Wasiat dan Syair Pembelaan Abu Thalib kepada Nabi Muhammad,

Wasiat dan Syair Pembelaan Abu Thalib kepada Nabi Muhammad,
Ilustrasi/Ist
JAUH sebelum kenabian, Abu Thalib sudah mendapat bocoran bahwa keponakannya, Muhammad, adalah Rasul akhir zaman. Ini terjadi ketika Abu Thalib mengajak Muhammad dalam ekspedisi dagang ke Syam bersama kafilah Quraisy. Kala itu, Muhammad masih berumur 12 tahun. 

Kafilah tersebut bertemu dengan Buhaira. Menurut sejumlah peneliti, pertemuan antara Abu Thalib dan Muhammad dengan rahib atau pendeta Buhaira itu terjadi di dalam kuil pendeta Buhaira yang ada di Busra. Di tempat ini, terdapat sebuah tempat ibadah (gereja) yang diyakini banyak orang sebagai gereja Buhaira. Tempat tersebut berada di dekat kawasan Roman Theatre, yang dibangun pada masa pemerintah Romawi (Rum), oleh kaisar Julianus pada tahun 513-512 sebelum Masehi (SM).

Kala itu Buhaira melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad. ''Apa hubunganmu dengan anak kecil itu?'' tanya pendeta ini kepada Abu Thalib.

Abu Thalib menjawab bahwa Muhammad adalah anaknya. Buhaira membantahnya, ''Ia bukan anakmu, dan semestinya anak itu tidak memiliki ayah yang masih hidup.''

Abu Thalib menjawab, ''Ia keponakanku (anak saudaraku). Ayahnya telah meninggal ketika ibunya masih mengandung.''

''Bawalah segera pulang anak itu, dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Demi Allah, jika mereka melihatnya dan mengetahui anak itu seperti yang aku ketahui, maka mereka akan menyakitinya. Putra saudaramu ini akan mengemban tugas yang sangat agung," ujar Buhaira kepada Abu Thalib.

Abu Thalib lalu membawa pulang Muhammad kembali ke Makkah, demikian diceritakan Ibnu Hisyam dalam kitab al-Sirah al-Nabawiyyah.

Abu Thalib adalah tokoh terpandang, dicintai, dihormati dan disegani oleh penduduk Makkah. Beliau dihormati bukan semata-mata karena kedudukannya, tetapi lebih-lebih karena budi pekertinya yang luhur, jiwanya yang besar, kepribadiannya yang tinggi dan tindakannya yang senantiasa adil. 

Pembela Rasul
Pada saat kenabian, Abu Thalib gigih membela Rasulullah. Dengan kekuatan sendiri ia memikul beban membela Nabi Muhammad SAW dari tantangan-tantangan dan perlawanan orang-orang kafir Quraisy. Satu beban yang tak pernah dipikul oleh paman-paman serta keluarga atau kerabat Nabi Muhammad yang lain. 

Al Hamid Al Husaini dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib RA" menulis penilaian yang semacam itu terhadap Abu Thalib, diterima bulat oleh para sejarawan dari segala mazhab. "Abu Thalib berbuat demikian didorong oleh pandangannya yang luas, penglihatan hati dan fikirannya yang tajam, tekad serta semangatnya yang tak terpatahkan," tuturnya. 

Suatu kali, Abu Thalib melihat puteranya Ali secara diam-diam bersembahyang di belakang Rasulullah. Diamatinya putera yang masih muda belia itu telah menjadi pengikut Nabi Muhammad. 
Begitu melihat ayahnya Ali segera menghadap kepadanya, kemudian berkata: "Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mempercayai dan membenarkan agama yang dibawa olehnya dan aku bertekad hendak mengikuti jejaknya!"

Mendengar pernyataan puteranya yang terus terang tanpa dibikin-bikin, Abu Thalib berkata: "Sudah pasti ia mengajakmu ke arah kebajikan, oleh karena itu tetaplah engkau bersama dia!"

Di lain waktu Abu Thalib melihat puteranya sedang berdiri di sebelah kanan Nabi Muhammad SAW yang siap menunaikan sembahyang. Dari kejauhan Abu Thalib melihat puteranya yang seorang lagi yaitu Ja'far. Ja'far segera dipanggil, kemudian diperintahkan: "Bergabunglah engkau menjadi sayap putera pamanmu di sebelah kiri, dan bersembahyanglah bersama dia!" 

Wasiat
Abu Thalib seorang pemimpin yang mempunyai kebijaksanaan tinggi. Ia tidak bersitegang leher mempertahankan kebekuan zaman dan tidak menghalang-halangi hadirnya masa mendatang yang lebih cemerlang. Kebijaksanaan yang tinggi itu tercermin benar dari wasiat yang diucapkannya pada detik-detik menjelang ajalnya, ditujukan kepada orang-orang Quraisy:

"…Wahai orang-orang Quraisy. Kuwasiatkan agar kalian senantiasa mengagungkan rumah itu (Ka'bah). Sebab di sanalah tempat keridhoan Tuhan dan sekaligus juga merupakan tiang penghidupan… Eratkanlah hubungan silaturrahmi, janganlah sekali-kali kalian putuskan. Jauhilah perbuatan zalim… Betapa banyaknya sudah generasi-generasi terdahulu hancur binasa karena zalim...!

"Wahai orang-orang Quraisy. Sambutlah dengan baik orang yang mengajak ke jalan yang benar, dan berikanlah pertolongan kepada setiap orang yang membutuhkan... Sebab dua perbuatan terpuji itu merupakan kemuliaan bagi seseorang, selagi ia masih hidup dan sesudah mati…

Hendaknya kalian selalu berkata benar dan setia menunaikan amanat…!

"Kuwasiatkan kepada kalian supaya berlaku baik terhadap Muhammad. Sebab ia orang yang paling terpercaya di kalangan Quraisy dan tidak pernah berdusta…!

Apa yang kuwasiatkan kepada kalian, semuanya telah terhimpun padanya. Kepada kita ia datang membawa misi yang sebenarnya dapat diterima oleh hati-sanubari, tetapi diingkari dengan ujung lidah, hanya karena takut akan tidak disukai orang lain. 

Demi Allah, aku seakan-akan dapat melihat bahwa orang-orang Arab lapisan bawah, orang-orang yang hidup terlunta-lunta, dan orang-orang yang lemah tidak berdaya, sudah siap menyambut baik seruannya, membenarkan tutur-katanya, dan menjunjung tinggi misi yang di bawanya. Bersama mereka itulah Muhammad mengarungi ancaman gelombang maut!

Namun aku juga seolah-olah sudah melihat, bahwa orang-orang Arab akan dengan tulus hati mengikhlaskan kecintaan mereka dan mempercayakan kepemimpinan kepadanya.

Demi Allah, barang siapa yang mengikuti jejak langkahnya, ia pasti akan menemukan jalan yang benar. Dan barang siapa yang mengikuti petunjuk serta bimbingannya, ia pasti selamat!

Seandainya aku masih mempunyai sisa umur, semua rongrongan yang mengganggu dia, pasti akan kuhentikan dan kucegah, dan ia pasti akan kuhindarkan dari tiap marabahaya yang akan menirnpanya..."

Abu Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad, tetapi juga mengenal pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara beliau sejak kanak-kanak sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu Thalib menyaksikan sendiri bagaimana praktik kehidupan Nabi Muhammad SAW sehari-hari.
Ketika orang-orang kafir Quraisy sudah merasa putus asa dan tidak sanggup lagi membendung dakwah risalah Nabi Muhammad SAW dan tidak berdaya lagi menggertak Abu Thalib supaya menghentikan perlindungan dan pembelaannya kepada Rasulullah, maka tokoh-tokoh mereka mengambil keputusan: melancarkan blokade dan pemboikotan total terhadap semua orang Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib.

Blokade dan pemboikotan total yang demikian itu adalah cara-cara yang dicela oleh tradisi dan moral bangsa Arab sendiri. Tetapi bagi kaum kafir Quraisy, itu bukan soal. Yang penting, tujuan harus tercapai. Segala cara atau jalan mereka halalkan demi tujuan.

Blokade kafir Quraisy itu ternyata lebih mendorong orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib untuk bertambah cenderung dan berpihak kepada Abu Thalib. Orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib berhimpun dalam sebuah Syi'ib (lembah di antara dua bukit).

Dengan semangat baja mereka hadapi kepungan ketat serta pemboikotan total di bidang ekonomi dan sosial. Selama lebih kurang 3 tahun mereka menahan penderitaan dan kelaparan. 
Mereka sampai terpaksa menelan dedaunan sekadar untuk mengganjel perut yang lapar.

Selama masa yang penuh derita dan sengsara itu, Abu Thalib tetap tegak berdiri laksana gunung raksasa yang kokoh-kuat, tak tergoyahkan oleh gelombang badai dan tiupan angin ribut.

Dengan tegas Abu Thalib menolak setiap kompromi dan tawar-menawar yang diajukan oleh orang-orang kafir Quraisy. Penolakkannya itu diucapkan dengan bait-bait syair. Inilah di antara syair-syair tersebut:

"Sadarlah kalian, sadarlah,
sebelum banyak liang digali orang,
dan orang-orang tak bersalah diperlakukan sewenang-wenang.
Janganlah kalian ikuti perintah orang jahat tiada berakhlak 
untuk memutuskan tali persahabatan dan persaudaraan dengan kita.
Demi Tuhan Penguasa Ka'bah,
Kami tak akan menyerahkan Muhammad ke dalam marabahaya
yang dirajut orang-orana penentang zaman,
sebelum terbedakan mana leher kami dan mana leher kalian,
dan sebelum tangan berjatuhan ditebas pedang mengkilat tajam!"

Al-Hamid berpendapat, Abu Thalib bergerak membela Nabi Muhammad SAW bukan disebabkan karena beliau putera saudaranya sendiri. Abu Thalib menyingsingkan lengan baju, karena Nabi Muhammad seorang yang menyerukan kebenaran dan mengajak manusia ke arah kebajikan! Ia membela kebenaran dan bukan membela kekerabatan. Ia menentang dan melawan saudaranya sendiri, Abu Lahab, karena ia tahu, Abu Lahab berada di atas kebatilan.

Tentang betapa adil dan jujurnya Abu Thalib dapat pula disaksikan dari peristiwa berikut. 

Pada suatu hari Rasulullah memberitahukan kepada Abu Thalib, bahwa naskah pemboikotan yang ditempelkan oleh orang-orang kafir Quraisy pada dinding Ka'bah sudah hancur di makan rayap, sehingga tak ada lagi bagian yang tinggal selain yang bertuliskan: "Dengan Nama Allah."
Setelah mendengar keterangan Rasulullah, Abu Thalib segera mendatangi sejumlah tokoh Quraisy. Kepada tokoh tokoh kafir Quraisy itu, Abu Thalib berkata dengan lantang: 

"Hai orang-orang Quraisy, putera saudaraku telah memberitahu kepadaku, bahwa naskah pemboikotan yang kalian tulis dan kalian gantungkan pada Ka'bah, sekarang sudah hancur. Tengoklah naskah kalian itu! Kalau benar terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad, hentikanlah pemboikotan kalian terhadap kami. Tetapi jika Muhammad ternyata berdusta, ia akan kuserahkan kepada kalian!"

Abu Thalib mengatakan semuanya itu hanya berdasarkan kepercayaan yang penuh kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia sendiri belum pernah melihat bagaimana keadaan naskah yang tergantung pada dinding Ka'bah.

Tokoh-tokoh Quraisy merasa puas dengan kesediaan Abu Thalib menyerahkan Nabi Muhammad s.a.w., bila terbukti beliau berdusta. Mereka segera pergi menuju Ka'bah untuk menengok naskah pemboikotan dan ternyata benar apa yang dikatakan Nabi Muhammad s.a.w. Tokoh-tokoh kafir Qureiys lemas, tak berdaya dan terpaksa mengumumkan penghentian pemboikotan pada hari itu juga. 

Aksi komplotan mereka berakhir dengan kegagalan. Dari peristiwa tersebut Abu Thalib memperoleh pembuktian langsung dari Allah s.w.t. tentang benarnya kepercayaan yang selama ini dipertahankan dan dijaganya baik-baik.

Pembuktian yang didapatnya sebagai mu'jizat Rasul Allah s.a.w. itu datang dari kekuasaan Allah dan bukan datang dari seorang famili yang harus diikuti.

Jauh sebelum kejadian di atas, orang-orang kafir Quraisy sudah berkali-kali menghimbau Abu Thalib baik dengan bujuk rayu, maupun dengan ancaman kekerasan. Orang-orang kafir Quraisy pernah mengancam Abu Thalib dengan kata-kata:

"Hai Abu Thalib, engkau orang yang sudah lanjut usia, terhormat dan mempunyai kedudukan terpandang… Kami telah berkali-kali meminta kepadamu supaya engkau melarang putera saudaramu terus menerus berda'wah, tetapi engkau tidak mau melarangnya… Kami tidak dapat lagi menahan kesabaran mendengar orangtua kami dicerca, tuhan-tuhan kami dicela, dan orang-orang arif kami dijelek-jelekkan... Silakan engkau pilih… Apakah engkau bersedia mencegah Muhammad supaya tidak terus menerus menyerang kami, atau, kamilah yang akan bertindak memerangi dia, termasuk engkau sekaligus, sampai salah satu pihak binasa…"

Mendengar ancaman itu, Abu Thalib tetap keukeuh membela Nabi Muhammad. Melalui syairnya dengan tegas Abu Thalib menjawab:

"Aku tahu bahwa agama Muhammad, agama terbaik bagi segenap manusia. Demi Allah, hai Muhammad, mereka tak akan dapat menyentuhmu, sebelum aku terkapar berkalang tanah."

Pada suatu hari Abu Thalib sedang duduk santai di rumah. Tiba-tiba datang Rasulullah kelihatan sedih dan kesal. Setelah duduk, Rasulullah segera menyampaikan persoalannya. 

Mendengar keterangan beliau, Abu Thalib segera mengerti, bahwa orang-orang kafir Quraisy telah berhasil membujuk salah seorang yang berperangai jahat di kalangan mereka melemparkan kotoran ternak dan gumpalan darah beku ke atas kepala Rasulullah. Pelemparan itu dilakukan, di saat Nabi Muhammad sedang sujud bermunajat ke hadirat Allah Ta'la.

Dengan tidak menunggu waktu lagi Abu Thalib bangkit. Dengan tangan kanan membawa pedang terhunus dan tangan kiri menggandeng Nabi Muhammad SAW, ia berangkat mendatangi gerombolan Quraisy yang telah mengganggu Nabi.

Setiba di depan gerombolan itu, Abu Thalib berhenti sejenak. Diperhatikannya gerak-gerik gerombolan itu. Seorang demi seorang mereka mundur. Rupanya di luar perkiraan mereka, bahwa Nabi Muhammad SAW akan datang kembali bersama pamannya.

Abu Thalib terus berteriak kepada gerombolan itu: "Demi Allah, yang Muhammad beriman kepada-Nya. Jika ada seorang dari kalian yang berani melawan, akan kupersingkat umurnya dengan pedang ini!"

Dalam membela dan melindungi Rasulullah dari marabahaya keteguhan Abu Thalib dapat diandalkan benar. Keteguhannya itu tercermin juga dari syair-syair yang diucapkannya sendiri:

Janganlah kalian sulut api pengobar perang,
Yang akibat-pahitnya akan ditelan semua orang!
Demi Allah, Muhammad tak nanti 'kan kuserahkan
Kepada tangan pencetus bencana mengerikan.
Kenalkah kalian siapa Hasyim,
Ksatria yang pernah berpesan,
Agar kami berani berperang dengan semangat jantan?
Kami bukan pejuang-pejuang yang jemu perang,
Tak'kan kami sesali yang gugur di medan juang!
Kubela Rasul, utusan Penguasa Maha Kuasa,
Pembawa amanat berkilauan laksana kilat bercahaya,
Kubela dan kulindungi utusan Tuhan Ilahi,
Karena ia manusia kesayanganku sendiri,
Kulindungi ia dari serangan musuh-musuhnya,
Laksana gadis kulindungi dari gangguan pria!
Hai Abu Ya'la,
Teguh dan sabarlah dalam agama Muhammad,
Nyatakan dirimu terang-terangan sebagai muslim yang mantap,
Bulatkan tekad mendampingi pembawa kebenaran Tuhan,
Betapa riang hatiku mendengar engkau beriman,
Janganlah engkau menjadi kafir tidak bertuhan,
Jadikan dirimu pembela Rasul dan pembela Tuhan,
Tunjukkan agamamu di mata Qureiys terang-terangan,
Katakanlah: Muhammad bukan si tukang sihir!
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: