Cara Syekh Maulana Ishak Mengislamkan Raja Blambangan

Begini Cara Syekh Maulana Ishak Mengislamkan Raja Blambangan
Ilustrasi/Ist
Syekh Maulana Ishaq adalah seorang ulama anggota Wali Songo periode pertama yang dikirim Sultan Turki Ustmani ke nusantara (Indonesia kala itu) dengan spesialisasi ahli pengobatan.

Syekh Wali Lanang atau Syaikh Maulana Ishaq tiba masuk ke Jawa, tempat pertama yang ia tuju adalah Ampel Denta. Hoesain Djajaningrat dalam bukunya "Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten" mengemukakan bahwa Syaikh Maulana Ishaq datang ke Jawa setelah Raden Rahmat, atau ketika Sunan Ampel Denta menetap di Ampel. 

Kala itu Sunan Ampel sudah mempunyai banyak santri. Dalam teks Hikayat Hasanuddin yang dijadikan sumber data penelitian Hoesein juga menyebut bahwa Wali Lanang merupakan seorang keramat yang datang setelah Sunan Ampel menetap di Ampel (Djajaningrat, 1983: 283).

Sementara itu, Buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H. Lawrens Rasyidi mengisahkan dakwah Syaikh Maulana Ishaq di Kerajaan Blambangan. Di sinilah beliau menunjukkan karomahnya. 

Lawrens Rasyidi berkisah, pada awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu. Salah sorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit . Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha . 

Buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H. Lawrens Rasyidi mengisahkan pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga. Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. 
Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total. 

Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. 

Sepasang matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat. “Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini?” 

“Apa maksudmu Dinda?” sahut Prabu Menak Sembuyu. “Bukankah aku sudah berusaha mendatangkan semua ahli pengobatan di negeri ini. Bahkan belum lama berselang telah mendatangkan tabib terkenal dari Pulau Dewata. Kurangkah usahaku itu?” 

“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ......” 

“Lalu apa maumu?” 

“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat menyembuhkan putri kita akan kita beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai menantu.” 

Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa saat. Pada akhirnya dia setuju atas saran istrinya. Segera dia perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih Bayul Sengara untuk mengumumkan bahwa siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putri Dewi Sekardadu akan dijodohkan dengan putrinya itu. Dan siapa dapat mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka akan diberi separo dari wilayah kerajaan Blambangan. 

Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu. 

Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya. 

Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bayul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka ke sanalah Patih Bayul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti. 

Berhari-hari mereka menempuh perjalanan, masuk hutan keluar hutan, naik dan turun gunung. Pada suatu ketika mereka bertemu dengan seorang Resi bernama Kandabaya. Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.

Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat ke arahnya dalam jarak dua langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi. 

Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya. 

“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat ke arah jantung sang Resi. Bukan sekadar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. 

Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Ujung keris itu meleset ke arah sang Resi, hampir saja menyentuh dada Sang Resi. Namun tiba-tiba keris itu membalik, melesat ke arah Patih Bajul Sengara. 
Patih Bajul Sengara melengak, secepat kilat dia merundukkan badan. Keris itu melesat di atas tubuhnya. Menghantam sebatang pohon sawo. “Jresss !” keris itu terbenam ke batang pohon sawo yang cukup besar, tinggal gagangnya saja yang tampak. 

Path Bajul Sengara hampik tak berkedip menyaksikan gagang kerisnya itu. 

Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang Patih, dilihatnya batang pohon sawo itu mengeluarkan asap dan kulit pohon itu menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan pohon sawo itu rontok, berguguran ke tanah. Serta merta Patih Bajul Sengara menjatuhkan diri, berlutut di depan sang Resi.

Resi Kandabaya masih dalam sikap semula. Duduk bersila dengan mata terpejam. Seperti tak pernah terjadi suatu apa. 

“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul Sengara dengan terbata-bata. Tak ada reaksi dari sang Resi. 

Tiba-tiba ada seekor merpati putih hinggap di depan sang Resi. Merpati itu meletakkan selembar daun lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian merpati itu mengeluarkan bunyi. 

Aneh, sang Resi kemudian membuka sepasang matanya setelah mendengar suara si merpati. Sang Resi tersenyum dan segera mengelus-elus sayap merpati. 

“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh bermain-main atau beristirahat sesukamu.” 

Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengerti apa yang diucapkan sang Resi. Kemudian dia mengepakkan sayapnya, terbang ke sebuah pohon kenari tak jauh dari Padepokan Resi Kandabaya. 

Sang Resi segera mengambil daun lontar yang diletakkan merpati tadi. Dia seperti tak menghiraukan adanya Patih Bajul Sangara yang membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai Padepokan. 

“Ampun ......... ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba menganggu ketenangan Bapa Resi ......... “ 
Demikian ucap Patih Bajul Sengara. Resi Kandabaya masih tak menghiraukan sang patih. Dia sedang asyik membaca gurat-gurat berbentuk tulisan di daun lontar yang dipegangnya. 

Sesudah membaca tulisan di daun lontar, sang Resi bangkit berdiri. Berjalan ke arah sepuluh prajurit yang menggeletak kesakitan tanpa dapat bergerak. 

Hanya dengan beberapa kali tepukan pada bagian-bagian tertentu di tubuh para prajurit itu maka kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara dapat bergerak lagi dan rasa sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. 

Serta merta sepuluh orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan sang Resi. Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia berjalan ke arah Padepokan tempatnya bersemedi tadi. Tapi kali ini dia tidak duduk bersemedi melainkan tegak di depan Patih Bajul Sengara. 

“Memang hebat dan sopan caramu bertamu ke mari hai Patih Bajul Sengara !” tegur sang Resi. 

“Ampun bapa Resi ......... hamba harus yakin bahwa orang yang hendak mintai pertolongan memang benar-benar mumpunim,” ujar Patih Bajul Sengara. 

“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang resi. “Kau hendak memintaku mengobati penyakit sang putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk dari Blambangan atas perintah Prabu Menak Sembuyu!” 

“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba kemari.” 

“Tapi kau salah alamat Patih! Wabah penyakit itu sudah dikehendaki Dewata Agung. Aku tak mampu mengusirnya, juga tak mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu. 

“Tapi … hamba mohon petunjuk …“ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu. 

Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang tersirat di hati Patih Bajul Sengara. Sesudah menarik nafas panjang karena kesal melihat sikap sang Patih diapun berkata, “Baiklah Patih, aku akan memberimu petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang yang mampu menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu sekaligus mengusir wabah penyakit dari seluruh wilayah Blambangan. Tapi...”, Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. 

“Apapun yang terjadi, hamba … juga Gusti Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya. 

“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut sang Resi.” Akan terjadi sesuatu di luar perhitunganmu dan hal itu akan membakar hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin mengetahui orang yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu terbang. Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba bersikap kurang ajar kepada orang yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang diajukannya hendaknyan kau dan Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.” 

“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.” Sekarang sudah hampir malam, beristirahatlah di Padepokan ini. Besok pagi kalian boleh berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu hingga ke tempat tujuan.” 

Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu bermalam di Padepokan Resi Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat ke gunung Selangu. “Sampaikan salam perdamaian kepada pertapa di gunung Selangu itu.” 

Pesan Resi Kandabaya sebelum Patih Bajul Sengara meninggalkan Padepokan. “Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara penuh hormat.

Perjalanan ke gunung Selangu memakan waktu yang cukup lama. Walau mereka naik kuda pilihan tapi pada tengah hari barulah mereka sampai di gunung Selangu.

Mereka terus mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu tempat. Ketika jalanan semakin naik, maka mereka menambatkan kudanya dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Akhirnya merpati penunjuk jalan itu berhenti di depan sebuah goa. Saat itu hari mulai gelap. Tapi ada suatu keanehan, dari dalam goa itu memancar sinar terang, sebuah cahaya yang mampu menerangi tempat sekitarnya.

Patih Bajul Sengara memerintahkan para prajurit pengiring untuk menunggu di luar goa. Dia sendiri segera berjalan memasuki goa itu. Makin ke dalam makin terang cahaya yang memancar itu. Akhirnya sepasang mata Patih Bajul Sengara terbelalak heran, ternyata cahaya itu bukan berasal dari sebuah lampu atau benda melainkan berasal dari tubuh seorang berjubah putih yang sedang bersujud di tanah.

Seluruh tubuh dan pakaian orang itu mengeluarkan cahaya terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka Patih Bajul Sengara tidak berbuat macam-macam yang justru akan membahayakan dirinya sendiri. 

Dengan bersabar dia menunggu orang itu bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai barulah Patih Bajul Sengara menyapanya. 

“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi Kandabaya,” ujar sang Patih. 

“Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama aku bersahabat dengan Resi Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.” 

Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui sang pertapa. Pertapa itu mengangguk–anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Patih. 

“Sebelum aku menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini,“ kata pertapa itu. “Namaku Maulana Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku bersedia mengobati Dewi Sekardadu dan sekaligus mengusir wabah penyakit dari Blambangan dengan syarat bahwa Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan bersedia mendengar nasehatku.” 

Barangkali inilah hal-hal yang termasuk di luar perhitungan ku, demikian bisik hati sang Patih. Soal pindah agama dia tidak berani memberi keputusan. Untuk itu dia harus menghadap sang Prabu lebih dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana Ishak untuk pulang ke istana Blambangan, menyampaikan persyaratan yang diajukan pertapa itu. 

“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih dahulu,” kata Syekh Maulana Ishak. 

Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke Blambangan dan menyampaikan persyaratan yang diajukan Syekh Maulana Ishak kepada Prabu Menak Sembuyu. 

Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu untuk melepaskan agama lama yang terlanjur diyakini selama bertahun-tahun, namun demi rasa kasih sayangnya pada Dewi Sekardadu, maka dia terpaksa memenuhi syarat yang diajukan Syekh Maulana Ishak. 

Patih Bajul Sengara diperintahkan menjemput Syekh Maulana Ishak. Sesampainya di goa gunung Selangu, Patih Bajul Sengara dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu. 

Syekh Maulana Ishak akan menyusul kemudian. Tetapi betapa terkejut Patih Bajul Sengara ketika sampai di istana Blambangan. Ternyata Syekh Maulana Ishak sudah datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak Sembuyu menegur keterlambatan sang Patih. Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana Ishak itu benar-benar pertapa sakti yang mumpuni.

Dia yang menempuh perjalanan naik kuda masih dikalahkan dengan Syekh Maulana Ishak yang datang ke istana Blambangan hanya berjalan kaki. Tiga malam Syekh Maulana Ishak melakukan tirakat untuk mengobati Dewi Sekardadu.

Di malam keempat, sesudah melaksanakan salat sunnah hajat ditiupkan wajah sang putri tiga kali. Seketika sang putri membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Seluruh isi istana gembira menyaksikan hal itu terlebih permaisuri dan Prabu Menak Sembuyu. 

Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya. Syekh Maulana Ishak diambil menantu. Dijodohkan dengan Dewi Sekardadu. Sambil menunggu keadaan tubuh Dewi Sekardadu supaya benar-benar pulih seperti sedia kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke seluruh negeri Blambangan untuk memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk yang melanda rakyat Blambangan. 

Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari-hari mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit. Cara mereka buang hajat di sembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.

Setelah Maulana Ishak memberikan penyuluhan merawat kesehatan dan membersihkan diri serta lingkungan tempat tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka banyaklah rakyat Blambangan yang sembuh dari sakitnya. 

Hanya beberapa orang yang penyakitnya tergolong berat terpaksa mendapat perawatan khusus dari Syekh Maulana Ishak. Dan semuanya berhasil disembuhkan seperti sedia kala. 

Tibalah pada hari yang ditentukan, pernikahan Dewi Sekardadu dan Syekh Maulana Ishak dilaksanakan. Upacara diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena Syekh Maulana Ishak bukan hanya berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu melainkan juga mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai raja muda atau Adipati. 

Mendapat kekuasaan separo dari wilayah kerajaan Blambangan, sesuai dengan janji yang diucapkan oleh Prabu Menak Sembuyu sendiri. (Bersambung)

===
Dinukil dari Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H. Lawrens Rasyidi
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: