Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani Tegaskan Wali Tak Terjangkau Nalar Manusia Biasa
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya berjudul Futuh Al-Ghaib banyak memberi nasehat kepada umat Islam. Beliau menegaskan para wali dan badal, yang tak terjangkau nalar manusia dan kebiasaan. Perwujudan ini terbentuk: jalal (keagungan), dan jamal (keindahan). Kehendak-Nya terwujud. Secara kasyf (penglihatan rohani) dan musyahida (pengalaman-pengalaman rohani).
"Jalal menghasilkan kegelisahan, pemahaman yang menggundahkan, dan sedemikian menguasai hati, sehingga gejala-gejalanya tampak pada jasmani," tuturnya.
Diriwayatkan bila Rasulullah salat, dari hatinya terdengar gemuruh, bak air mendidih di dalam ketel, karena intensitas ketakutan yang timbul dari penglihatan beliau akan Kekuasaan dan KebesaranNya. Diriwayatkan bahwa pilihan Allah, Nabi Ibrahim AS dan Umar sang Khalifah RA, juga mengalami keadaan yang serupa.
Mengalami perwujudan keindahan Ilahi merupakan refleksi-Nya pada hati manusia yang mewujudkan nur, keagungan, kata-kata manis, ucapan penuh kasih-sayang, dan kegembiraan atas kelimpahan keruniaNya, maqam yang tinggi, dan keakraban denganNya — yang kepadaNya segala urusan mereka kembali — dan atas takdir yang telah ditetapkanNya jauh di masa lampau.
Inilah karunia dan rahmatNya, dan pengukuhan atas mereka di dunia ini, sampai waktu tertentu. Ini dilakukan agar mereka tak melampaui kadar cinta yang layak dalam keinginan mereka akan hal itu, dan karenanya, hati mereka takkan berputus asa, kendati mereka jumpai berbagai hambatan atau bahkan terkulaikan oleh hebatnya ibadah mereka sampai datangnya kematian. Ia melakukan ini berdasarkan kelembutan, kasih sayang dan kehormatan, juga untuk melatih agar hati mereka lembut, karena Dia bijaksana, mengetahui, lembut terhadap mereka.
Diriwayatkan, bahwa Nabi SAW sering berkata kepada Hadhrat Bilal sang muadzin: “Wahai Bilal, gembirakanlah hati kami,” Maksud beliau, hendaklah ia serukan azan agar beliau bisa salat, guna merasakan perwujudan-perwujudan rahmat Ilahi, sebagaimana telah kita bicarakan. Itulah sebabnya Nabi SAW bersabda: “Dan mataku sejuk, bila aku salat.”
Penjaga Pintu Hati
Selanjutnya dalam risalah yang lain dan pada kitab yang sama, Syaikh Abdul Qadir memberi nasehat, "Keluarlah dari kedirian. Jauhilah dia, dan pasrahkanlah segala sesuatu kepada Allah. Jadilah penjaga pintu hatimu. Patuhilah senantiasa perintah-perintah-Nya, hormatilah larangan-larangan-Nya, dengan menjauhkan segala yang diharamkan-Nya."
"Jangan biarkan kedirianmu masuk ke dalam hatimu, setelah keterbuanganmu. Mengusir kedirian dari hati, haruslah disertai pertahanan terhadapnya, dan menolak pematuhan kepadanya dalam segala keadaan," lanjutnya..
Mengizinkan ia masuk ke dalam hati, menurut Syaikh, berarti rela mengabdi kepadanya, dan berintim dengannya. "Maka, jangan menghendaki segala yang bukan kehendak Allah. Segala kehendak yang bukan kehendak Allah, adalah kedirian, yang adalah rimba kejahilan, dan hal itu membinasakanmu, dan penyebab keterasingan dari-Nya. Karena itu, jagalah perintah Allah. Jauhilah larangan-Nya, berpasrahlah selalu kepada-Nya dalam segala yang telah ditetapkanNya, dan jangan sekutukan Dia dengan sesuatu pun."
Jangan berkehendak diri, agar tak tergolong orang-orang musyrik. Allah berfirman: “Barang siapa mengharap penjumpaan (liqa) dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal saleh dan tidak menyekutukanNya.” (QS 18.Al Kahfi: 110)
Kesyirikan tak hanya penyembahan berhala. Pemanjaan nafsu jasmani, dan menyamakan segala yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah, juga syirik. Sebab selain Allah adalah bukan Tuhan. Bila kau tenggelamkan dalam sesuatu selain Allah berarti kau menyekutukanNya.
Oleh sebab itu, waspadalah, jangan terlena. Maka dengan menyendiri, akan diperoleh keamanan. Jangan menganggap dan mengklaim segala kemaujudan atau maqam-mu, berkat kau sendiri. Maka, bila kau berkedudukan, atau dalam keadaan tertentu, jangan membicarakan hal itu kepada orang lain. Sebab dalam perubahan nasib yang terjadi dari hari ke hari, keagungan Allah mewujud, dan Allah mengantarai hamba-hambaNya dan hati-hati mereka.
Bisa-bisa yang kau percakapkan, sirna darimu, dan yang kau anggap abadi, berubah, hingga kau termalukan di hadapan yang kau ajak bicara. Simpanlah pengetahuan ini dalam lubuk hatimu, dan jangan perbincangkan dengan orang lain. Jika hal itu terus maujud, maka hal itu akan membawa kemajuan dalam pengetahuan, nur, kesadaran dan pandangan.
Allah berfirman: “Segala yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan terlupakan, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau yang sepertinya. Tidakkah kamu ketahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah: 106)
Jangan menganggap Allah tak berdaya dalam sesuatu hal. Jangan menganggap ketentuan-Nya tak sempurna. Dan jangan sedikit pun ragu akan janji-Nya. Dalam hal ini ada sebuah contoh luhur dalam Nabi Allah.
Ayat-ayat dan surah-surah yang diturunkan kepadanya, dan yang dipraktekkan, dikumandangkan di masjid-masjid, dan termaktub di dalam kitab-kitab.
Mengenai hikmah dan keadaan rohani yang dimilikinya, ia sering mengatakan bahwa hatinya sering tertutup awan, dan ia berlindung kepada Allah tujuh puluh kali sehari.
Diriwayatkan pula, bahwa dalam sehari ia dibawa dari satu hal ke hal lain sebanyak seratus kali, sampai ia berada pada maqam tertinggi dalam kedekatan dengan Allah. Ia diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah, karena sebaik-baik seorang hamba yaitu berlindung dan berpaling kepada Allah. Karena, dengan begini, ada pengakuan akan dosa dan kesalahannya, dan inilah dua macam mutu yang terdapat pada seorang hamba, dalam segala keadaan kehidupan, dan yang dimilikinya sebagai pusaka dari Adam AS, ‘bapak’ manusia, dan pilihan
Allah.
Berkatalah Adam AS: “Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tak mengampuni kami, dan merahmati kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’raaf: 23).
Maka turunlah kepadanya cahaya petunjuk dan pengetahuan tentang tobat, akibat dan tentang hikmah di balik peristiwa ini, yang takkan terungkap tanpa ini. Lalu Allah berpaling kepada mereka dengan penuh kasih sayang, sehingga mereka bisa bertobat.
Dan Allah mengembalikannya ke hal semua, dan beradalah ia pada peringkat wilayat yang lebih tinggi, dan ia dikaruniai maqam di dunia dan akhirat. Maka menjadilah dunia ini tempat kehidupannya dan keturunannya, sedang akhirat sebagai tempat kembali dan tempat peristirahatan abadi mereka. "Maka, ikutilah Nabi Muhammad SAW, kekasih dan pilihan Allah, dan nenek moyangnya, Adam, pilihan-Nya – keduanya adalah kekasih Allah – dalam hal mengakui kesalahan dan berlindung kepada-Nya dari dosa-dosa, dan dalam hal bertawadhu’ dalam segala keadaan kehidupan," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment