Sjafruddin Prawiranegara: Pemisahan Agama dan Negara Bermotif Politis
Pada kali ini, kita akan menggali pemikiran Presiden ke-2 RI, Mantan Gubernur Bank Indonesia, tokoh besar Masyumi, dan da’i Dewan Da’wah, yakni Sjafruddin Prawiranegara. Tema yang diangkat kali ini adalah tentang pemisahan agama dan Negara yang kerap didengung-dengungkan oleh sebagian kalangan saat ini.
Di era 80-an ternyata sudah ramai diperbincangkan mengenai hal tersebut. Dalam sebuah bukunya yang berjudul, ‘Aspirasi Islam dan penyalurannya’, Sjafruddin Prawiranegara mengatakan pemisahan politik dan agama merupakan suatu operasi yang artifisial, dibikin-bikin. Sifatnya bukan ilmiah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, tetapi politis, yaitu untuk melemahkan (baca: melumpuhkan) kekuatan politis umat Islam yang dianggap berbahaya buat kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Padahal, kata beliau, justru umat Islamlah, yang selalu berusaha untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara. Tanpa saham umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, tak mungkin Indonesia dapat memperoleh kemerdekaannya. Negara republik Indonesia yang sekarang telah dibangun atas reruntuhan Negara federal Van Mook oleh Kabinet Natsir. Dan tanpa keutuhan dan kekuatan umat Islam, Indonesia tak mungkin dapat memelihara kemerdekaannya.
Pak Sjaf, demikian sapaan beliau, sudah membaca gelagat ideologi sekularisme tersebut. Arahnya jelas, supaya semua kursi kekuasaan di kuasai oleh kaum sekular, non Muslim, liberal, kapitalis dan sejenisnya. Sedangkan umat Islam, ulama, da’i, dianjurkan untuk mengurusi agama saja, tanpa ikut campur dalam urusan kenegaraan.
“Apakah ada alasan yang masuk akal untuk memisahkan politik dan islam? Dan apakah akibatnya kalau hal itu terjadi, baik buat agama dan umat Islam sendiri, maupun buat bangsa dan Negara Indonesia? Pemisahan politik dari agama itu jelas adalah imitasi (yang keliru) dari keadaan di dunia Barat, dimana terdapat pemisahan antara geraja dan Negara. (scheiding van kerk en staat; separation of church and state).” Ujarnya.
Dalam Islam pemisahan yang demikian itu, menurut Pak Sjafruddin, tidak perlu dan tidak mungkin, sebab Islam tidak mengenal suatu lembaga seperti gereja. Masjid adalah gedung tempat ibadah dan pengurus masjid tugasnya memelihara gedung itu. Mereka tidak mempunyai kekuasaan atas jamaah masjid yang datang ke masjid untuk shalat. Sebaliknya gereja adalah suatu jemaah (community) dengan anggota-anggota yang menganut suatu aliran agama Kristen dan mempunyai pengurusnya sendiri dengan kekuasaan tehadap angota-anggotanya.
Di Bidang Sosial Atau Politik; Jalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar!
Dalam Islam tidak mengenal ajaran pemisahan antara agama dan Negara. Yang dibolehkan adalah, setiap individu dipersilakan untuk berperan di bidangnya masing-masing. Apakah dia ingin berkecimpung di bidang politik, sosial, pendidikan, dan lainnya. Namun yang penting, menurut Pak Sjafruddin, bagi seorang Muslim, di mana pun dia berada, wajib menjalankan perintah Allah, amar ma’ruf nahi munkar. Jika menjalankan perintah ini, maka umat Islam menjadi umat yang terbaik yang pernah dilahirkan di tengah-tengah umat manusia, sebagaimana firman Allah:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Pak Sjafruddin menjelaskan perintah ini berlaku buat setiap Muslim yang beriman dan cinta kepada Allah dan RasulNya. Dan perintah ini tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslim secara umum, tapi juga dialamatkan kepada kepada pejabat-pejabat Negara, termasuk pemimpin-pemimpin pemerintah sendiri yang menyeleweng dari tugasnya, menyeleweng dari hokum. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jihad apa yang paling afdhal (sempurna)? Jawab beliau: menyampaikan kata kebenaran kepada penguasa yang dzalim.” (al-hadits)
Menyampaikan kritik atau nasehat kepada penguasa yang kekuasaanya bersifat mutlak seperti Sultan zaman dahulu, memang mengandung resiko yang besar sekali bagi yang berani menyampaikan kritik itu. Ini dapat kita saksikan bukan saja dalam sejarah dahulu, tetapi juga dalam sejarah sekarang, khususnya dalam Negara-negara komunis dan Negara totaliter lainnya. Jangan coba-coba mengritik pemerintah secara terbuka. Sebentar saja orang yang berani mengritik itu dibuang atau dimasukkan ke dalam penjara. Oleh karena itu, menyampaikan nasehat kepada penguasa yang dzalim dinamakan Nabi “jihad yang paling afdhal”.
No comments:
Post a Comment