Kisah Pemerintah Kolonial Kala Phobia Pada Sebutan Khilafah

Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.

Foto:
Kala kolonial phobia kepada kalimat khilafah dan kebangkitan Islam 
  
  
Setiap kali membaca sejarah hubungan antara kebangkitan Islam dan perjuangan melawan kolonial itu selalu menarik. Apalagi saat ini sudah ada hasil skripsi yang sangat baik dari Muhammad Nicko Trisakti Pandawa.

Pengajar Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta, DR Imas Emilia, memuji habis skripsi Nicko. Katanya, meski hanya skrispi tapi kajiannya sangat komplet.

Nicko memang mencari dan mengumpulkan sendiri bahan-bahan skripsinya sangat baik. Dan bila dicermati dia berburu data skrispinya yang berjudul 'Pasang dan Surut Pengaruh Pan-Islamisme Khilāfah ‘Uṡmāniyyah Terhadap Rakyat Hindia Belanda, 1882-1928' sampai ke Mesir dan Turki dengan melibatkan bantuan dari tema-temannya yang belajar di Mesir dan Turki.

''Nicko hebat betul. Dia menulis dengan data lengkap. Mencari data sendiri keberbagai tempat hingga ke banyak negara. Kualitas skripsinya ini potensial jadi sebuah disertasi nanti,'' kata DR Imas Emilia dalam sebuah perbincangan.

Dan dalam soal kajian hubungan kolonial Belanda dan soal politik di kalangan umat Islam pun sebenarnya sudah banyak dikaji. Salah satu yang monumental dan menjadi peletak dasarnya adalah disertasi DR Aqib Suminto kala menulis disertasi di Universitas Leiden Belanda pada tahun aqal tahun 1980-an: 'Politik Islam Hindia Belanda'.

Tapi agak berbeda dengan Aqib, Nicko menuliskajiannya dengan lebih khusus dan mengundang perhatian. Dia berani menuliskan kata Khilafah dalam skripsinya. Adanya kata ini memang mengejutkan karena pada saat sekarang jelas sekali ada 'phobia' kepada kata ini seolah-olah sebagai sebutan yang berkonotasi buruk sekali.

Nah, apa yang ditulis Nicko dalam pengantar kajiannya kemudian bisa dicermati secara sekilas latar belakang mengapa pemerintah kolonial kala itu begitu ketakutan pada gerakan yang disebut sebagai kebangkitan Islam politik.

Ini menjadi penting dan masuk akal, sebab kala itu kolonial Belanda sudah punya garis yang tegas seperti dinasihatkan oleh Snuck Hurgronje. Kebijakannya adalah kalau sekedar Islam hanya sebagai bentuk ibadah ritual semata tak dipersoalkan. Namun, kala sudah menjadi ekpresi apalagi gerakan politik maka harus segera dimatikan atau ditumpas.

Mari kita nikmati awalan dari skripsi Nicko tersebut. Kami memuatnya begitu saja dengan menghilangkan bagian catatan kakinya:

----------

Pada 22 Agustus 1873, Kementerian Luar Negeri Belanda yang berkedudukan di Den Haag mengirim sebuah edaran yang ditunjukkan kepada para konsulnya di negeri-negeri Islam untuk melaporkan gejala “kebangkitan agama dan politik” di kalangan kaum Muslim.

Wajar saja jika Pemerintah Belanda merasa awas, karena memang saat itu kekuasaan yang dianggap paling tinggi di seluruh dunia Islam, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, sedang melancarkan politik Pan-Islamisme (İttiḥat-ı İslam) baik untuk Muslim yang ada dalam teritorialnya maupun yang berada di bawah penjajahan Eropa.

Dalam konteks kekuasaan atas tanah jajahan, Belanda begitu khawatir dengan gencarnya arus Pan-Islamisme yang melanda rakyat Hindia-Belanda.
  Kekhawatiran itu dirasakan betul tatkala Belanda mendeteksi pengaruh Pan-Islamisme Khilāfah ‘Usmāniyyah secara langsung, apalagi semenjak Khilāfah ‘Usmāniyyah menempatkan konsul-konsulnya di Batavia dari tahun 1882 sampai 1924.

Belanda amat keberatan dengan pembukaan konsulat Khilāfah di wilayah jajahan mereka, karena dikhawatirkan para konsul ‘Uṡmāniyyah  (Osmanlı şehbenderleri) akan membangkitkan “fanatisme yang penuh dendam dan mudah terbakar” di kalangan penduduk terjajah.

Dari ‘fanatisme Islam’ yang dimaksud Belanda itu, efeknya akan merongrong kekuasaan mereka di tanah Hindia-Belanda. Mana ada penguasa yang ingin kekuasaan yang sedang dinikmatinya itu tumbang? Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) membeberkan potensi Pan-Islamisme untuk menumbangkan kekuasaan Belanda, 
  
  
  Meskipun Pan-Islamisme belum tersusun rapi, tetapi di negeri- negeri Islam di bawah kekuasaan Eropa ia sering merintangi perkembangan biasa hubungan bersahabat antara si penjajah dan yang dijajah. Mengandalkan diri pada adanya rasa ketidakpuasan di segala bidang, dengan diam-diam ia beraksi sebagai unsur pengganggu, tanpa adanya harapan bahwa perpecahan yang ditimbulkan atau diperbesar, bisa menghasilkan perbaikan bagi mereka.

Efek Pan-Islamisme Khilāfah ‘Uṡmāniyyah kepada Muslim di Hindia-Belanda benar-benar berpengaruh untuk menggerakan emosi dan pikiran mereka untuk melawan kekuasaan kolonial. Contohnya tatkala Basiret, surat kabar yang terbit di İstanbul, menulis artikel bertanggal 9 Juli 1873 yang memberitakan bahwa Khilāfah akan mengirim delapan kapal perang ke Sumatera, berita ini dikutip oleh Reuters, agen berita dari Inggris dan informasinya sampai ke Penang.

Walaupun berita tersebut di kemudian hari tidak bisa dibuktikan kebenarannya, seorang Aceh yang kebetulan berada di Penang terlanjur menyampaikan berita tersebut kepada khalayak Aceh sehingga menghebohkan seluruh nanggroe.

Pengaruh Khilāfah ‘Uṡmāniyyah di Aceh ketika masa-masa perang melawan Belanda (1873-1903) begitu kuat, sebagaimana perkataan orang-orang Aceh kepada seorang pedagang Prancis pada tahun 1875, bahwa banyak pemimpin mereka telah memutuskan untuk tidak pernah berhenti berperang sampai Khalīfah sendiri turun tangan untuk menyelesaikannya.

Sentimen keterikatan dan harapan akan bantuan dari Khilāfah ‘Uṡmāniyyah bahkan meluas hampir ke seluruh kawasan di Hindia Timur, sebagaimana yang Göksoy paparkan,

  • Not only the Acehnese but most people in the region believed that the Ottomans might intervene. When Snouck Hurgronje, the Advisor on Native Affairs to the colonial government, was instructed to investigate the repercussions of the war in Java and Singapore, he found even in West Java many religious and secular leaders very symphathetic to Aceh. Although he himself did not seriously contemplate Ottoman intervention, he found a widespread belief in Java as well as Singapore that the Ottoman Empire had the right and the strength to intervene if it wished, since Aceh was under its protection. 
  • Terlepas dari semua euphoria tersebut, pada akhirnya – sebagaimana sindiran Jan Schimdt, apa yang dilakukan Pan-Islamisme Selain secara umum membantu membangkitkan perasaan keislaman yang begitu luas sebelum berkembangnya gerakan nasionalisme, sangat sedikit aksi nyata yang telah Khilāfah ‘Uṡmāniyyah lakukan di Hindia-Belanda: Tidak ada kapal perang Khilāfah ‘Uṡmāniyyah yang pernah sampai di pantai Aceh ketika berkecamuk perang dari 1873 sampai 1903, dan ketika ada warga Belanda yang tinggal di wilayah ‘Uṡmāniyyah toh mereka tidak pernah terkena boikot.

Hal ini dapat dimaklumi karena selain Khilāfah ‘Uṡmāniyyah sudah melemah semenjak abad ke-19, politik luar negerinya pun sudah mulai terbatas semenjak Khilāfah ‘Uṡmāniyyah meninggalkan Islam sebagai dasar hubungan internasional.

Sebagai gantinya, mereka menganut sejumlah hukum Eropa dalam kerangka hubungan internasional pada 1856,7 yang berarti Khilāfah ‘Uṡmāniyyah tidak bisa ‘ikut campur’ sedemikian bebasnya untuk urusan Hindia Timur yang dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda.

Ironisnya lagi, yang pada akhirnya meruntuhkan dominasi kolonial atas kaum Muslim di Hindia-Belanda bukanlah – setidaknya, bukan yang utama – semangat persatuan Islam yang diilhami dari gagasan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, melainkan satu gagasan yang justru lahir dari rahim Barat, apalagi kalau bukan nasionalisme.

Padahal, di tahun 1924 justru nasionalisme-lah yang telah berperan besar dalam kehancuran Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, sekaligus melenyapkan institusi Khilāfah yang sudah berjalan semenjak masa Khalīfah Abū Bakr dan al-Khulafā’ al- Rāsyidūn setelahnya di abad ke-7. 

No comments: