Saya tidak terima dengan putusan itu.

Besok paginya saya datang ke rumah Pak Natsir. Di situ terjadi diskusi yang cukup ‘panas’. Hingga akhirnya saya menyadari keputusan beliau tak dapat didebat lagi. Nah, selesai itu kami ngobrol soal lainnya, suasana cair. Dan yang sampai hari ini nggak bisa saya lupakan, ketika pamit pulang. Ini salah satu kebiasan Pak Natsir, beliau mengantarkan saya sampai teras. Beliau tetap berdiri di situ, sampai saya benar-benar “menghilang” dari balik pintu pagar. Baru beliau menutup pagar.

Jadi, saya ploong… Tadinya saya menyampaikan sikap maupun pendapat sampai debat ‘panas’. Pulangnya di antar sampai teras. Kalau sekarang nggak ada seperti itu. Beliau ketua yayasan, saya staff. Kalau nggak setuju, silakan resign. Atau bisa juga saya diusir dari rumah. Pagi-pagi sudah ngajak berdebat. Itu perbuatan tidak menyenangkan. Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh Pak Natsir.

M Natsir saat dilantik menjadi Perdana Menteri

Kedua, Pak Natsir sangat menghormati orang. Suatu hari Pak Natsir tanya ke saya, apakah saudara bisa datang ke Kramat (kantor Media Dakwah)? Bisa, jawab saya. Nah, pas hari H karena saya naik angkutan umum tidak bisa diprediksi, telat. Semestinya jam 11 saya baru tiba sekitar setengah 12. Yang di Kramat tinggal Pak Misbah Malik, sekretaris pribadi Pak Natsir. Akhirnya saya diminta buat telepon ke rumah Pak Natsir karena beliau sudah pulang.

Saya telepon, saya sampaikan permohonan maaf, lalu bilang ingin menemui beliau di rumah. Tapi beliau justru menolak. Karena merasa butuh, beliau ingin menemui saya di Kramat. Jadi, ditelepon itu berdebat soal siapa yang harus ditemui. Karena, Pak Natsir bersikeras, akhirnya beliau kembali ke Kramat. Coba bayangkan, sosok penting, tokoh bangsa seperti Pak Natsir sudah pulang ke rumah, lalu balik lagi ke kantor (Kramat) hanya untuk menemui stafnya?

Ketiga, sikap Pak Natsir terhadap ukhuwah Islamiyah. 1990 menjelang muktamar Muhammadiyah, majalah kita menulis laporan utama guna menyambut acara itu. Kebetulan saya yang menulis, dan sebagainya. Ada salah satu nara sumber aktivis Muhammadiyah melakukan kritik kepada Muhammadiyah.

Menurut dia, saat itu Muhammadiyah seperti gajah gemuk. Gajak itu besar, gemuk lagi. Perumpamaan yang menarik. Lalu, kita pakai sebagai judul laporan utama. Jika nara sumber pakai tanda seru, kita pakai tanda tanya; Muhammadiyah seperti gajah gemuk?

Ketika sudah terbit, Pak Natsir baca. Langsung disobek itu covernya majalah. Kata beliau, apa saudara tidak bisa memberi penghormatan kepada Muhammadiyah? Ini ormas Islam yang sangat berjasa. Tapi setelah saya jelaskan, selesai persoalan.

Lalu ketika ada salah satu tulisan di Media Dakwah yang mengkritik keras Gus Dur. Pak Natsir juga marah. Bahkan, beliau mengatakan, kalau jadi Gus Dur saya tuntut saudara. Bagaimana pun Gus Dur seorang Muslim, tidak boleh dinistakan sesama Muslim. Kemudian, kami diperintahkan untuk meminta maaf secara resmi. Selain mengirim surat permintaan maaf ke Gus Dur, juga memuatnya di majalah Media Dakwah sehalaman penuh. Begitulah sikap Pak Natsir terhadap ukhuwah. Meski berbeda pendapat, jangan sampai perbedaan itu memecah ukhuwah Islamiyah.

Keempat, Pak Natsir orang yang mau mengakui kesalahannya. Saat itu, tahun 87 saya masih di Majalah Kiblat, diundang Pak Natsir dalam acara tasyakuran ke 79 beliau. Khusus internal. Pak Natsir pidato, dan saya rekam. Ciri beliau itu, bahasa lisan dengan tulisan relatif sama. Jadi, kita rekam lalu ditranskip itu mudah sekali. Akhirnya dimuat. Pak Natsir telepon saya menyampaikan bahwa ada yang salah di berita tasyakuran itu. Saya diminta datang ke kantor. Siap-siap dimarahi nih, tapi ternyata tidak. Pak Natsir bilang, bukan saudara yang salah. Tapi saya yang salah, karena sumbernya tidak akurat. Begitulah kira-kira pengalaman saya dengan Pak Natsir yang tetap terkenang sampai hari ini.

Bagaimana dengan kesederhanaan Pak Natsir?

Memang Pak Natsir dikenal sederhana. Kalau Ramadhan, biasanya mengundang keluarga besar DDII dan Partai Bulan Bintang untuk ifthar bersama di kantor DDII. Kebiasaan Pak Natsir setelah membatalkan puasa, langsung shalat Mahgrib. Kalau jamaah kan mayoritas langsung makan. Selesai shalat ternyata makanannya habis. Yang tersisa tinggal nasi, kuah sayur, dan kerupuk. Bingung-lah pengurus yayasan. Namun Pak Natsir tenang, sambil tersenyum ambil nasi, kuah sayur, dan kerupuk.

Sehari-hari beliau ke kantor (DDII) pakai kemeja putih lengan panjang. Sederhana. Rupanya itu baju favorit. Kadang-kadang di kantongnya ada bekas tinta. Itu bukan hanya saya yang menyaksikan, tetapi juga diabadikan dalam puisinya Taufik Ismail ketika mengenang 100 tahun Pak Natsir. Ya.. seperti itulah kesederhanaan beliau. Ketika pulang nggak ada kendaraan, naik bajai pun jadi.

Sebelum wafat, apakah ada nasihat khusus dari Pak Natsir?

Kalau secara pribadi nggak ada. Tetapi, yang saya ingat tulisan terakhir Pak Natsir untuk buku biografi Pak Bukhori Tamam—ditulis Lukman Hakim. Saya ingat betul judulnya, “Jangan Berhenti Tangan Mendayung”. Maknanya seorang pendengung risalah (baca; dai), jangan sampai berhenti berdakwah. Harus selalu istiqomah. Itu nasihat terakhir Pak Natsir dalam tulisannya sebelum beliau wafat.*

No comments: