Sayyidah Aisyah: Muslimah Intelek dan Kritis

Sayyidah Aisyah radhiallahu anha di masa jahiliyah yang nota benenya wanita masih dipandang sebelah mata. Bahkan bagi masyarakat pedagang dinilai sangat tidak menguntungkan, malah merugikan. Maka tidak heran jika para perempuan waktu itu pada akhir perjalanan hidupnya harus mengalami kematian tragis: dibunuh masih dalam kondisi bayi.

Berbahagialah para wanita yang dilahirkan pasca bimbingan Rasulullah ﷺ. Baik mereka yang dikaruniai anak secara normal maupun tidak. Laki-laki maupun perempuan mendapatkan perlakuan yang adil. Adanya keluhan “Bukanlah lelaki itu sama dengan perempuan” hanyalah refleksi manusia biasa yang pada zamannya masih mendewa-dewakan kelahiran anak laki-laki untuk dapat melanjutkan tampuk kepemimpinan bisnis atau dakwah di masa mendatang.

Di sisi lain, kondisi perekonomian keluarga sangat mempengaruhi aktivitas intelektual seseorang. Apa yang dikonsumsi juga sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sisi kognitif seseorang.

Aisyah Anak Bangsawan

Aisyah lahir lima tahun setelah masa kenabian. Ia putri Abu Bakar al-Shiddiq dengan Ummu Ruman. Abu Bakar sendiri telah memeluk Islam pada tahun pertama kenabian. Dengan demikian kelahiran Aisyah sarat diwarnai dengan tata cara yang Islami, mulai dari proses pembenihan sampai pasca neonatusnya. Jika kelahiran bayi dicetak dan diwarnai dengan cara yang Islami, insya Allah akan lahir dan berkembang menjadi generasi yang shaleh.

Ayahnyanya seorang bangsawan dan pebisnis sukses nan taat beragama. Maka sejak kecil aspek intelektualnya mulai terasah, celetukan dan responsipnya terhadap Barirah (sebagai baby sisternya) sangat mengagumkan. Sosok yang cerdas dan piawai yang tidak dimiliki oleh teman-teman sebayanya.

Bagi para pemerhati hadits, Aisyah bukan sekadar pakar menghafal hadits. Ia termasuk kategori al-muktrirun (yang banyak meriwayatkan hadits Nabi ﷺ). Bahkan ia sangat cerdas dalam memahaminya. Betapa banyak para sahabat yang hafal hadits, namun gagal faham sehingga dikoreksi oleh Aisyah.

Ambil sebuah contoh. Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Mayit disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya,” telah dikritik oleh Aisyah.

وَعَنْ عُرْوَةَ قَالَ: (ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ) (فَقَالَتْ: يَغْفِرُ اللهُ لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَمَا إِنَّهُ لَمْ يَكْذِبْ، وَلَكِنَّهُ سَمِعَ شَيْئًا فَنَسِيَ أَوْ أَخْطَأَ) (إِنَّمَا مَرَّتْ عَلَى رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم جَنَازَةُ يَهُودِيٍّ, وَأَهْلَهُ يَبْكُونَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: أَنْتُمْ تَبْكُونَ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَيُعَذَّبُ) (بِخَطِيئَتِهِ وَذَنْبِهِ الْآنَ)

“Urwah berkata: (Disebutkan di sisi Aisyah bahwa Ibnu Umar berkata: ”Rasullullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya mayit disiksa dalam kuburnya karena ditangisi oleh keluarganya).’ (Maka Aisyah berkomentar: ‘Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman -Ibnu Umar-. Sungguh ia tidak dusta, akan tetapi ia mendengar suatu sabda Nabi, lalu kadang lupa kadang salah). Waktu itu Rasulullah ﷺ sedang melintasi kuburan Yahudi, dan keluarganya menangisinya. Maka Nabi ﷺ bersabda: Kalian menangisinya, sungguh dia sedang disiksa (karena kesalahan dan dosanya).” (Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasai).

Dalam riwayat lain Aisyah berargumentasi dengan firman Allah SWT:

وَقَالَتْ: حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ: {وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى}

“Aisyah berkata, “Cukuplah bagi kalian firman Allah SWT. “Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” ( Al-An’am: 164).” (HR: 26481).

Sedemikian pula periwayatan Ibnu Umar terkait sabda Nabi ﷺ bahwa usia bulan Qamariyah hanya dua puluh sembilan, maka hal itu dikritisi oleh Aisyah bahwa sabda Nabi durasi bulan Qamariyah kadang dua puluh sembilan kadang tiga puluh hari.

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا تَكْتُبُ وَلَا تَحْسُبُ، الشَّهْرُ كَذَا، وَكَذَا وَضَرَبَ الثَّالِثَةَ، وَقَبَضَ الْإِبْهَامَ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: غَفَرَ اللَّهُ لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّمَا هَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءَهُ شَهْرًا، فَنَزَلَ لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ آلَيْتَ شَهْرًا، فَقَالَ: إِنَّ الشَّهْرَ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

Abdullah bin Umar berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kami adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung, usia bulan itu begini, begini (dengan membuka semua jarinya) dan begini (untuk yang ketiga kalinya beliau melipat ibu jarinya, sehingga berjumlah hanya 29 hari).’ Maka Aisyah mengoreksinya: ‘Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman. Kasusnya ketika Nabi meninggalkan para istrinya selama sebulan, ternyata beliau pulang pada hari yang keduapuluh sembilan. Para istrinya bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah tuan menginginkan selama satu bulan?” Lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Kadang durasi bulan hanya 29 hari.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah: 9609 dan Ahmad).

Catatan Akhir

Sikap kritis Aisyah terhadap periwayatan para sahabat bukan jarh pada nilai kredibilitasnya, melainkan sisi kecermatan, yang sebagaimana manusia kadang khilaf atau lupa. Begitulah sosok kepiawaian Aisyah dalam ilmu sehingga ia menjadi wanita terhormat. Setiap umat menyebut namanya, tak lupa ia mendoakan radhiyallah anha (semoga Allah meridhainya). Bukankah doa seperti ini yang diharapkan setelah manusia setelah kembali keharibaan-Nya?*/Zainuddin MZ, Direktur Turats Nabawi (Pusat Studi Hadits)

No comments: