Kolonialisme dan Mundurnya Kewirausahaan Pribumi di Indonesia
| ISLAM telah masuk ke Nusantara sejak abad-abad pertama keberadaanya dan menyebar di sepanjang jalur perdagangan di Samudera Hindia. Kawasan pesisir Indonesia seperti Barus, Palembang, Gresik, dan Banten menjadi daerah-daerah awal di mana Islam tumbuh dengan subur.
Kalaupun dikatakan bahwa pada awalnya Islam tersebar di kawasan ini lewat para pedagang, maka perlu difahami bahwa karakteristik pedagang Muslim pada era itu tidak sama dengan yang ada pada hari ini. Pada masa lalu masyarakat Muslim dari berbagai latar belakang profesi, termasuk para pedagang, biasanya memiliki latar belakang keagamaan yang cukup baik.
Demikian pula banyak ulama pada masa lalu yang mencari nafkah antara lain lewat perdagangan, dan kemungkinan ada di antara mereka yang memiliki latar belakang semacam ini telah hadir di Nusantara sejak era-era yang awal. Selain terlibat dalam aktivitas perdagangan, mereka kemudian juga menyebarluaskan Islam kepada penduduk setempat.
Penulis sendiri mendengar bahwa pada abad ke-20 beberapa ulama Hadrami yang ada di Indonesia mengisi sebagian waktunya dengan berniaga sebagai sumber penghasilan mereka. Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, kakek dari Prof. Muhammad Naquib al-Attas yang berkedudukan di Bogor, misalnya, dikatakan “sering mengadakan perjalanan untuk berdagang” sebelum beliau mencapai kedudukan sebagai seorang waliyullah (al-‘Atthas, 2020: xi).
Terlepas dari hal di atas, dapat dikatakan bahwa perdagangan bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat pribumi di Nusantara pada masa lalu. Berkembangnya bandar besar seperti Melaka yang mendatangkan banyak pedagang asing sudah tentu juga melibatkan para pedagang setempat. Para pedagang Nusantara inilah yang memperdagangkan produk-produk lokal yang diminati oleh masyarakat internasional ketika itu.
Seorang pelaut Belanda yang datang ke Jawa Timur pada penghujung abad ke-16, Jacob van Heemskerk, menyebutkan bahwa perdagangan di bandar Tuban dikuasai oleh para bangsawan, sementara di Gresik dan Jaratan sebagian besar dikuasai oleh para saudagar dan ulama. Di Hitu, Maluku, disebutkan bahwa perdagangan antara lain dikuasai oleh orang kaya setempat dan sultan yang berkuasa di kawasan itu menolak untuk melakukan intervensi dalam proses tawar menawar dan jual beli (Iskandar, 1994: 8-9).
Para nahkoda di Nusantara biasanya bekerja sama dengan para pemilik modal dalam menjajakan barang dagangan. Kepemilikan modal dan kemampuan manajerial perdagangan, misalnya, termasuk dalam syarat bagi seorang nahkoda dalam hukum pelayaran Amanna Gappa di Sulawesi Selatan.
Pada abad ke-16, ketika orang-orang Eropa mulai masuk ke Nusantara, keberadaan para pedagang pribumi masih sangat menonjol dan mampu bersaing dengan para pedagang Portugis dan Belanda. Namun pada abad-abad berikutnya, posisi mereka semakin terpinggirkan dari dunia perdagangan, antara lain disebabkan kurang berkembangnya sistem perdagangan dan teknologi kelautan di kalangan masyarakat pribumi dibandingkan dengan orang-orang Eropa (Iskandar, 1994: 6-7).
Kolonialisme dan Kemunduran Perdagangan Masyarakat Pribumi
Kemunduran perdagangan masyarakat setempat tentu bukan hanya disebabkan oleh kekalahan dalam persaingan ekonomi dengan orang-orang Eropa. Di Jawa, hal ini ikut dipengaruhi juga oleh pergeseran pusat kekuasaan dari pesisir utara ke pedalaman Jawa Tengah yang direpresentasikan oleh Mataram. Kerajaan Mataram yang berbasis ekonomi agraris berkepentingan agar daerah-daerah kekuasaannya di pesisir utara yang menonjol dalam aspek perdagangan tidak tumbuh terlalu kuat dan menjadi ancaman bagi pusat kekuasaan.
Bagaimanapun, faktor terbesar dari kemunduran perniagaan lokal sebenarnya adalah kolonialisme Eropa, dalam hal ini Belanda, yang melakukan monopoli perdagangan dan secara gradual telah meminggirkan masyarakat pribumi dari perdagangan internasional, bahkan perdagangan antar pulau. Dominasi Mataram di Jawa tidak berlangsung lama dan segera digantikan secara gradual oleh perusahaan dagang Belanda, VOC.
Kekuasaan kolonial Belanda melihat keberadaan para pedagang pribumi sebagai pesaing yang berpotensi merugikan kepentingan ekonomi mereka dan karenanya berusaha untuk memutus jaringan perdagangan antar pulau yang ada (Iskandar, 1994: 11).
Pada masa-masa berikutnya, terutama di Jawa, ekonomi masyarakat pribumi semakin melemah dan tereduksi ke bidang pertanian disebabkan eksploitasi yang dilakukan oleh penjajah. Kesulitan masyarakat di Jawa dapat dikatakan mencapai puncaknya di abad ke-19, selepas terjadinya Perang Jawa dan diterapkannya kebijakan Tanam Paksa yang sangat eksploitatif.
Sementara peranan ekonomi masyarakat pribumi di Jawa semakin tereduksi, posisi pedagang perantara dan beberapa peranan ekonomi lainnya diambil alih oleh komunitas Cina di Indonesia yang memang mendapatkan kesempatan lebih luas di dalam struktur ekonomi kolonial. Kebijakan ekonomi kolonial tersebut telah mengasingkan masyarakat pribumi dari proses dan perkembangan ekonomi yang wajar (Furnifall, 1944: 45; Kahin, 2003: 8-10).
Sekian lama hidup dalam penjajahan, sebagian besar masyarakat pribumi terjauhkan dari ekonomi pasar dan penggunaan mata uang, tereduksi ke dalam ekonomi yang subsisten, terputus dari jaringan sosial dan perekonomian yang melampaui level pedesaan, dan, tentu saja, semakin kehilangan kemampuan dalam perniagaan.
Gambaran semacam ini terutama berlaku di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keadaan di Jawa Barat relatif lebih baik, terlebih lagi di wilayah Sumatera dan Borneo. Penyebab utamanya menurut hemat penulis, bukanlah pada kesenjangan mentalitas Jawa dan non-Jawa, tetapi lebih kepada intensitas dan lamanya penjajahan yang berbeda antara yang dialami oleh penduduk Jawa dan selainnya.
Saat menerangkan tentang ekonomi masyarakat di Jawa, Donald W. Fryer dan James C. Jackson (1977: 118) menjelaskan bahwa masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur cenderung lebih tertutup dan membatasi diri dalam komersialisasi ekonomi, sementara masyarakat di Jawa Barat lebih terbuka dan lebih responsif terhadap ekonomi pasar. Sebenarnya, Jawa Barat tidak kurang lamanya dijajah Belanda dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, kalau tidak dikatakan lebih lama. Namun, kebijakan ekonomi penjajah di kawasan ini secara umum tidak memberi dampak seburuk di provinsi-provinsi tetangganya itu, sehingga pada akhir abad ke-19 ekonomi penduduk di Jawa Barat relatif lebih baik dan memungkinkan munculnya sejumlah pengusaha lokal yang siap untuk mengalokasikan sebagian modal mereka dalam memulai beberapa bidang usaha yang baru di awal abad ke-20.
Perkembangan yang lebih menarik terjadi di beberapa bagian wilayah Sumatera dan Borneo. Di kawasan yang lebih belakangan dicengkeram oleh penjajah ini, kewirausahaan pribumi relatif lebih menonjol dibandingkan rekan-rekan mereka di Jawa. Para petani karet di kedua daerah ini memiliki akses ke pasar internasional di Singapura dan secara aktif memanfaatkannya, antara lain melalui peranan kaum haji pribumi (Lindblad, 2002: 126-127).
Para pengusaha pribumi di Sumatera tampaknya memiliki lebih banyak kebebasan ekonomi yang tidak dimiliki oleh rekan-rekan mereka di Jawa. Usaha di kawasan ini tidak hanya terbatas di bidang pertanian saja. Para pedagang kaya Aceh dan Melayu, misalnya, mengendalikan impor tekstil dari Penang, di mana mereka membelinya secara langsung dari para pedagang Inggris, Swiss, dan Jerman, dan kemudian mendistribusikannya di Aceh dan Sumatera Timur (Post, 612-613). Karena itu tidak mengherankan jika pada awal era kemerdekaan, dan juga mungkin hingga sekarang ini, pengusaha-pengusaha pribumi yang paling menonjol dan paling berhasil secara ekonomi adalah mereka yang berasal dari luar Jawa.
Pada awal abad ke-20, geliat ekonomi di kalangan masyarakat pribumi Muslim sebenarnya tidak hanya berlaku di luar Jawa. Beberapa organisasi Islam yang menonjol dan berpusat di Pulau Jawa telah mengawali pergerakan mereka di bidang ekonomi.
Pada tahun 1918, berdiri Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang), sebuah perkumpulan yang menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama delapan tahun kemudian. Perkumpulan ini didirikan oleh 45 saudagar santri dan dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Dikatakan bahwa KH Hasyim Asy’ari sendiri berharap agar badan-badan usaha yang otonom dapat didirikan di setiap kota (Mahzumi, 2017: 21-22). Sayangnya tidak banyak data atau peneliatian yang membahas tentang kiprah Nahdlatut Tujjar dan tampaknya ‘kebangkitan para pedagang’ ini hanya bersifat seketika, dan setelah itu kembali surut.
Sarekat Islam, sebagaimana diketahui, merupakan perkembangan dari Sarekat Dagang Islam. Organisasi ini merupakan perkumpulan para pedagang Muslim yang kemunculannya antara lain didorong oleh persaingan dengan para pedagang Cina (Sudjana, tt.: 4). Setelah berkembang menjadi Sarekat Islam, perkumpulan ini menjadi semakin condong ke politik dan berkurang perhatiannya terhadap perdagangan.
H.O.S. Tjokroaminoto pernah ditanya alasan perubahan tersebut, dan ia kurang lebih menjawab bahwa jika perjuangan politik berhasil, maka ekonomi akan dengan sendirinya ikut dikuasai. Pandangan ini masuk akal, karena mereka yang menguasai politik akan mampu membuat kebijakan ekonomi. Namun, jauh setelah Indonesia merdeka, masyarakat pribumi tak kunjung menjadi aktor utama di bidang ekonomi. Bahkan dapat dikatakan, mereka masih berada di strata ekonomi terendah sebagaimana yang berlaku di dalam struktur ekonomi kolonial di masa lalu.
Masyarakat Muslim di Indonesia pada hari ini masih terus sibuk dengan cita-cita politik yang tak kunjung usai, yang mungkin tetap dilandasi oleh asumsi yang sama seperti di atas. Sementara politik yang dihasratkan itu sendiri sudah mulai ditelikung oleh pihak lain, yang berhasil masuk justru dari jalur penguasaan ekonomi. Wallahu a’lam.*/Kuala Lumpur, 1 Jumadil Akhirah 1442/ 14 Januari 2021
Penulis adalah staf pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)
No comments:
Post a Comment