Menelusuri Hubungan PAN-Islamisme dan Khilafah (1)
Soal khilafah telah dikaji oleh berbagai cendekiawan Muslim paripurna. Pada 1377 M, Ibnu Khaldun menulis seperti ini:
- Khilāfah itu seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi. Kekuatannya menyeluruh dalam melaksanakan hukum agama maupun dunia.
Sebelum kita membahas dinasti ‘Uṡmāniyyah yang digelari sebagai institusi Khilāfah dengan para pemimpinnya yang disebut Khalīfah, alangkah baiknya jika kita memahami dulu tentang institusi Khilāfah dan jabatan Khalīfah itu sendiri secara umum.
Ini agar kita bisa mengidentifikasi mana kekuasaan atau dinasti yang pantas disebut sebagai Khilāfah, mana yang bukan.
Pembahasan ini penting dikemukakan karena makna Khilāfah dalam Islam serta klaim dinasti ‘Uṡmāniyyah akan Khilāfah ramai diperdebatkan oleh kalangan orientalis dan para policy-makers kolonial Barat, seperti Snouck Hurgronje, Wilfrid Scawent Blunt, dan Thomas W. Arnold.
Snouck Hurgronje, misalkan, begitu bersikeras untuk menolak klaim ‘Uṡmāniyyah atas Khilāfah dan menjadi oposisi terdepan pemerintahan Sultan Abdülḥamid II yang dicapnya sebagai “komplotan penipu murahan” dalam menentang “penyebaran khayalan palsu di kalangan kaum Muslim mengenai Khilāfah Dalam khazanah keislaman, Khalīfah merupakan sebuah gelar untuk pemimpin kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah ṣallāllahu ‘alayhi wa sallam.
Allah berfirman dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 30: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengatakan kepada para malaikat, ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan di Bumi ini seorang Khalīfah.’” (wa iż qāla rabbuka li al-malā’ikah innī jā’ilun fī al-arḍi khalīfah).
Menurut al-Qurṭubī, ayat ini merupakan hukum asal akan wajibnya mengangkat Imām dan Khalīfah yang didengar dan ditaati (hāżihi al- āyah aṣlun fī naṣbi imāmin wa khalīfatin yusma’u lahu wa yuṭa’).
Khalīfah merupakan wakil Allah di muka bumi ini yang ditugaskan untuk menjaga dan menerapkan hukum-Nya.
Hukum Tuhan ini bertujuan untuk mengatur perbuatan manusia dalam segala seginya, ibadah mereka, segala tata-cara hidup mereka, juga yang berhubungan dengan negara yang memang merupakan kemestian bagi masyarakat umat manusia.
Selain itu, dalam beberapa hadisnya Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam juga pernah menyampaikan perihal Khalīfah.
Atau dalam hadis lain, seperti sabdanya, “Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, maka akan digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku. Dan akan ada khulafā’ yang banyak.” (kānat banū Isrā’īla tasūsuhum al-anbiyā’, kullamā halaka nabiyyun khalafahu nabiyyun. Wa innahu lā nabiyya ba’dī, wa sayakūnu khulafā’u fa yakṡurūn). Dengan negara yang memang merupakan kemestian bagi masyarakat umat manusia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Menurut al- Khamīs, Mu’āwiyah dapat menjalankan pemerintahannya dengan begitu baik. Kepemimpinannya yang berlangsung selama 40 tahun dirasakan oleh rakyatnya begitu aman dan sejahtera.
Hanya saja, di ujung senja masa jabatannya, Mu’āwiyah berpandangan bahwa kekuasaan harus tetap dipegang oleh anaknya, Yazīd, dengan alasan agar negara tetap stabil karena dipegang oleh orang yang kuat dan dipercayainya.
Hal tersebut benar-benar ia realisasikan dengan mengangkat Yazīd sebagai Khalīfah. Tentu saja, pada awalnya hal ini tidak dapat berjalan lancar karena kebijakan tersebut ditolak oleh sebagian besar Sahabat Nabi.
Ketika Marwān yang berlaku sebagai utusan Mu’āwiyah berkhutbah di Madinah untuk meminta baiat penduduknya, Marwān menyampaikan, “Siapa saja yang menyelisihi Mu’āwiyah (dalam perkara pengangkatan anaknya sebagai Khalīfah, pen.) maka dia telah menyelisihi sunnah Abū Bakr dan ‘Umar.”
Perkataan itu langsung disela oleh salah seorang putra Abū Bakr, yakni ‘Abd al-Raḥmān b. Abī Bakr sebagao berikut:
- Justru itu adalah sunnahnya Heraklius dan Kaisar Romawi. Demi Allah, sesungguhnya Abū Bakr tidak menjadikan jabatan Khalīfah untuk anaknya seorang pun, tidak pula seorang pun dari anggota keluarganya (Bal sunnah Hiraqla wa Qayṣar, inna Abā Bakrin wallāhi mā ja’alahā fī aḥadin min waladihi, wa la aḥadin min ahli baytihi).
Lantas, apakah kepemimpinan dinasti Umayyah dan dinasti-dinasti setelahnya, termasuk ‘Uṡmāniyyah, masih bisa disebut sebagai Khilāfah?
Terlebih lagi, dalam hadisnya yang lain Rasulullah menyampaikan, “Khilāfah setelahku akan berlangsung selama 30 tahun, setelah itu akan menjadi kekuasaan (dinasti).” (al-khilāfah ba’dī ṡalaṡūna ‘āman, ṡumma yakūnu ba’da żalika al-mulk).
Walau begitu, menurut Ibn Khaldūn, kekuasaan dinasti setelah masa Khulafā’ al-Rāsyidīn masih bisa disebut sebagai Khīlafah karena:
- Ciri-ciri yang merupakan watak khas Khilāfah tetap ada (pada dinasti-dinasti tersebut, pen.), yakni, prefensi terhadap Islam serta mazhab-mazhabnya, dan taat mengikuti jalan kebenaran. Perubahan tampak hanya pada pengaruh kendali yang adalah Islam dan kini berubah menjadi solidaritas sosial (‘aṣabiyyah) dan pedang. Demikianlah situasi pada masa Mu’āwiyah, Marwān, putranya ‘Abd al-Malik, dan sejak khalīfah Banī ‘Abbās muncul hingga al-Rasyīd dan sebagian putranya.
Pengambilan baiat juga bermacam-macam; kadang dari ahl al-ḥalli wa al-‘aqdi, kadang dari seluruh masyarakat, dan kadang dari seorang syaykh al-Islām (Tr. şeyḫülislam). Kadang proses pengambilannya berlangsung buruk, tapi tetap dikategorikan sebagai baiat.
Padahal, selama masa Khulafā’ al-Rāsyidīn hanya ada lima orang Khalīfah termasuk al-Ḥasan bin ‘Alī.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud Nabi sebagai Khilāfah yang hanya berumur 30 tahun adalah masa Khulafā’ al-Rāsyidīn, sementara setelah itu disebut juga Khilāfah, walau bukan Khilāfah ‘alā minhāj al-nubuwwah.
No comments:
Post a Comment