Bercermin pada Kesahajaan Mohammad Natsir
Penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia ini sempat terheran-heran dengan kesederhanaan seorang Natsir, hingga baju yang dikenakannya saat menjabat sebagai menteri adalah jas yang penuh tambalan. "Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan," tulis Kahin dalam buku bertajuk Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan yang terbit pada 1978.
Pun demikian saat pemimpin Masyumi ini baru menjabat sebagai perdana menteri sekitar September 1950, ia tinggal di sebuah gang hingga seseorang menghadiahkan sebuah rumah di Jalan Jawa (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Lelaki kelahiran Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908, ini juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari seorang cukong.
Dan boleh dibilang, Natsir adalah satu-satunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno. Ketika itu, tepatnya 21 Maret 1951, Natsir berboncengan sepeda dengan sopirnya menuju rumah jabatan di Jalan Proklamasi. Setelah mampir sebentar di rumah dinasnya, Natsir yang sempat menjadi menteri kesayangan Bung Karno itu segera mengajak istri dan anaknya pindah. Mereka kembali menempati rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa.
Natsir memang bukan satu-satunya pemimpin di Indonesia yang tidak tergoda oleh hasrat memperkaya diri sendiri saat menjabat suatu kedudukan penting di pemerintahan. Sebut saja Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta yang bisa disandingkan dengan Natsir. Hanya saja, boleh dikatakan, saat ini sangat sulit mencari orang seperti mereka. Bak mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Zaman pun berganti. Pemerintahan demi pemerintahan telah mewarnai lembaran sejarah republik ini. Dan boleh dikatakan saat ini jabatan sebagai pejabat negara maupun menteri didamba banyak orang. Betapa tidak, mereka yang dipilih atau ditunjuk menduduki posisi tersebut bakal mendapat gaji, tunjangan plus fasilitas yang cukup menggiurkan.
Gaji, Tunjangan, dan Fasilitas
Gaji pokok dan tunjangan para menteri saat ini memang hanya Rp 18,6 juta per bulan. Itu belum seberapa. Selain gaji dan tunjangan, setiap menteri juga mendapat berbagai fasilitas. Selama ini, mereka mendapat mobil dinas Toyota Camry 3.000 cc dengan harga Rp 350 hingga Rp 500 juta.
Bahkan, para menteri yang baru disebut-sebut bakal mendapat mobil dinas berupa Toyota Crown Majesta yang harganya sekurangnya mencapai dua kali lipat dari mobil dinas lama. Tak hanya itu, rumah dinas di Jalan Widya Chandra dan Denpasar Raya juga menjadi fasilitas. Semua menteri juga dibekali dana taktis Rp 150 juta.
Bila ada kunjungan ke luar Jakarta, menteri pun berhak mendapat akomodasi kelas eksekutif hingga istimewa (VIP), termasuk hotel bintang lima. Di luar fasilitas harta benda, seorang menteri juga punya hak mendapatkan empat staf khusus dengan gaji per orang Rp 15 juta. Belum lagi, sopir yang bergaji antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Plus, fasilitas untuk penampilan berupa pakaian senilai Rp 20 juta-Rp 25 juta.
Tak mengherankan, bila banyak politisi maupun kalangan profesional sempat berharap duduk sebagai anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua. Bahkan, beberapa hari menjelang pelantikan sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono menyaring ratusan kandidat untuk mengisi 34 lowongan pembantunya di kabinet. "Audisi" pun sempat digelar di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, hingga terpilih 34 orang beserta tiga pejabat setingkat menteri
Usulan Kenaikan Gaji Menteri
Kendati demikian, belum lagi sepekan para menteri dilantik di Istana, mereka sudah menyambut gembira kalau gaji dinaikkan. Memang, siapa yang tak senang bila gaji naik. Hanya saja, etiskah bicara soal kenaikan gaji para menteri di saat kinerja mereka belum lagi terlihat? Terlebih, publik menunggu hasil nyata program 100 hari para menteri.
Adalah Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara yang mengusulkan agar gaji pejabat tinggi negara dinaikkan. Mereka akan semakin sejahtera mengingat kenaikan rencananya berkisar antara lima sampai 15 persen
Wacana menaikkan gaji pejabat negara kemudian bergulir dan menuai kontroversi. Para menteri yang baru dilantik Kamis pekan silam rata-rata mengisyaratkan tak menolak bila gaji mereka dinaikkan. Menteri Perindustrian Mohammad Suleman Hidayat, misalnya, menilai gaji menteri layak dan wajar untuk dinaikkan jika mengacu pada tanggung jawab dan kapasitas tugasnya. "Saya kira layak. Anda harus gunakan standar gaji dengan kapasitas dan tanggung jawab. Kalau dibandingkan negara Singapura juga jauh sekali," tutur M.S. Hidayat.
Pun demikian Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar. Ia menegaskan dirinya hanya menanti selesainya pembahasan soal kenaikan gaji di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Dia pun menganggap, kenaikan gaji tersebut suatu yang layak diberikan kepada jajaran menteri periode 2009-2014.
Demikian pula dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yang mengatakan hanya bisa menunggu soal kejelasan kenaikan gaji. Ia menekankan, jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu II akan memprioritaskan pembahasan program-program 100 hari kerja dalam masa jabatan lima tahun mendatang terlebih dahulu. Setelah selesai, masalah kenaikan gaji baru akan dibahas secara intensif. "Kami belum membahasnya. Yang diutamakan program-program 100 hari dulu," kata Agung, menandaskan.
Pro-Kontra
Para menteri memang boleh berdalih. Toh, reaksi terus bermunculan. Seperti yang diutarakan pengamat politik Syamsuddin Haris. Ia meminta agar rencana itu ditinjau lagi karena tidak tepat waktu. "Sebaiknya bekerja dulu kemudian dihitung ulang seberapa besar mestinya gaji seorang anggota kabinet," kata peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
Kalangan DPR pun menilai kenaikan gaji tak elok bila dilakukan sebelum kinerja para menteri terbukti. Bahkan, Harry Azhar Azis, Ketua Panitia Anggaran DPR mengingatkan, kenaikan gaji presiden, menteri, dan pejabat negara lain tak boleh melebihi pagu anggaran belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 yang mencapai hampir Rp 160 triliun. Saat ini, gaji presiden dan tunjangannya mencapai Rp 62 juta, wakil presiden Rp 42 juta, menteri dan pejabat setingkatnya Rp 18 juta per bulan. Belum lagi dana taktis setiap menteri yang senilai Rp 150 juta.
Namun, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk kenaikan gaji menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010. Anggaran tersebut masuk dalam pos reformasi birokrasi yang dialokasikan sebesar Rp 700 miliar.
"Yang disebut kenaikan gaji itu tepatnya remunerasi dari pejabat negara. Itu kan termasuk dalam reformasi birokrasi yang digalakkan pemerintah. Tahun 2010 kita sudah mendesain kalau ada institusi yang akan melakukan reformasi birokrasi," ucap Sri Mulyani, seraya menambahkan: "Sistem remunerasi ini tidak hanya hari ini, tetapi bagian dari memperbaiki kualitas birokrasi. Remunerasi hanya ujungnya, tetapi bagaimana mengukur kinerja," tutur Menteri Keuangan.
Sebenarnya, menurut Sri Mulyani, rencana remunerasi ini telah didesain sejak 2006 dan 2007. Saat itu, Menkeu mengaku diminta langsung oleh Presiden Yudhoyono untuk mengaji ulang terhadap seluruh sistem remunerasi semua pejabat negara. "Di situ muncul, diteliti oleh kami, kita perbandingkan. Karena kita kan tidak memiliki basis gaji," ujar dia.
Sedangkan warga berharap pemerintah lebih dulu meningkatkan kesejahteraan rakyat ketimbang menaikkan gaji menteri. "Fasilitasnya sudah banyak, mending buat sekolah dan kesehatan," kata seorang warga. Namun warga lain menilai naiknya gaji menteri harus dibarengi peningkatan kerja.
Bukan hanya rakyat kecil yang menolak kenaikan gaji menteri. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat juga mendesak kenaikan gaji pembantu presiden ditunda sampai kinerjanya terbukti baik. "Janganlah kita menyakiti hati rakyat," ujar Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana di Jakarta.
Rencana kenaikan gaji menteri dinilai kalangan DPR tak sesuai dengan nilai keadilan dan mengganggu psikologis rakyat yang perekonomiannya sedang sulit. "Tidak bijak kalau gaji menteri tetap naik sekarang," kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Budiman Sudjatmiko. Fraksi PDIP meminta pemerintah menunda kenaikan gaji menteri. Senada dengan F-PDIP, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa juga meminta pemerintah memutuskan jalan tengah. "Naiknya jangan sekarang," kata Abdul Kadir Karding yang merupakan Wakil Ketua F-PKB.
Pendapat berbeda justru dilontarkan Ketua DPR Marzuki Alie. Ia menyatakan setuju soal rencana kenaikan gaji menteri, wakil presiden dan presiden. "Yang penting memenuhi asas kepatutan dan kepantasan," kata Marzuki Alie. Menurut Marzuki, menteri memiliki beban tugas dan masalah yang berat sehingga perlu ada numerasi yang memadai. "Apalagi sudah ada kontrak kinerja, jika tidak tercapai bisa dipecat. Dengan dipecat kan perlu diberi motivasi jugalah," ucap Marzuki.
Sementara, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa membantah soal rencana menaikkan gaji para pejabat tinggi negara. "Gajinya belum naik kok udah ribut, nggak ada itu," kata Hatta, Senin pekan ini. Padahal, sehari sebelumnya, Hatta mengungkapkan sempat ada pembahasan soal gaji para menteri yang akan dinaikkan. "Tentu ada pertimbangan soal itu, tapi kapannya, saya tidak bisa menjawab," kata Hatta.
Nada penuh kehati-hatian dikemukakan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara E.E. Mangindaan. Ia pun mengaku masih enggan membicarakan tentang rencana kenaikan gaji menteri. Menurut politisi Partai Demokrat ini, kementerian yang dipimpinnya hanya akan memprioritaskan reformasi birokrasi dalam 100 hari ke depan. "Jadi mohon maaf kalau ditanya kenaikan gaji pada dasarnya pembahasan perlu hati-hati karena menyangkut berbagai aspek," ujar Mangindaan.
Perbandingan Gaji
Isu kenaikan gaji pejabat memang sensitif, terutama menyangkut rasa keadilan bagi masyarakat. Sebenarnya, layakkah gaji pokok menteri yang mencapai Rp 18 juta per bulan beserta segala tunjangan maupun fasilitas itu dinaikkan?
Bila dibandingkan para pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), gaji presiden dan menterinya tampaknya memang lebih kecil. Saat ini gaji presiden berkisar Rp 62 juta dan menterinya sekitar Rp 18 juta per bulan. Sedangkan gaji pejabat BUMN di luar tunjangan saja sudah lebih dari Rp 100 juta per bulan. Secara logika, para direksi BUMN itu memang menanggung risiko berat dalam pekerjaan mereka.
Gaji direksi BUMN bidang perbankan bahkan lebih tinggi lagi, bisa mencapai Rp 200 juta per bulan. Umpamanya gaji Gubernur Bank Indonesia yang mencapai Rp 150 juta per bulan. Tapi, rekor tertinggi saat ini adalah gaji Direktur Utama Bank Rakyat indonesia yang sekurangnya mencapai Rp 167 juta per bulan.
Pendapatan per bulan para pejabat BUMN memang wah. Terkait hal ini, Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar menyatakan akan segera mengevaluasi gaji pejabat BUMM. Mustafa mengatakan, pengkajian memang sedang dilakukan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara terhadap peraturan pemerintah yang mengatur nomenklatur struktur kenegaraan, termasuk gaji.
Terlepas dari kinerja dan performa para direksi BUMN, mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie pernah mengatakan, ketimpangan dan kesenjangan luar biasa pada sistem penggajian pegawai negeri sipil, TNI/Polri dan BUMN sudah berlangsung sejak republik ini berdiri.
Itu baru dibandingkan dengan gaji para pejabat BUMN. Jika melihat pendapatan pokok para menteri di luar negeri, pundi-pundi menteri di Indonesia ternyata masih kalah banyak. Menteri Malaysia, umpamanya, bergaji sekitar Rp 41 juta per bulan. Apalagi, bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan, Singapura yang rakyatnya sangat sejahtera, menggaji menterinya sekitar Rp 1 miliar per bulan.
Berkaca ke negeri seberang memang tak salah. Namun, ada baiknya bercermin pada keteladanan di negeri sendiri. Seperti kesahajaan Mohammad Natsir.(ANS/Dari Berbagai Sumber)
No comments:
Post a Comment