Akhir Persahabatan Kartosoewirjo dan Sukarno
Tahun 1923 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo melanjutkan kuliah di Nederlands Indische Artsen School (Pendidikan Tinggi Kedokteran) di Surabaya. Tahun inilah dimulai masa perkenalannya dengan Sarekat Islam (SI) dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Hubungan antara Tjokroaminoto dan Kartosoewirjo, adalah antara guru dan murid. Berkat kecerdasan dan keberpihakannya yang kuat terhadap Islam, Tjokroaminoto meminta Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadinya. Kartosoewijo pun berkesempatan tinggal di rumah Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No. 29–31 Surabaya. Interaksi seperti yang pernah dilakukan Tjokroaminto kepada Sukarno, berulang pada diri Kartosoewirjo.
Ya. Sukarno dan Kartosoewirjo sama-sama berguru kepada Tjokroaminoto. Keduanya pernah menjadi anak kos di rumah Tjokroaminoto.<
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang juga salah satu pendiri Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) Aji Dedi Mulawarman, mengisahkan bahwa Sukarno menyebut Rumah Peneleh sebagai dapur nasionalisme. Julukan ini memang tak berlebihan, karena di tempat itulah Tjokroaminoto melakukan pengkaderan untuk menggodok putra-putra terbaik bangsa, baik langsung maupun tak langsung. Beberapa muridnya antara lain seperti Sukarno (Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia), Kartosoewirjo (tokoh Pendiri Negara Islam Indonesia), Semaoen, Alimin, Moeso (tokoh-tokoh utama PKI), dan masih banyak lagi.
Boleh dibilang Rumah Peneleh saat itu bagaikan "rumah bernyawa". Karena di rumah itu Tjokroaminoto melakukan aktivitas sehari-hari, menerima tamu dari kalangan biasa sampai tokoh-tokoh utama negeri yang nantinya bernama Indonesia, hingga menjadi tempat diskursus ideologi, diskursus masalah kontekstual negeri, bahkan menjadi tempat di mana rencana-rencana besar Sarekat Islam digerakkan.
"Tak dapat disangkal, Rumah Peneleh juga menjadi simbol bagi lahirnya guru bangsa," ujar Aji dalam buku Jang Oetama: Jejak H.O.S Tjokroaminoto.
Pertemanan Sukarno dan Kartosoewirjo juga terungkap melalui kisah dalam buku yang ditulis Roso Daras. Ceritanya bermula dari pesan Tjokroaminoto yang menyatakan, "Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator".
Pesan itu sangat diingat Soekarno, hingga setiap malam dia selalu belajar pidato. Setiap Sukarno belajar berpidato, suaranya yang lantang terdengar sangat mengganggu kawan-kawannya yang juga tinggal di rumah Tjokroaminoto, seperti Moeso, Alimin, Kartosoewirjo, dan Darsono. Tidak jarang, mereka yang mendengar tertawa.
Bahkan, sering kali saat Sukarno sedang belajar berpidato, kawan-kawannya memintanya untuk berhenti, karena merasa terganggu. Tetapi Soekarno tak mau peduli, ia tetap melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya yang gelap.
Menurut Roso Daras, Kartosoewirjo pernah melontarkan ejekan kepada Sukarno saat latihan pidato. Ia menuliskan mengenai karibnya hubungan keduanya kala itu di buku Bung Karno Vs Kartosuwiryo, Serpihan Sejarah Yang Tercecer.
“Hei Karno, buat apa berpidato di depan kaca? Seperti orang gila saja,” kata Kartosoewirjo.
Mendengar celetukan itu, Sukarno diam saja terus melanjutkan pidatonya. Setelah pidatonya selesai, dia baru membalas ejekan Kartosoewirjo. Kalimat pertamanya adalah penjelasan kenapa dia belajar berpidato sebagai persiapan untuk menjadi orang besar. Pada kalimat kedua, Soekarno baru membalas ejekan kawannya itu.
"Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting, mana bisa jadi orang besar!.” ucap Sukarno dibarengi oleh tawa keduanya.
Peristiwa itu terjadi di rumah Tjokroaminoto, hingga keduanya tumbuh dewasa. Roso Daras menceritakan, Kartosoewirjo memang paling dekat dengan Sukarno dibandingkan dengan pemuda lain yang "mondok" di Rumah Peneleh. "Mungkin karena yang lain (Semaoen, Alimin dan Moeso) lebih senior," kata Roso kepada medcom.id, Kamis (18/8/2016).
Ia menambahkan, di rumah itu memang nuansa politik dan suasana pergerakan sangat kental. Namun, mereka yang kos di rumah tersebut bergaul layaknya anak muda pada zamannya. Saling ledek, saling ejek, juga penuh canda tawa.
Kader Tjokroaminoto
Meski lahir dari kalangan bangsawan, Tjokroaminoto terkenal konsisten menyuarakan persamaan hak untuk kaum pribumi. SI pun menjadi mesin perjuangan pribumi yang masif kala itu, anggotanya lebih dari dua juta orang dan tersebar di berbagai daerah.
Kondisi inilah yang mengundang sejumlah tokoh pergerakan kerap mendatangi Tjokroaminoto, berkumpul dan diskusi di rumahnya. Sebut saja tokoh Islam Agus Salim, tokoh nasionalis Ki Hajar Dewantara hingga tokoh sosialis "kiri" Hendrikus Sneevliet.
Sebagai "bangsawan pikir" yang sanggup menggerakkan jutaan orang dan berpengaruh di kalangan pergerakan saat itu, pemerintah kolonial menjuluki Tjokroaminoto sebagai “Raja Jawa tanpa Mahkota”, atau De Ongekroonde van Java. Baca: Tjokroaminoto: Prinsip Utama Sosialisme Islam dan Kontekstualisasi Sosialisme ala Tjokroaminoto
Karisma Tjokroaminoto dalam memimpin, mengagitasi, pidato, hingga pemikiran ”zelfbestuur”-nya (kemandirian bangsa dengan pemerintahan sendiri), kian mempesona anak semangnya di rumah. "Rumah Cokroaminoto menjadi “surga pengetahuan” bagi anak-anak muda pada jaman itu untuk lebih mengerti keadaan bangsanya. Cokroaminoto memposiskan diri sebagai mentor bagi anak-anak muda," ucap Sukarno dalam biografi Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.
Dari sederet nama pemuda yang dikader Tjokroaminoto, Sukarno yang paling mampu merebut hati sang guru. Selain karena sering diajak Tjokro dalam aktivitas politiknya, Sukarno kerap memperlihatkan kecerdasannya dalam berdiskusi.
Sukarno juga dipercaya Tjokro untuk menggantikan posisinya dalam rapat-rapat SI bila ia berhalangan hadir. "Sejarah menyebutkan, di manapun ketika Tjokro berhalangan, microphone diberikan ke Sukarno," tutur Roso.
Sejarawan Peter Kasenda, dalam tulisannya seputar pergerakan SI, menduga Sukarno telah dipersiapkan Tjokro sebagai pewaris kepemimpinan Sarekat Islam. “Alasan itu juga yang membuat Tjokro mengangkat Sukarno sebagai menantu,” katanya.
Sukarno pernah menikah dengan putri sulung Tjokroaminoto bernama Siti Utari. Saat itu usia Sukarno masih 21 tahun, sementara usia Utari belum genap 16 tahun.
Dalam biografi yang ditulis Cindy Adam, Sukarno mengungkap alasan pernikahan itu. Yakni, ingin membahagiakan Tjokro yang saat itu terpukul setelah isterinya meninggal dunia. Tjokro tampak khawatir terhadap hari depan anaknya, siapa yang akan menjaganya, sementara ia harus mengurus Sarekat Islam yang kerap direpresi Belanda. Ditengarai adik Tjokro atau paman dari Utari yang melobi Sukarno untuk menikahi Utari.
Sukarno menikahi Utari dengan status "kawin gantung. Lantaran ia belum bisa memberi nafkah dan Utari masih tinggal di rumah Tjokroaminoto. Pengakuan Sukarno kepada Cindy Adams, meski statusnya menikah, tetapi ia tidak bercampur dengan Utari karena usianya yang masih belia. "Boleh jadi aku seorang yang pencinta, akan tetapi aku bukanlah seorang pembunuh anak gadis remaja. Itulah sebabnya, mengapa kami melakukan kawin gantung. Pesta kawinnya pun digantung,” kata Sukarno.
Namun, pernikahan dengan Utari itu tidak berlangsung lama. Setelah menamatkan pendidikan menengah pada HBS (Hogere Burger School), Sukarno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk kuliah di THS (Technice Hogere School/Sekolah Teknik Tinggi - sekarang Institut Teknologi Bandung). Lantaran itu, Sukarno menceraikan Utari secara baik-baik. Pada titik ini, interaksi “Keislaman” dengan Tjokroaminoto, terutama menyangkut penyelaman ideologi Islam, baik secara personal maupun organisatoris tidak lagi dirasakan oleh Sukarno.
Sementara itu, interaksi Tjokroaminoto dengan Kartosoewirjo berjalan intens. Pada saat itu, keduanya sedang berada pada situasi perlawanan Sarekat Islam yang makin keras terhadap Belanda dan Komunis. Tjokroaminoto pun sedang getol-getolnya menulis dan mendesain Sosialisme Islam, tafsir program Asas dan program tandhim, serta memperkuat pengkaderan di lingkungan Sarekat Islam. Kedekatan ini memberi pengaruh Islam yang sangat kental pada Kartosoewirjo.
"Diskursus yang berkembang pada masa kedekatan mereka berdua, Kartosoewirjo dan Tjokroaminoto, adalah Islam sebagai kata kunci penyelesaian masalah negeri, bukan lagi zelfbestuur," kata Aji saat berbincang dengan medcom.id di Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Berbeda dengan Kartosoewirjo yang harus mendampingi Tjokroaminoto sehari-hari. Sukarno juga banyak melakukan interaksi dengan tokoh-tokoh tua lain di luar Tjokroaminoto, yang banyak dari kalangan Nasionalis Sekuler.
Menurut Aji, inilah yang menjadikan Sukarno percaya Islam sekaligus juga percaya Sosialisme. Meski begitu, ketika melihat keduanya, Sukarno sangat moderat. Sehingga hasilnya adalah Pidato Pancasila tanggal 1 Juni 1945 yang memiliki jiwa nasionalis dan sosialis yang beragama. "Nah, nantinya juga ketika pada masa Orde Lama, beliau malah mendekatkan Islam sebagai ideologi yang sejajar dengan Nasionalis dan Komunis, yang kemudian disebutnya dengan Nasakom, Nasionalis-Agama-Komunis," kata Aji.
Kritikan
Nasionalisme mengental dalam diri Sukarno setelah mengenal Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker, pentolan Indische Partij. Lebih dari itu, pada 1922, Sukarno, yang saat itu mengetuai Algemeene Studie Club (ASC), turut bergabung dengan organisasi politik ini.
Kepada Cindy Adams, Sukarno bercerita pernah bertemu dengan Kartosoewirjo dalam sebuah kesempatan di Bandung. Namun, pertemuan dua sahabat itu tidak mempengaruhi pilihan politik masing-masing. Kartosoewirjo, yang saat itu menjadi asisten pribadi Tjokroaminoto dan memimpin keredaksian koran Fadjar Asia milik Tjokroaminoto, tetap yakin bahwa diperlukan persatuan umat Islam untuk mencapai kemerdekaan Indonesia sejati, dan mendirikan pemerintahan pribumi yang mandiri dalam masyarakat Islami.
Peneliti dan antropolog dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, menyatakan perdebatan Kartosoewirjo dengan Sukarno soal ideologi sering muncul. Meski begitu, saling ejek antara dua karib itu pun masih terjadi. Dengan nada kritik, Kartosoewirjo mengatakan kepada Sukarno agar lebih banyak belajar agama.
"Ejekan itu dibalas Sukarno. Katanya, Kartosoewirjo hanya bisa menulis pamlet, artikel, tulisan pendek-pendek, tidak bisa menulis buku," tutur Chaidar, yang mengaku sebagai pengagum Kartosoewirjo, saat dihubungi medcom.id pada Kamis (18/8/2016).
Di Bandung, Sukarno bersama kawan-kawannya di ASC memperlihatkan kemajuan dalam gerakannya. Sukarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang kelak menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sementara itu, Sarekat Islam - yang sudah menjadi Partai Sarekat Islam - justru alami perpecahan. Perpecahan itu antara kelompok Cokroaminoto dengan kelompok muda yang terpengaruh pola perjuangan "kiri" ala komunisme pimpinan Semaoen.
SI di bawah Semaoen, yang dijuluki SI Merah, kemudian bermetamorfosa menjadi Sarekat Rakyat (SR), selanjutnya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada 1926.
Nahas, gerakan Semaoen berhasil dipatahkan, dan pemerintah Belanda mulai represif. Tokoh-tokoh pergerakan, mulai dari "kiri" hingga "kanan", hampir semua ditangkap, dihukum, dipenjara dan diasingkan.
Di kala pergerakan mencapai titik lesu, gagasan nasionalisme dari Bandung semakin diterima di akar rumput. Belajar dari gagalnya aksi PKI dan ditangkapnya aktivis-aktivis pergerakan, Sukarno kampanyekan perjuangan bersama lintas ideologi.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, Sukarno adalah modifikasi sang guru, si "singa podium" Tjokroaminoto. Karisma, keberanian dan gaya agitasi Sukarno mirip Tjokro, termasuk pidato-pidatonya. Lumrah bila nasionalisme di tangan Sukarno disambut gempita kala itu.
Meski begitu, aktivis Islam menunjukkan kekhawatirannya terhadap nasionalisme "sekuler" Sukarno yang pengaruhnya semakin besar.
M. C. Ricklefs, dalam buku Sejarah Indonesia Modern, menulis, sejak 1925 saja Agus Salim yang merupakan salah satu rekan perjuangan Tjokroaminoto di Sarekat Islam sudah memperingatkan kaum muslim bahwa ide Sukarno tentang 'ibu pertiwi Indonesia' membahayakan kesetiaan tunggal mereka kepada Tuhan.
Ahmad Hasan dari Persatuan Islam juga mengecam ide-ide kaum nasionalis. Termasuk Mohammad Natsir, yang kala itu tampil sebagai ahli politik Islam, menulis artikel-artikel yang menyatakan bahwa hanya Islam yang dapat menjadi dasar bagi suatu kebangsaan Indonesia.
Tiga proklamasi
Chaidar bercerita, pada zaman pendudukan Jepang, tepatnya menjelang kekalahan Jepang terhadap sekutu, Kartosoewirjo sempat bertemu kembali dengan Sukarno. Ia menyarankan agar Sukarno, yang saat itu Ketua PPKI, segera proklamasikan kemerdekaan Indonesia sebagai negara Islam.
"Setelah peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki, pada 11 Agustus Kartosoewirjo berangkat dari Malangbong (Jawa Barat) ke Jakarta melalui Bandung, ingin proklamasikan negara Islam," kata Chaidar.
Saat itu kiprah politik kaum nasionalis sedang di atas angin. Sukarno dan Hatta menentang keinginan Kartosoewirjo. Selang beberapa hari, Sukarno dan Hatta pun diculik kelompok pemuda ke Rengasdengklok, dan pada 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah itu, keduanya diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Sayangnya, Belanda yang didukung sekutu kembali datang, belum mau mengakui kedaulatan Indonesia. Revolusi Indonesia pun pecah, perang fisik dan diplomasi dilancarkan demi memperoleh pengakuan de jure sebagai negara berdaulat.
Saat itu politik ideologi kembali mewarnai perjuangan bangsa Indonesia. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler.
"Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara," kata Chaidar, seperti yang pernah ia tulis dalam bukunya berjudul Negara Islam Indonesia: Antara Fitnah dan Realita.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, semakin kacau dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda, tentang pengakuan garis demarkasi Van Mook.
Di Madiun, pada 1948, Moeso yang baru saja pulang dari Uni Soviet memproklamasikan negara Soviet Indonesia bersama PKI-nya. Namun, Sukarno, melalui tentara Republik pimpinan A.H Nasution berhasil menumpasnya. Dalam operasi penumpasan ini, Moeso, yang juga alumni Rumah Peneleh, tewas.
Sementara itu, Jawa Barat, yang saat itu diputuskan sebagai wilayah kekuasaan Belanda, memaksa pasukan Republik harus mundur ke Jawa Tengah. Mulai dari sini, Kartosoewirjo memimpin gerakan perlawanan dengan menolak perintah mundur ke Jawa Tengah. Didukung laskar Hizbullah dan Sabilillah Jawa Barat, Kartosoewirjo mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII) untuk melawan Negara Pasundan yang merupakan Boneka Belanda.
Bahkan, di saat kekosongan kekuasaan itu, pada 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) dengan wilayah de facto Jawa Barat, atau disebut Darul Islam (DI). Tak hanya itu, ia mengangkat dirinya sendiri sebagai kepala negara atau Imam NII.
Chaidar mengatakan, Kartosoewirjo menganggap proklamasi NII merupakan kelanjutan proklamasi 17 Agustus 1945. Republik dianggap telah runtuh, maka NII akan melindungi warga Jawa Barat, yang menurutnya telah ditinggal pimpinan Republik setelah perjanjian Renville.
"Pemikiran gurunya, Tjokro, soal pribumi dan kebangsaan masih melekat pada Karto. Boleh jadi ini sebabnya negara Islam yang didirikan tak lepas dari nama Indonesia sebagai identitas kebangsaan. Bahkan benderanya saja didasari merah-putih, bukan hitam atau warna lainnya," kata Chaidar.
Dalang upaya pembunuhan
Bagi pihak Republik, agresi Belanda yang menyerang ibukota Yogyakarta saat itu, telah membatalkan perjanjian Renville. Pemimpin pasukan Republik, Panglima Sudirman, menginstruksikan divisi Siliwangi kembali ke posnya, Jawa Barat.
Di sinilah terjadi pertempuran segitiga antara tentara DI/TII, Belanda, dan pasukan Republik. Kartosoewirjo menganggap proklamasi dan kedaulatan NII diganggu Belanda dan pasukan divisi Siliwangi.
Usai ditandatanganinya pengakuan kedaulatan Belanda atas wilayah Indonesia di Konferensi Meja Bundar, termasuk wilayah Jawa Barat, Sukarno memerintahkan penangkapan Kartosoewirjo. Perlawanan pun terjadi.
Situasinya, TII cukup kuat mempertahankan wilayah-wilayah yang dianggap kedaulatan NII. Sebaliknya, Republik tidak terlalu fokus akibat tajamnya krisis politik saat itu, ditambah pemberontakan-pemberontakan lain di luar Jawa.
"Perlawanan Kartosoewirjo juga semakin runcing karena kedekatan (koalisi pemerintah) Sukarno dengan komunis (PKI), tidak disukai kelompok Islam saat itu," ujar Chaidar.
Bahkan, pergerakan NII di Jawa Barat - yang meluas ke Aceh dan Sulawesi, dikaitkan dengan usaha-usaha pembunuhan terhadap Sukarno. Pihak ekstrem kanan dituding sebagai dalangnya. Antara lain peristiwa pengeboman Cikini terhadap Presiden (1957), juga penembakan Idul Adha (1962).
"Secara terang, sejarah mengungkap peristiwa itu dilakukan oleh anasir-anasir NII," kata Roso Daras.
Baratayudha
Pada 1960, Operasi Baratayudha, yang merupakan sandi penumpasan gerakan DI/TII di Jawa Barat dimulai. Upaya penangkapan Kartosuwiryo dimaksimalkan melalui operasi militer ini.
Menurut dia, operasi mencerminkan pergolakan batin Sukarno yang dijuluki "Bung Besar" dalam menghadapi si Kartosoewirjo yang mengklaim sebagai "Imam Besar".
Legenda perang saudara dalam epos karya sastra kuno yang berasal dari India, Mahabharata, menceritakan
Pandawa dan Kurawa, yang sama-sama keturunan Bharata, bersengketa mengenai hak pemerintahan kerajaan Astina. Puncak perselisihannya adalah perang Bharata Yuddha, yaitu Pandawa dan Kurawa bertempur di padang Kurusetra untuk memperebutkan singgasana dan kekuasaan di Astina.
Dalam konteks ini, Sukarno dan Kartosoewirjo, meski keduanya sama-sama putra terbaik dalam perjuangan kemerdekaan Tanah Air, hubungan mereka berubah menjadi permusuhan dan berakhir dengan perang. Jika Pandawa dan Kurawa sama-sama berguru kepada Resi Drona, maka Sukarno dan Kartosoewirjo sama-sama berguru kepada HOS Tjokroaminoto.
"Tentu ada konflik batin yang menyelimuti peperangan ini. Konteks penumpasan NII ini soal bela negara. Bagaimana ketika seorang kakak harus menghabisi nyawa adiknya," kata Roso.
Konflik Batin
Dalam perang gerilya yang panjang itu, akhirnya TNI berhasil mendesak TII dan menangkap Kartosoewirjo dan pengawalnya pada 4 Juni 1962 di Gunung Geber. Pada tahun itu juga, pengadilan di gelar. Kartosoewirjo bersikukuh terhadap idealismenya, menolak meminta maaf dan tidak mengakui pemerintahan RI di bawah Sukarno. Alhasil, hukuman mati pun dijatuhkan untuk Kartosoewirjo.
"Saya tidak akan pernah meminta ampun kepada manusia yang bernama Soekarno,” ucap Kartosuwiryo di muka mahkamah angkatan darat untuk darurat perang (Mahadper), seperti dikisahkan Chaidar.
Soal tawaran untuk mengajukan permohonan grasi dari Mahadper ini, Roso Daras mengatakan, bila saja Kartosoewirjo saat itu mau, dirinya sangat yakin Kartosuwiryo tidak akan di hukum. Sukarno pasti memberikan ampunan, seperti tokoh-tokoh Premesta dan PRRI saat itu.
Mau tidak mau, sesuai hukum yang berlaku, Sukarno pun harus menandatangani surat eksekusi mati kepada Kartosoewirjo. Inilah surat eksekusi mati pertama di Republik yang baru berusia seumur jagung itu.
Menurut Roso, saat itu pergolakan batin Sukarno cukup hebat. Sejarah mengungkapkan bahwa surat eksekusi yang di antar pimpinan militer kepada Sukarno, berkali-kali ditolak olehnya.
"Tiga bulan lamanya, Sukarno selalu marah setiap diminta tanda tangan. Pernah kertas vonis itu dilempar, hingga tercecer di ruang kerjanya," kata Roso.
Sang Presiden juga berkali-kali bertanya kepada pimpinan militer soal Kartosoewirjo. Salah satunya Mayjen S. Parman, Asisten I/Menpangad, yang saat itu datang untuk meminta tandatangan. Sambil menangis, Sukarno bertanya mengenai sorot mata Kartosoewirjo.
"Jawabannya selalu sama, para pimpinan militer mengatakan sorot mata Kartosuwiryo masih memperlihatkan perlawanan. Masih ganas, setajam mata harimau, nggak ada jiwa lemah atau menyerah," ucap Roso.
Dari Megawati, putri Presiden Sukarno, Roso mendapat cerita bahwa pimpinan militer saat itu melobi Megawati. Selanjutnya, Megawati yang saat itu sedang di Bandung, secara khusus datang ke Jakarta dan meminta Bapaknya untuk menandatangani surat vonis itu.
"Luhurnya hakikat pertemanan sejati jangan dicampur-aduk dengan dharma sebagai kepala negara," tutur Roso meniru ucapan Megawati ke Sukarno.
September 1962, lama Sukarno terpekur di meja kerja, mengenang masa muda bersama Kartosoewirjo. Hingga akhirnya Sukarno mau menandatangani surat vonis itu.
Pada 5 September 1962, Kartosoewiryo pun dieksekusi di depan regu tembak di Kepulauan Seribu, Jakarta.
Setelah eksekusi pun Sukarno masih bertanya kepada komandan regu tembak, lagi-lagi tentang sorot mata karibnya itu. Tidak ada satupun yang menjawab pertanyaan sang Presiden, karena saat dieksekusi mata Kartosoewirjo ditutup.
Namun, keesokannya petugas kembali datang dan menyodorkan foto Kartosuwiryo sebelum dieksekusi. Sukarno pun tersenyum dan berkata, "Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang."
Kepada Cindy Adams, Sukarno juga menggambarkan beratnya menandatangani surat vonis itu. "Menandatangani hukuman mati tidaklah memberikan kesenangan kepadaku. Ambillah, misalnya, Kartosoewirjo. Di tahun 1918, dia kawanku yang baik. Di tahun 20-an, di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama," tutur Sukarno.
Namun, putusan harus diambil. "Seorang pemimpin harus bertindak, tanpa memikirkan betapapun getir jalan yang ditempuh," kata Soekarno.
No comments:
Post a Comment