Ketika Tumpukan Mayat Muslim Bergelimpangan di Sekitar Kaki Unta Siti Aisyah
Perang Unta atau Waq'atul Jamal antara sesama kaum muslimin, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq'atul Jamal, Al-Madainiy dan Al-Waqidiy yang dikutip buku " Sejarah Hidup Imam Ali ra " karya H.M.H. Al Hamid Al Husai antara lain memaparkan bahwa dua pasukan saling berhadapan, pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah, terus menerus dibakar semangatnya dengan syair-syair agitasi.
Mereka dikerahkan untuk mengarungi pertempuran sengit melawan Ali bin Abu Thalib r.a. dan pasukannya. Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit, muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: "Tidak ada pihak yang harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!"
Sejalan dengan itu ia menarik tali kekang unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:
Hai ibu…, hai ibu, tanah air telah lepas dariku.
Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan.
Di sinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan.
Jika Ali lepas dari tangan, matilah aku.
Atau jika dua anaknya, Hasan dan Husein, lepas...
Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!
Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di pihak lawan, ia sendiri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dengan pasir.
Tali kekang yang lepas dari tangannya, segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yang benar-benar berani bertempur sampai mati, ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya.
Sambil mendendangkan syair, Abdullah bin Abza tampil menghunus pedang dan mulai menyerang pasukan Ali bin Abu Thalib. Dengan syair juga ia menantang Ali bin Abu Thalib:
Mereka kuserang, tetapi tak kulihat ayah si Hasan
Aduhai....itu merupakan kesedihan di atas kesedihan
Mendengar tantangan Abdullah bin Abza, Ali bin Abu Thalib segera keluar dari barisan untuk melakukan serangan dengan tombak. Beberapa saat perang tanding berlangsung.
Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Ali bin Abu Thalib, tiba-tiba ujung tombak yang runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dadanya.
Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir, Ali bin Abu Thalib menghampirinya sambil bertanya: "Sudahkah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?"
Habis mengucapkan pertanyaan itu Ali bin Abu Thalib kembali ke pasukan.
Segenggam Kerikil
Sementara pasukan kedua belah pihak sedang bergulat mengadu senjata, banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya, Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil, lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Ali bin Abu Thalib r.a. seraya berteriak: "Hancurlah muka kalian!"
Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a., meniru perbuatan Rasulullah SAW dalam perang Hunain. Melihat peperangan semakin dahsyat, bersama regu pasukan yang mengenakan serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar , Ali bin Abu Thalib r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang putranya: Al Hasan, Al Husein, dan Muhammad Al Hanafiyah .
Sebelum tampil sendiri memimpin serangan, Ali bin Abu Thalib bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yang bernama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasukan, Ali bin Abu Thalib r.a. berkata kepada puteranya itu: "Majulah dengan panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan berhenti di tempat lain!"
Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah, ia sudah dihujani anak-panah yang beterbangan dari arah lawan. Melihat itu, ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: "Tunggu dulu, sampai mereka kehabisan anak-panah!"
Mengetahui hal itu, Ali bin Abu Thalib segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yang disuruhnya itu, dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban, Ali bin Abu Thalib menghampirinya sendiri dari belakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya, Ia membentak: "Hayo maju!"
Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus, namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah, Ali bin Abu Thalib r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yang di tangan puteranya diambil kembali dengan tangan kiri, sedang pedang yang terkenal dengan nama "Dzul Fiqar" terhunus di tangan kanannya.
Tanpa membuang-buang waktu Ali bin Abu Thalib r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan "Jamal". Setelah melakukan serangan beberapa saat lamanya, menangkis dan memukul musuh, Ali bin Abu Thalib kembali ke induk pasukan.
Sahabat-sahabat dan putra-putranya berkerumun. "Ya Amirul Mukminin," desak Al Asytar, "cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!"
Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Ali bin Abu Thalib. Menoleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh.
Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada putranya, Muhammad Al Hanafiyah. Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Ali bin Abu Thalib menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan.
Anggota-anggota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah.
Selesai melancarkan serangan kedua, Ali bin Abu Thalib kembali lagi ke induk pasukan. "Kalau anda sampai gugur," puji sahabatnya, setelah Ali bin Abu Thalib r.a. berada di tengah barisannya, "barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!"
"Demi Allah," jawab Ali bin Abu Thalib r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. "Aku sangat tidak setuju dengan pikiran kalian. Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!"
Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: "Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!"
Muhammad Al Hanafiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Ali bin Abu Thalib r.a. terdengar sura bergumam: "Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!"
Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah pihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai meringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Ali bin Abu Thalib terhambat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap anggota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.
Melihat situasi itu Ali bin Abu Thalib berteriak memberi perintah: "Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!"
Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor landak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: "Hai penuntut balas darah Utsman!" Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Ali bin Abu Thalib r.a. dengan semboyan: "Hai Muhammad!" Nama putera Ali bin Abu Thalib r.a. yang memegang panji pasukan.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. segera mengikuti semboyan yang diserukan Ali bin Abu Thalib r.a.
Pasukan kedua belah pihak semakin tambah bergumul mengadu senjata. Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Ali bin Abu Thalib ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.
Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Ali bin Abu Thalib. Namun demikian mereka sama sekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata.
Pasukan yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah. Mereka telah bertekad, pasukan Ali bin Abu Thalib baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah sesudah melewati mayat-mayat mereka.
Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati.
Padang pasir yang kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung. Melihat keadaan yang mengerikan itu, Ali bin Abu Thalib mengambil suatu keputusan cepat untuk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Ammar. Kepada kedua orang sahabatnya itu, Ali bin Abu Thalib memerintahkan: "Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai, apinya masih berkobar. Unta itulah yang dijadikan semacam kiblat oleh mereka!"
Dua orang yang diperintah itu segera maju bersama beberapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya bernama Umar bin Abdullah. Bersama Umar bin Abdullah Al Muradiy mereka mendekati unta, lalu ponok dekat lehernya dipukul dengan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta, meringkik keras-keras, dan akhirnya rebah.
Pendukung-pendukung Sitti Aisyah melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Ali bin Abu Thalib berteriak memberi perintah: "Potong tali pengikat Haudaj!"
Setelah itu Ali bin Abu Thalib menyuruh Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq (saudara Sitti Aisyah r.a.): "Ambillah saudara perempuanmu!"
Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muhammad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza'iy. (Bersambung)
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment