Perjalanan NU, 95 Tahun Harmoniskan Islam dan Nasionalisme

KH Hasyim Asy

KH Hasyim Asy

Foto: NU Online
Harlah NU 31 Januari: 95 Tahun Harmoniskan Islam dan Nasionalime
Nahdlatul Ulama (NU) didirikah oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau bertepatan dengan 31 Januari 1926. Tahun ini NU telah menapaki usia yang ke-95 tahun dalam hitungan kalender Masehi, yang bertepatan dengan 28 Februari 2021. 
Pada tahun ini, tema yang diangkat pada Harlah NU ke-95 adalah “Khidmah NU: Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan.” Warga Nahdliyin pun akan meenggelar berbagai kegiatan mulai dari 31 Januari hingga 28 Februari.

Menjelang satu abad usianya ini, NU dinilai telah berperan besar dalam menyatukan Islam dan nasionalisme, serta menyebarkan paham Aswaja.  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof KH Said Aqil Siroj mengatakan, KH Hasyim Asy’ari sangat berjasa dalam menyatukan antara Islam dan nasionalisme, sehingga Indonesia bisa tetap berdiri meskipun berbeda agama, suku, dan bahasa.  

“Sudah tidak ada sekat-sekat yang mememisahkan antara satu dengan yang lain. Semua sadar bahwa negara ini harus kita jaga, kita kawal. Itu semuanya antara lain berkat jasa besar Mbah Hasyim Asy’ari,” ujar Kiai Said saat ditemui Republika di Kantor PBNU Jakarta Pusat dengan protokol kesehatan yang ketat, Senin (25/1).

Kiai Said menjelaskan, ketika umat Islam di Timur Tengah sedang bingung, konsep nasionalisme justru datang dari Ernest Renan, penulis buku What is a Nation?. Kemudian, konsep nasionalisme tersebut diambil oleh seorang Nasionalis asal Suriah yang beragama Kristen Ortodoks, Michel Aflaq.

Menurut Kiai Said, Michel Aflaq membangun nasionalisme untuk melawan penjajah. Namun, umat Islam bingung apakah untuk melawan penjajah akan menggunakan konsep yang datang dari Barat tersebut atau tidak. Sedangkan konsep khilafah waktu itu sudah tidak berdaya apa-apa.

“Sementara, di kita sudah tidak bingung karena KH Hasyim Asy’ari sudah mengatakan hubbul wathon minal iman. Nasionalisme bagian dari iman,” ucap Kiai Said.

Menurut Kiai Said, gagasan Kiai Hasyim Asy’ari tersebut sangat luar biasa dan tidak boleh dianggap sepele. Karena, Kiai Hasyim Asy’ari mampu mengharmoniskan antara agama dan politik kebangsaan. “Jadi teologi yang dari langit dengan politik yang bersifat ijtihadiyah menjadi harmonis. Anda beragama harus nasionalis atau cinta tanah air, dan jika Anda nasionalis harus beragama. Itu luar biasa,” kata Kiai Said.

Alumni S3 University of Umm Al-Qura ini menjelaskan, di Timur Tengah Michel Aflaq kemudian mendirikan Partai Baath. Partai tersebut kemudian banyak mengkader para pemuda Arab hingga lahirlah pemimpin-peimpin nasionalis, sosialis, dan sekuler. Sebagai penyeimbang, kemudian lahirlah Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan oleh Hassan al-Banna pada 1928. Menurut Kiai Said, Hassan al-Banna sendiri sebenarnya merupakan ulama moderat dan berhaluan Aswaja.

Namun, menurut dia, suatu ketika ada salah satu pemuda Ikhwanul Muslimin yang membunuh Perdana Menteri Mesir. Akhirnya, Hassan Al-Banna marah karena menurutnya bukan seperti itu cara berjuang demi kebangkitan Islam.

Setelah itu, Hassan Al-Banna pun dibunuh dan muncul ideolog Ikhwanul Muslimin yang bernama Sayyid Qutub. Menurut Kiai Said, Sayyid Qutub lebih ekstrem dan menulis kitab berjudul Maalim Fit Thoriq atau petunjuk jalan yang benar. Menurut Kiai Said, isi dari kitab tersebut menyatakan bahwa selain sistem Islam adalah jahiliyah, termasuk nasionalisme.

“Jadi, saat Mbah Hasyim Asyari di sini mengatakan nasionalisme bagian dari iman, di sana Sayyid Qutub mengatakan nasonalisme bagian dari jahiliyah. Maka, di situlah bentrok antara Ikhwan dan penguasa,” jelas alumni S3 University of Umm Al-qura ini

Di Indonesia sendiri, Kiai Said bersyukur sampai saat ini masih ada NU yang terus konsisten untuk menjaga keseimbangan, bahkan mulai sejak era orde lama, orde baru, sampai era reformasi. Menurut dia, dalam setiap kondisi NU bisa menjadi penyeimbang.

 “Alhamdulillah Indonesia masih ada NU yang selalu menjaga keseimbangan,” ujarnya.

Karena itu, menurut Kiai Said, tidak heran jika konflik atau kerusuhan yang terjadi di Indonesia tidak  pernah berlangsung lama seperti halnya di negara-negara Timur Tengah. Bahkan, menurut Kiai Said, kebanyakan tamu yang datang dari luar negeri sering merasa heran dengan NU di Indonesia.

“Mereka semua heran, NU ini mayoritas tapi tidak radikal. Bisanya di mana-mana yang mayoritas itu menindasnya minoritas. Kita justru sebaliknya mayoritas melindungi minoritas, yang penting mereka benar,” kata Kiai Said.

Menurut Kiai Said, selama tidak melanggar hukum atau undang-undang kaum minoritas perlu dilindungi dan tidak boleh dizolimi. Hal ini tidak terlepas dari konsistensi NU dalam menyebarkan Islam yang rahmatal lil alamin.

Dalam menyebarkan paham Aswaja di Indonesia, menurut Kiai Said, NU juga selalu mengharmoniskan antara agama dan budaya. Selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, kata dia, tradisi atau budaya tersebut harus dihormati.

“Kuncinya adalah kita harmonis dengan budaya, itu kuncinya. Kecuali kalau tradisi yang bertentangan dengan Islam seperti seks bebas atau minum khamr kita tolak itu,” jelasnya.

Bukan hanya menghormati budaya, menurut Kiai Said, para ulama terdahulu khususnya para Wali Songo, juga menjadikan budaya sebagai insfrastruktur agama. Menurut Kiai Said, dalam berkdakwah para wali songo juga menggunakan pendekatan budaya.

“Jadi budaya itu dilestarikan dijadikan infrastruktur, di atasnya dibangun teologi. Jadi, agamanya kuat budayanya lestari. Coba kalau cara dakwahnya kita tabrakan dengan budaya kita, gak akan diterima,” katanya.

Oleh karena itu, Kiai Said pun mempersilakan jika generasi muda Indonesia ingin belajar ke negara-negara Arab ataupun ke negara Barat. Asalkan, kata Kiai Said, ketika pulang ke Indonesia jangan membawa budaya mereka, tapi membawa ilmu.

“Saya sendiri 13 tahun setengah dari S1 sampai S3 di Arab. Gus Dur, Kiai Mustofa Bisri, Pak Quraish Shihab semuanya juga keluaran Arab, tapi pulang bawa ilmu bukan bawa budaya,” jelas Kiai Said.

Kiai Said menjelaskan, dalam menyebarkan ajaran Aswaja di nusantara sendiri pasti selalu ada tantangannya. Namun, menurut Kiai Said, umat Islam khususnya warga NU tidak boleh merasa risih dengan adanya tantangan.

“Kalau kita benar pasti ada tantangan dan itu harus kita hadapi. Kalah menang urusan nanti, tapi kita harus hadapi, apalagi di era IT atau era medsos ini tantangan lebih berat sekali,” ucapnya.

Menyongsong Harlah NU 95 tahun ini, Kiai Said pun berharap generasi NU semakin lebih lagi untuk menjadi ummatan wasathan, umat yang moderat dan moderan, serta mampu berperan sampai hari akhir hayatnya.

“Semoga generasi NU yang akan datang lebih baik daripada generasi ktia sekarang, yaitu menjadi ummatan washatan,” kata Kiai Said.< Selama 95 tahun berkiprah, NU tetap konsisten dalam menyebarkan ajaran Aswaja di nusantara. Ketua Umum pengurus pusat asosiasi pesantren NU atau Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU, KH Abdul Ghaffar Rozin atua Gus Rozin mengatakan, penyebaran Aswaja di tanah air tidak terlepas dari peran pesantren NU.

“Subtansi aswaja tertuang dalam kitab kuning. Maka dengan mempertahankan kitab kuning sebagai basis materi pembelajaran, pesantren berperan mempertahankan aswaja. Sebab dengan begitu, pesantren melahirkan kader kader yang mendalam pemahamannya terkait Aswaja,” ujar Gus Rozin kepada Republika, Selasa (26/1).

Menurut Gus Rozin, pesantren selama ini juga aktif berperan dalam melakukan counter discourse terhadap pemikiran dan gerakan keislaman yang bersebarangan dengan Aswaja. Bahkan, menurut dia, pesantren aktif dalam advokasi publik, misalnya terkait adanya upaya penyusupan materi non Aswaja dalam pendidikan formal.

“Pesantren juga aktif mensosialisasikan wacana Aswaja ke publik melalui terbitan, seminar, dakwah digital, sehingga keaswajaan dikonsumsi publik dan menjadi praktik keagamaan kebudayaan sehari hari,” ucapnya.

Dalam perjalannya, peesantren NU kini tidak berkiprah di dunia pendidikan Islam saja, tetapi juga sekolah-sekolah umum dan bahkan universitas. Menurut Gus Rozin, pesantren NU memang sudah seharusnya memperluas kiprahnya seperti itu.

“Ini sesungguhnya sebuah keharusan bagi pesantren. Bahkan, ini mengembalikan peran sejarah pesantren yang bukan hanya pusat pendidikan agama,” kata Gus Rozin.

Gus Rozin menjelaskan, kompleksitas masalah bahkan keagamaan tidak lagi cukup didekati dengan monodisipliner, namun membutuhkan interdisipliner dan multidisiplin. Karena itu, menurut dia, pesantren harus berkiprah mendirikan sekolah hingga universitas.

Menurut Gus Rozin, kiprah pesantren tersebut bisa dilihat dalam konteks integrasi tradisi keilmuan pesantren dan umum, sekaligus upaya pesantren meluaskan khidmah kebangsaan dalam menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat, yang bermutu, terjangkau dan berbasis pada nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan.

“Tentu saja, perluasan ini mengharuskan pesantren memperkuat kapasitas kelembagaannya, agar kekuatan dan kelebihan pesantren tetap terjaga,” tutupnya.

n/Muhyiddin

No comments: