Cerita dari Front Bandung
Hari ke-6 Desember 1945 adalah awal mula neraka mengunjungi pasukan Divisi ke-23 tentara Inggris di Bandung. Tertiuplah sebuah kabar bahwa beberapa tank berjenis M4 Sherman bergerak dari kawasan Hotel Homan. Mereka dikawal oleh truk-truk pengangkut pasukan infanteri dari Batalyon Gurkha Rifles 3/3.
“Tujuan mereka adalah Tuindorp dan Ciateul, dua kamp interniran berisi orang-orang Belanda, Minahasa, Maluku dan Cina yang menjadi tawanan tentara Jepang,” ungkap Aleh, lelaki berusia 93 tahun.
Namun baru sampai di Jalan Cikawao, konvoi pasukan Inggris itu harus kehilangan sebuah truk-nya yang melindas ranjau darat. Begitu kendaraan militer tersebut meledak, dari kiri dan kanan jalan para pejuang Indonesia dari Batalyon Soemarsono, Batalyon Achmad Wiranatakusumah, Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah pimpinan Husinsyah memberondong dengan tembakan gencar rombongan pasukan Inggris itu.
Di tengah kepanikan prajurit-prajurit Divisi ke-23, tetiba seorang pejuang muda Hizbullah bernama Agus berlari ke arah salah satu tank Sherman tersebut. Dengan tak henti berteriak “allahu akbar”, dia kemudian menaiki Sherman itu, membuka kanopi-nya dan langsung meloncat ke dalam tank sambil memegang dua granat yang siap pakai. Glaarrr! Monster berkulit besi itu pun roboh bersama orang-orang yang berada di dalamnya.
“Agus tercatat sebagai kawan kami yang pertama gugur dalam penghadangan itu,” kenang Aleh yang merupakan eks pejuang Hizbullah itu.
Selanjutnya, pertempuran di front Bandung tersebut berlangsung secara brutal. Tidak cukup dengan peluru, para petarung dari dua pihak pun terlibat dalam perkelahian satu lawan satu yang sangat seru. Darah memuncrat di sana-sini. Teriakan takbir bersanding dengan teriakan khas para prajurit Gurkha yang sebagian bertarung dengan menggunakan khukri (senjata khas orang Gurkha).
Insiden penghadangan yang lebih dikenal sebagai Pertempuran Lengkong itu nyatanya banyak memakan korban, terutama di pihak pejuang Indonesia. Ada 16 pejuang Hizbullah lainnya yang tercatat kemudian menyusul Agus ke alam baka. Mereka rata-rata masih sangat muda, berusia antara 17-19 tahun.
“Dari kantong salah seorang korban, kami menemukan sebungkus garam dan cabe rawit. Terharu sekali kami, karena walaupun hanya dengan bekal makanan itu, dia tetap rela berjuang,” ujar salah seorang anggota Palang Merah bernama Upi Suyar dalam buku karya R.J. Rusady W.. Tiada Berita dari Bandung Timur 1945-1947.
Selain para pejuang laki-laki, front Bandung pun tersohor dengan sejumlah maung bikang-nya (macan betina). Mereka rata-rata tergabung dalam Laskar Wanita Indonesia (LASWI). Salah satunya bernama Soesilowati. Laiknya pejuang lelaki, dia tak sungkan-sungkan untuk bertarung satu lawan satu dengan prajurit musuh. Salah satu korban dari kegarangannya adalah seorang letnan dari kesatuan Gurkha Riffles.
Dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda, Jenderal (Purn) A.H. Nasution mengisahkan pada suatu pagi di tahun 1946, markasnya di Jalan Kepatihan, Bandung didatangi oleh seorang perempuan muda yang datang dengan menunggang seekor kuda. Begitu sampai di depan pintu, perempuan yang tak lain adalah Soesilowati itu, masuk dan langsung menemui Nasution. Tanpa banyak cakap, dia menyodorkan sebuah bungkusan di atas meja Kepala Staf Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut.
Begitu Nasution membukanya, nampak kepala seorang perwira Gurkha lengkap dengan pita-pita tanda kepangkatannya. “Wajahnya simpatik dan nampak ia masih sangat muda namun sayang harus menjadi korban pergolakan politik negeri orang lain yang tak memiliki hubungan apapun dengan negaranya…” ujar Nasution.
Sejak itulah Nasution paham akan keberanian para mojang Bandung. Ia tak ragu lagi melibatkan mereka dalam setiap tugas dan pertempuran. Soesilowati sendiri, kata Nasution, secara sukarela kadang menjadi pengawal Nasution dalam setiap kegiatan komandemen.
“Saya ingat kebiasaan dia jika tengah melakukan pengawalan: duduk tegap di atas kap mobil…”kenang sang jenderal.
Selain Soesilowati, satu lagi anggota LASWI yang dikenal sebagai tukang penggal kepala tentara Gurkha yakni Willy Soekirman. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi karya Ratnayu Sitaresmi dkk, disebutkan nyaris pada setiap pertempuran kota di Bandung, Willy yang menggunakan sebilah pedang kecil sering terlibat perkelahian satu lawan satu dengan prajurit Gurkha yang bersenjata khukri dan uniknya selalu berhasil memenggal kepala lawannya.
“Saya selalu tak sadar jika sedang memenggal kepala musuh. Tahu-tahu aja ada darah segar mengalir di tangan saya dan kawan-kawan di sekitar berteriak histeris menyemangati saya…” ungkapnya.
No comments:
Post a Comment