Si Pitung, Tuan Tanah Cina, dan Pribumi Pengkhianat


Kali ini saya mau menuliskan tema sejarah. Sumber yang saya dapati mengenai hal ini seperti biasa saya ambil dari kitab Al Fatawi dan catatan-catatan yang berserakan milik salah satu keturunan penulis kitab Al Fatawi.

Berbicara tentang Pituan Pitulung atau Pitung biasanya kita lebih banyak mengetahui dari film-film yang dibuat pada tahun 1972 terutama yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen. Padahal skenario yang ditulis dalam film itu tercampur dengan imajinasi sang penulis skenario.

Pituan Pitulung atau Pitung bagi masyarakat Betawi adalah sosok Pahlawan pembela rakyat kecil. Keberadaannya nyata dan ini dibuktikan dengan adanya tulisan tentang mereka di kitab Al Fatawi yang disalin ulang dari catatan lama pada tahun 1910 Masehi oleh Kumpi KH Ahmad Syar’i Mertakusuma.. Pitung yang diceritakan pada film tahun 1972 sebenarnya intinya tetap sama, yaitu perlawanan terhadap kezaliman rakyat kecil, hanya sayangnya pada pembuatan film tersebut banyak ahli waris Pitung yang tidak dilibatkan, lagipula masyarakat yang dekat dengan kehidupan Pitung seperti di kawasan Jipang Pulorogo (kini daerah itu meliputi daerah Slipi, Palmerah, Kemanggisan, Rawa Belong dan sekitarnya) masih sangat tertutup untuk membuka sejarah Pitung dikarenakan trauma sejarah yang telah mereka alami. Masih terasa sakit hati mereka ketika leluhurnya dizalimi oleh penjajah dan kaki tangannya. Masih terasa di relung hati mereka bagaimana beberapa anggota Pitung gugur akibat kezaliman para penguasa tiran.

Banyak yang tidak mengetahui bahwa salah satu penyebab perlawanan Pitung adalah karena adanya kesewenang wenang Tuan Tanah China yang disokong oleh Penjajah Belanda. Tuan tanah China pada masa itu sangat kuat pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Jakarta. Mereka ini kadang bisa menentukan kebijakan yang akan ditentukan oleh fihak Penjajah. Kerjasama dua golongan ini benar-benar telah menciptakan kesengsaraan bagi rakyat Betawi. Penjajah memang sangat memanjakan golongan yang satu ini karena dari mereka banyak mendapatkan masukan berupa “upeti”, disamping itu sejak dahulu memang golongan tuan tanah china adalah fihak yang sangat mudah diajak kerjasama dalam berbagai hal.

Kerjasama dua golongan ini memang dikenal solid, keberadaannya bahkan semakin menakutkan tatkala mereka berhasil merekrut beberapa pribumi untuk dijadikan kaki tangan mereka. Pribumi yang bermental budak tersebut mereka bayar dengan uang keping sesen dua sen. Bermodalkan bayaran yang sebenarnya tidak besar itu Tuan tanah Cina dan Penjajah berhasil menciptakan ketakutan-ketakutan pada masyarakat kecil.

Pada saat ketakutan dan kegelisahan rakyat terhadap tuan tanah china dan penjajah belanda, tidak lama kemudian muncullah perlawanan rakyat Betawi yang dimotori oleh para Mujahid Islam yang bernama Pituan Pitulung yang dibentuk atas saran para Pejuang Jayakarta dibawah binaan para ulama dan sesepuh adat Jayakarta pada saat itu. Pituan Pitulung adalah perlawanan lanjutan dari perlawanan-perlawan sebelumnya yang pernah dikumandangkan Mujahid Jakarta, dan itu terjadi sejak masa Fattahillah sampai dengan masa Pituan Pitulung. Pusat gerakan ini berada di Pondok Pesantren KH Haji Naipin Kebon Pala Tenabang. Sedangkan domisili keluarga Pituan Pitulung, terutama tokoh Penghulu Pitung, mereka berada di wisma Jipang Pulorogo yang sekarang sudah menjadi milik kompas. Wisma Jipang sudah beralih menjadi milik kompas dan sudah tidak ada lagi karena diganti bangunan besar yang kini berdiri menjadi Harian Kompas Gramedia.

Munculnya Pitung jelas merupakan hal yang didambakan rakyat kecil. Rakyat mulai berani menghadapi para Centeng-centeng yang dibayar para Tuan tanah China, memang tidak semua Tuan tanah china yang bersikap seperti ini, namun jumlahnya tidak banyak, itupun mereka pada akhirnya harus loyal kepada Penjajah ketimbang kepada rakyat. Tidak jarang bentrok fisik sering terjadi antara rakyat dengan para centeng-centeng penghianat pribumi yang dibayar murah ini acap kali terjadi. Rakyat kecil yang merupakan penduduk asli Betawi tidak jarang selalu dihadapkan dengan pribumi yang didatangkan dari beberapa daerah. Politik devide et impera benar-benar dijalankan penjajah dan tuan tanah china.

Kondisi demikian segera bisa dibaca Pitung. Merekapun kemudian terus melakukan perlawanan dan tekanan-tekanan kepada para centeng dan tuan tanah China. Perkelahian sering tidak terhindarkan, Namun dari beberapa perkelahian tidak ada satupun yang bisa mengalahkan Pitung. Hal ini tentu semakin membuat marah para tuan tanah china, sehingga merekapun kemudian meminta bantuan kepada penjajah untuk mengatasi perlawanan Pitung, terlihat jika para tuan tanah ini sangat ketakutan akan sepak terjang para Mujahid Jayakarta ini.Selain perlawanan fisik, Pituan Pitulung, KH Naipin juga mengadakan hubungan komunikasi politik dengan tokoh-tokoh Islam yang saat itu banyak yang simpati terhadap gerakan ini.

Belanda yang melihat kegelisahan para tuan tanah china segera menyikapi, maka diutuslah Schout Van Hinne untuk mengatasi perlawanan Pitung. Belanda juga kemudian merekrut Marsose yang merupakan Tentara Bayaran yang didatangkan dari beberapa daerah bangsa sendiri untuk menghadapi Pitung. Mendengar hal ini Para Pendekar Pitung yang dimotori oleh Radin Muhammad Ali dan Radin Muhammad Roji’ih justru semakin menghebat perlawanannya. Perlawanan tidak melulu melalui fisik, beberapa tulisan juga mereka lakukan dengan mengirimkan surat peringatan keras kepada mereka yang selama ini pro kepada Penjajah.

Gerakan Pitung semakin membuat marah pemerintah Belanda karena dalam beberapa tahun sulit untuk ditangani Schout Hinne. Hal ini bahkan telah juga membuat marah Snouck Horgronje yang merupakan penasihat Kerajaan Belanda. Snouck jengkel karena Hinne tidak mampu mengatasi Pitung. Oleh karena itu sekali lagi Belanda akhirnya membuat strategi pecah belah dengan menggunakan Marsose untuk mengejar habis para pejuang Islam ini. Belanda juga memanfaatkan pribumi lemah iman untuk membocorkan keberadaan Pitung. Para centeng-centeng bayaran direkrut dan difasilitasi. candu-candu disebar agar para anjing-anjing kompeni itu bisa berbuat anarkis dalam aksinya. Tindakan penjajah ini tentu sangat membuat senang tuan tanah china yang ada di Betawi, tidak segan-segan mereka itu mengeluarkan uang kepada Belanda agar penjajah ini segera bisa menangkap Pitung.

Tindakan Belanda selanjutnya adalah dengan mempersempit ruang gerak Pitung. Semua mata-mata dikerahkan, propaganda disebarkan. Tidak jarang terdengar berita jika anggota Pitung ada yang tertangkap, padahal kenyataannya hal itu bohong besar. Anggota Pitung hanya sekali tertangkap saat Bang Saman dan Bang Jebul tertangkap hingga kemudian mereka dipenjara di Glodok. Tapi penangkapan ini tidak lama, karena kemudian dua orang anggota Pitung tersebut berhasil lolos bahkan mereka berhasil membunuh penjaga penjara.

Lolosnya dua orang anggota Pitung tentu sangat menggelisahkan tuan tanah china dan para centeng-centeng yang telah membocorkan keberadaan Pitung. Lolosnya kedua tokoh penting itu juga membuat fihak Belanda jengkel…perburuan terus dilakukan…semua yang berkaitan dengan Pitung diteror ! Tuan tanah china semakin semena-mena, sanak famili Pituan Pitulung diancam. ternak peliharaan mereka dirampas, daerah Jipang Pulorogo yang berada di pinggir kota, mulai mereka intai dan diambil tanahnya satu persatu dan menempatkan pribumi pendatang untuk mendesak pribumi asli yang sudah ratusan menetap di daerah Jipang Pulorogo.

Pitung tetaplah Pitung, mereka terus secara keras melakukan perlawanan, dan ini sesuai dengan pesan gurunya agar mereka harus tetap berjuang dan selalu membela rakyat kecil, gelora jihad fisabillah tetap harus dikobarkan. Takbir dalam setiap perlawanan selalu dikumandangkan para pejuang Islam ini. Gerak langkah Pitung ini juga didukung keluarga besar keturunan Jayakarta yang tersebar di beberapa tempat seperti Cengkareng, Kalideres, Ciledug, Cakung, Marunda, Kebayoran, Condet, Jatinegara Kaum, Kayu Putih, Kemanggisan, Rawa Belong, Tenabang, Jelambar, Slipi, Kemandoran, Senen, Klender, Pekojan, Sawah Lio, dll.


Perjuangan Pitung terus berjalan hingga satu demi satu para tokohnya gugur. Ji’ih gugur tertembak sebelum tahun 1899 Masehi, namun jenazahnya masih bisa diselamatkan. Radin Muhammad Ali yang merupakan pemimpin gerakan ini gugur tahun 1905 dan kemudian mayatnya dimutilasi para anjing-anjing penjajah tersebut.

Namun demikian sebelum gugur Radin Muhammad Ali masih sempat mewasiatkan kepada pengganti Ji’ih yaitu KH Ahmad Syar’i atau Kong Syar’i untuk meneruskan perjuangan Pituan Pitulung bila mereka gugur. Dan estafet perjuangan itu akhirnya diteruskan oleh Kong Syari dan keluarga besar pejuang-pejuang Jayakarta yang masih ada. Perjuangan pasca syahidnya Radin Muhammad Ali tahun 1905 Masehi dilanjutkan, hingga kemudian muncullah perlawanan petani condet dan Ki Dalang hingga akhirnya kemudian muncul nama MH Thamrin untuk bergerak di dalam bidang politik. Keberadaan para pejuang Jakarta juga mulai diperhitungkan para aktifis politik seperti HOS Cokroaminoto, Gunawan Mangunkusumo, dll. Mereka sangat simpati dengan perjuangan rakyat Jakarta yang selalu gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dibumi warisan Fattahillah ini..

Masa Pitung memang telah berlalu, namun semangat jihad fisabillah mereka patut dikenang sebagai perlawanan heroik masyarakat pribumi Jakarta. Perlawanan mereka tidak pernah kalah sekalipun para tuan tanah china, pribumi penghianat dan penjajah mencoba menghalangi perlawanan mereka. Bagi Pitung mati syahid lebih mulia daripada hidup terjajah….
“INNA FATAHNA LAKA FATHAN MUBINA”

No comments: