Resep Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani untuk Capai Tingkatan Wali

Resep Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani untuk Capai Tingkatan Wali
Hadrat Syaikh Abdul Qadir/Foto/Ilustrasi/Ist
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memberi resep bagaimana mencapai tingkatan laiknya wali. Beliau juga mengungkap mengapa seseorang bisa menjadi wali. Soal ini, pada risalah keenam dalam kitabnya yang berjudul Futuh Al-Ghaibbeliau bertutur: "Lenyaplah dari (pandangan) manusia, dengan perintah Allah, dan dari kedirian, dengan perintah-Nya, hingga kau menjadi bahtera ilmu-Nya". 

Menurutnya, lenyapnya diri dari manusia, ditandai oleh pemutusan diri sepenuhnya dari mereka, dan pembebasan jiwa dari segala harapan mereka. 

Tanda lenyapnya diri dari segala nafsu ialah, membuang segala upaya memperoleh sarana-sarana duniawi dan berhubungan dengan mereka demi sesuatu manfaat, menghindarkan kemudharatan; dan tak bergerak demi kepentingan pribadi, dan tak bergantung pada diri sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan dirimu, tak melindungi atau membantu diri, tetapi memasrahkan semuanya hanya kepada Allah, karena Ia pemilik segalanya sejak awal hingga akhirnya; sebagaimana kuasaNya, ketika kau masih disusui. 
Hilangnya kemauanmu dengan kehendakNya, ujar Syaikh Abdul Qadir, ditandai dengan ketak-pernahan menentukan diri, ketakbertujuan, ketakbutuhan, karena tak satu tujuan pun termiliki, kecuali satu, yaitu Allah. 

"Maka, kehendak Allah mewujud dalam dirimu, sehingga kala kehendakNya beraksi, maka pasiflah organ-organ tubuh, hati pun tenang, pikiran pun cerah, berserilah wajah dan rohanimu, dan kau atasi kebutuhan-kebutuhan bendawi berkat berhubungan dengan Pencipta segalanya," tuturnya.. 

"Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu. Lidah Keabadian selalu menyeru namamu. Tuhan Semesta alam mengajarmu, dan membusanaimu dengan nurNya dan busana rohani, dan mendapatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah mendahuluimu," lanjutnya. 

Sesudah ini, katanya lagi, kau selalu berhasil menaklukkan diri, hingga tiada lagi pada dirimu kedirian. Bagai sebuah bejana yang hancur lebur, yang bersih dari air, atau larutan. Dan kau terjauhkan dari segala gerak manusiawi, hingga rohanimu menolak segala sesuatu, kecuali kehendak Allah. 

Pada maqam ini, keajaiban dan adialami akan ternisbahkan kepadamu. Hal-hal ini tampak seolah-olah darimu, padahal sebenarnya dari Allah. 

Maka kau diakui sebagai orang yang hatinya telah tertundukkan, dan kediriannya telah musnah, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kemaujudan sehari-hari. 

Mengenai maqam ini, Nabi Suci SAW, telah bersabda: “Tiga hal yang kusenangi dari dunia – wewangian, wanita dan salat – yang pada mereka tersejukkan mataku.” 

Sungguh, hal-hal dinisbahkan kepadanya, setelah hal-hal itu sirna darinya, sebagaimana telah kami isyaratkan. Allah berfirman: “Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku.”

Syaikh Abdul Qadir menuturkan, Allah Yang Maha Tinggi takkan besertamu, sampai kedirianmu sirna. Dan bila kedirianmu telah sirna, dan kau abaikan segala sesuatu, kecuali Dia, maka Allah menyegarbugarkan kamu, dan memberimu kekuatan baru, yang dengan itu, kau berkehendak. 

Bila di dalam dirimu masih juga terdapat noda terkecil pun, maka Allah meremukkanmu lagi, hingga kau senantiasa patah-hati. Dengan cara begini Ia terus menciptakan kemauan baru di dalam dirimu, dan bila kedirian masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai akhir hayat dan bertemu (liqa) dengan Tuhan.

Inilah makna firman Allah: ”Aku bersama orang-orang yang putus asa demi Aku,” Dan makna kata: “Kedirian masih maujud” ialah kemasihkukuhan dan kemasih puasan dengan keinginan-keinginan barumu. 

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman kepada Nabi Suci SAW: “Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, dengan mengerjakan salat-salat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan.” Tak diragukan lagi, beginilah keadaan fana.

Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluk-Nya, dan menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikanNya; sehingga kau menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, kedamaian, dan kesentosaan. 

Maka fana (penafikan diri) menjadi tujuan akhir, dan sekaligus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu, dari berbagai maqam, senantiasa beralih, hingga akhir hayat mereka, dari kehendak pribadi kepada kehendak Allah. Karena itulah mereka disebut badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang berarti: berubah). 

Bagi pribadi-pribadi ini, menggabungkan kehendak pribadi dengan kehendak Allah, adalah suatu dosa. Bila mereka lalai, terbawa oleh tipuan perasaan dan ketakutan, maka Allah Yang Maha Besar menolong mereka dengan kasih sayangNya, dengan mengingatkan mereka sehingga mereka sadar dan berlindung kepada Tuhan, karena tak satu pun mutlak bersih dari dosa kehendak, kecuali para malaikat.

Para malaikat senantiasa suci dalam kehendak, para Nabi senantiasa terbebas dari kedirian, sedang para jin dan manusia yang dibebani pertanggung jawaban moral, tak terlindungi. Tentu, para wali terlindung dari kedirian, dan para badal dari kekotoran kehendak. "Kendati mereka tak bisa dianggap terbebas dari dua keburukan ini, karena mungkin bagi mereka berkecenderung kepada dua kelemahan ini, tapi Allah melimpahi rahmatNya dan menyadarkan mereka," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. 
(mhy)

 Miftah H. Yusufpati

No comments: